Kecemasan berlebih dapat memengaruhi kesehatan fisik, begitu pula sebaliknya. Individu diharapkan bisa menyeimbangkan kesehatan fisik dan mental selama pandemi Covid-19.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyebaran Covid-19 yang cepat dan masif membuat semua orang waspada. Bila ”terbawa arus”, kewaspadaan bisa berkembang menjadi kecemasan berlebih. Manajemen emosi yang tepat diperlukan agar individu tetap tenang dan jernih menyikapi pandemi.
Menurut hasil penelitian American Psychological Association (APA) berjudul Stress in the Time of Covid-19 Volume Two, sebanyak delapan dari 10 warga Amerika Serikat menilai, pandemi Covid-19 sebagai sumber stres yang signifikan. Salah satu faktor penyebab stres adalah respons pemerintah setempat dalam menangani pandemi.
Stres juga ditemukan pada mayoritas orangtua. Sebanyak 71 persen orangtua mengaku khawatir dengan dampak pandemi terhadap perkembangan sosial anak. Adapun 55 persen orangtua mengaku anak-anaknya bertingkah sejak awal pandemi.
Chief Executive Officer APA Arthur C Evans Jr mengatakan, sejumlah orangtua kewalahan menyeimbangkan hidup selama pandemi. Mereka berhadapan dengan tuntutan pekerjaan, rumah tangga, dan tantangan keuangan. Hal ini memicu stres pada orangtua.
”Anak-anak merupakan pengamat yang tajam. Mereka sering menyadari dan bereaksi pada stres atau kecemasan pada orangtuanya, pengasuh, teman, ataupun komunitas. Orangtua perlu merawat diri dan mencoba cara sehat untuk mengatasi stres dan kecemasan,” kata Evans, seperti dikutip dari Science Daily.
Stres dan kecemasan akibat pandemi juga berpotensi terjadi di Indonesia. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi penderita gangguan kecemasan di Indonesia mencapai 6 persen pada penduduk berusia 15 tahun ke atas. Angka ini setara dengan 14 juta penduduk dengan gangguan mental emosional. Ini ditunjukkan dengan gejala kecemasan dan depresi.
Menurut praktisi mindfulness (kesadaran penuh) Adjie Santosoputro, kecemasan adalah emosi yang wajar, terlebih saat semua orang mengalami situasi baru yang belum pernah dialami. Situasi yang dimaksud adalah era kebiasaan baru saat pandemi. Kecemasan diperlukan agar individu bisa waspada, tetapi kadar kecemasan perlu dikelola agar tidak berlebihan.
”Kita harus mengakui bahwa penyebab cemas berasal dari diri sendiri, bukan faktor eksternal. Kecemasan juga kerap terjadi karena kita kaku menghadapi perubahan. Tidak apa-apa jika merasa cemas. Tapi, cemaslah dalam batas yang wajar,” kata Adjie pada seminar virtual berjudul ”Hidrasi Sehat dan Mindfulness untuk Kurangi Kecemasan Hadapi Normal Baru”, Kamis (25/6/2020). Seminar itu diselenggarakan Danone-AQUA.
Kecemasan berlebih dapat memengaruhi kesehatan fisik, begitu pula sebaliknya. Individu diharapkan bisa menyeimbangkan kesehatan fisik dan mental. Kesehatan mental dan fisik yang buruk dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari, seperti mudah marah dan menurunkan performa kerja.
”Jika kesehatan fisik dan mental seimbang, kita baru bisa menangani kecemasan. Kita tidak bisa merawat mental tanpa merawat tubuh, begitu pula sebaliknya,” kata Adjie.
Lebih lanjut Adjie menjelaskan, kecemasan yang tidak diselesaikan akan masuk ke alam bawah sadar seseorang. Hal ini bisa menjadi ”bom waktu” yang akan meledak suatu saat.
Kecemasan yang menyusup ke alam bawah sadar bisa dideteksi. Beberapa tanda yang diberikan tubuh, antara lain, ialah emosi yang tidak stabil, produktivitas menurun, dan kebahagiaan terasa hambar.
Ketua Indonesian Hydration Working Group (IHWG) Diana Sunardi mengatakan, kondisi mental seseorang dipengaruhi oleh kecukupan hidrasi harian. Dehidrasi juga memengaruhi fungsi kognitif dan motorik yang meliputi rasa lelah, suasana hati (mood), dan konsentrasi.
”Dehidrasi sebanyak 2 persen saja sudah memengaruhi mood. Bahkan, ada penelitian yang menunjukkan gejala perubahan mood saat tingkat dehidrasinya 1 persen. Menurut penelitian lain, dehidrasi ringan memengaruhi mood berupa meningkatnya rasa cemas,” ujar Diana.
Individu perlu mencukupi kebutuhan hidrasi agar bisa mengelola emosi dan rasa cemas. Orang dewasa dan anak di atas 12 tahun membutuhkan 1,8-2 liter air per hari. Anak usia 4-12 tahun butuh 1,2-1,5 liter air per hari.
Brand Director Danone-AQUA Intan Ayu Kartika mengatakan, jadwal minum air bisa disusun agar kebutuhan hidrasi tercukupi. ”Sehari butuh sekitar empat botol minum berukuran 600 mililiter. Air bisa diminum saat bekerja, berolahraga, makan, dan bersantai,” katanya.
Atasi kecemasan
Adjie menyarankan agar individu latihan sadar napas sambil duduk untuk mengatasi kecemasan. Latihan ini dimulai dengan menyadari dan menerima kecemasan yang datang. Individu disarankan untuk tidak menahan diri atau melarikan diri dari rasa cemas.
”Setelah itu berlatih menyadari napas. Saat bernapas, wajar jika pikiran kita bergeser ke mana-mana. Pikiran ini dialihkan dan dilatih untuk menyadari tarikan dan embusan napas. Ini membuat pikiran lebih tenang,” kata Adjie.
Ia juga meminta individu untuk menerima diri dan bersikap ramah pada diri sendiri. Individu juga diminta berlatih bersikap lentur dan mengalir terhadap perubahan yang ada.
”Kita cemas karena manusia punya keinginan untuk memastikan hal yang belum pasti. Padahal, hidup ini serba tidak pasti,” ujar Adjie.