Pandemi Covid-19 turut memukul para musisi tradisional di Tanah Air. Sebuah festival musik tradisional daring digagas demi menyambung napas hidup mereka.
Oleh
Dwi As Setianingsih
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 turut memukul para musisi tradisional di Tanah Air. Sebuah festival musik tradisional daring digagas demi menyambung napas hidup mereka. Melalui jalan ini, keberadaan musisi tradisional yang merupakan harta karun bangsa dan penanda keberagaman Indonesia diharapkan tidak lenyap ditelan pandemi.
Festival musik tradisional daring tersebut digagas komposer Franki Raden yang bermukim di ”Pulau Dewata” Bali. Selama masa pandemi Covid-19, festival bertajuk ”Lokaswara Online Festival” ini sudah digelar dua kali. Episode perdana pada Rabu (20/5/2020) pukul 20.00 dan episode kedua Kamis (4/6) pada jam yang sama. Durasi setiap episode berkisar 2-2,5 jam dengan dipandu Franki dan Bens Leo.
Pada Kamis malam, Lokaswara Online Festival menyuguhkan rekaman penampilan langsung Indonesian National Orchestra (INO) saat tampil di Melbourne Recital Center, Australia, tahun 2011. Salah satu komposisi yang dimainkan adalah ”Terompong Concerto” karya Franki. Di episode perdana, INO memainkan ”Voice of Diversity” saat tampil di Jakarta tahun 2010.
Berbeda dengan ”Voice of Diversity” yang secara komposisi mengeksplorasi musik tradisional Dayak, Kalimantan, ”Terompong Concerto” mengeksplorasi kekayaan musik tradisional Bali. Komposisi ini terfokus pada permainan terompong, salah satu instrumen gamelan Bali yang dimainkan dengan cara dipukul. Bentuknya menyerupai bonang dalam rangkaian gamelan Jawa atau talempong dari Sumatera Barat.
Dalam komposisi ini, terompong dimainkan Ida Ayu Wayan Prihandari (Dayu) dengan gayanya yang dinamis. Sesekali, di tengah permainannya, Dayu menarikan gerakan tari Kebyar Terompong yang umum disuguhkan di tengah permainan terompong. ”Terompong Concerto” pun tersimak semakin magis.
Selain terompong, sejumlah instrumen tradisional juga turut memperkuat ”Terompong Concerto”. Ada rebab yang jumlahnya mencapai tiga macam. Rebab Sunda, rebab Bali, dan rebab bas bersuara rendah yang dibuat khusus untuk INO.
”Terompong Concerto” tersimak dinamis, kadang juga menghanyutkan dengan aura yang terasa meditatif.
Rebab bas setinggi 2 meter ini dimainkan Gung Alit sambil berdiri layaknya memainkan kontrabas yang bersuara rendah. Rebab umumnya bersuara tinggi.
Ada juga instrumen lain, seperti rebana, kendang, beduk yang berbentuk seperti bulan, serta jegog bambu yang lebarnya mencapai 3 meter dan tinggi 2 meter lebih. Karena ukurannya yang besar, jegog tersebut dimainkan dua orang, berdiri di bagian belakang.
Menariknya, meski fokus pada terompong, setiap alat musik yang ada dalam orkestra tetap memiliki porsi untuk tampil solo. Inilah salah satu kelebihan komposisi-komposisi karya Franki. Dalam komposisi yang dirangkai dari beragam instrumen tradisional, Franki selalu menampilkan kekhasan dan keistimewaan setiap instrumen. Tidak hanya di ”Terompong Concerto”, tetapi juga di ”Voice of Diversity”.
Filosofi ini menggambarkan betapa pun suara atau bebunyian Indonesia itu beragam dan berbeda, bisa tampil satu dan padu dalam sebuah orkestra. Seperti Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda-beda, tetapi tetap satu.
”Terompong Concerto” menghadirkan sebuah komposisi yang bukan hanya kaya dari sisi instrumen musik, melainkan juga dari ragam bebunyian yang dihasilkan. Secara keseluruhan ”Terompong Concerto” tersimak dinamis, kadang juga menghanyutkan dengan aura yang terasa meditatif.
Tanpa partitur
Malam itu, ”Terompong Concerto” yang ditampilkan di Lokaswara Online Festival sekaligus menjadi world premier. Penampilan INO memainkan ”Terompong Concerto” tidak hanya disaksikan penonton Indonesia secara daring melalui kanal Youtube Caventer Indonesia, tetapi juga secara global.
Sejumlah penikmat musik dari beberapa negara, seperti Rusia, Kuwait, dan Montreal (Kanada), turut menyaksikan secara daring. Mereka juga berkesempatan memberi komentar sekaligus mengungkapkan kekaguman terhadap komposisi yang disuguhkan INO.
Pengamat musik dunia asal Belanda, Charlie Crooijmans, memuji komposisi ”Terompong Concerto” yang menyerupai komposisi jazz. Dia paham betapa itu tidak mudah dilakukan. Begitu juga dengan komentar Jeannette Lambert dari Montreal.
Menurut Franki, untuk menghadirkan ”Terompong Concerto”, para musisi tradisional yang bergabung dalam INO berlatih intens berminggu-minggu. Karena musisi tradisional umumnya tidak mengenal not atau partitur, setiap latihan selalu memberi hasil yang berbeda dan selalu mengejutkan.
”Kalau di tradisi enggak ada notasi. Belajarnya memakai insting. Mendengar lalu dihafal,” ujar Dayu. Karena itu, saat latihan, komposisinya bisa menjadi pendek, bisa juga menjadi panjang. Oleh karena ini, ada fleksibilitas dalam proses kerja mereka.
Selama proses tersebut, Franki berupaya memberikan perhatian khusus pada setiap pemain dengan instrumen mereka. Ada dialog yang intens antarmereka agar karakteristik musik dan instrumen mereka dapat terekspresikan dengan baik.
”Dari situ kemudian mereka mengembangkan sendiri part mereka. Yang terpenting mereka harus memainkan musik mereka. Bukan musik saya,” ucap Franki.
Kemarin, turut tampil penyanyi reggae Ras Muhamad yang berkolaborasi dengan personel Kunokini, Bhismo. Keduanya tampil membawakan ”Leluhur”. Di edisi perdana tampil duo Endah n Rhesa. Pekan depan Lokaswara Online Festival akan menghadirkan eksplorasi kekayaan musik dari Aceh.
Alih profesi
Selain mempromosikan kekayaan musik tradisional Indonesia, Lokaswara Online Festival juga sekaligus menggalang donasi untuk para musisi tradisional melalui kitabisa.com/savetraditionalmusicians. Saat ini, akibat pandemi, banyak musisi tradisional, termasuk yang tergabung dalam INO, beralih profesi menjadi tukang kebun atau tukang parkir. Beberapa di antaranya juga menjual alat musik milik mereka.
”Saat ini, kan, harusnya kita sudah berpikir ke arah regenerasi. Namun, boro-boro regenerasi, alat aja udah dijual. Kalau alat dijual, mereka mau main pakai apa?” ujar Franki.
Banyak di antara musisi tradisonal datang dari kelas pekerja. Mereka biasa tampil di hajatan, dibayar dengan nominal seadanya. Jadwalnya juga tidak rutin. ”Namun, etos mereka terhadap musik tradisional sangat besar,” kata Franki.
Kondisi sulit tersebut menjadi semakin sulit di masa pandemi. Jika terus terjadi, harta karun kekayaan musik tradisional Indonesia yang berusia ribuan tahun akan lenyap. ”Gamelan kita aja, kan, sudah dimainkan sejak 5.000 tahun lalu. Kalau dibiarkan, ini pertaruhan ribuan tahun dari perjalanan budaya kita,” ujar Franki.
Dia berharap kelak INO bisa menjadi orkestra negara sehingga dapat menggairahkan detak musik tradisional di seluruh Indonesia. ”Kalau ada center-nya, daerah akan semangat. Jadi, akan terbangun national network nantinya,” ujar Franki.
Hingga 4 Juni, donasi yang terkumpul Rp 5.168.000. Donasi melalui urun dana kitabisa.com ini masih akan dibuka hingga akhir Juni 2020.