Menikah di Tengah Pandemi, Senyum Merekah di Balik Masker
Menikah memang hajatan besar dalam hidup seseorang. Namun, menikah di tengah pandemi menciptakan jarak interaksi sosial. Meski sederhana dan tak banyak tamu, menikah tetap sarat makna, bahkan dinilai jauh lebih efektif.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·5 menit baca
Pernikahan merupakan langkah besar seseorang untuk masuk ke habitus baru. Oleh karena itu, pernikahan sebisa mungkin dirayakan dengan sangat meriah dan pesta besar. Namun, di tengah pandemi Covid-19, empunya hajatan perlu banyak siasat agar menghilangkan rasa khawatir dan tetap menularkan kebahagiaan ke kerabat.
Zein Alitamara (28), warga Kota Palangkaraya, sudah merencanakan pernikahannya lebih kurang satu tahun. Seniman poster Palangkaraya itu memiliki beribu konsep desain dekorasi, bentuk riasan, memilih gedung resepsi, hingga bedah menu masakan.
Namun, semua luruh ketika pandemi Covid-19 menyerang hingga ke pelosok Kalimantan Tengah. Kengerian dan larangan membuat resepsi pun jadi beban bagi Zein dan calon suaminya, Rezky Destrio (28).
Ada satu waktu mereka dan keluarga berdebat, memutar otak untuk bisa tetap melaksanakan pernikahan meski di tengah pandemi. Tak sedikit juga kerabat ataupun sahabat yang menyarankan mereka menunda pernikahan.
Namun, rencana baik selalu dalam lindungan Allah yang mahakuasa. Prinsip itu jadi pegangan mereka agar tetap melaksanakan akad nikah meski virus mematikan menyerang.
Siasat dibuat. Teknologi jadi andalan untuk menyatukan kerabat dan sahabat yang tidak bisa hadir dalam pernikahan itu. Gedung yang jadi pilihan resepsi dibatalkan dan diganti ruang kecil di rumah mereka. Halaman rumah pun digunakan.
Minggu (26/7/2020) jadi hari penentuan mereka menikah. Undangan yang sangat terbatas disebar, secara virtual. Lengkap dengan kata sandi untuk mengikuti proses ijab kabul lewat siaran langsung di salah satu kanal dan aplikasi media sosial.
Begitu acara berlangsung, Kompas yang hadir dalam acara itu melihat suasana yang jauh berbeda. Sebelum masuk ke rumah, setiap tamu pastinya diperiksa suhu tubuh menggunakan thermo gun.
Masker jadi aksesori wajib yang digunakan. Beberapa tulisan peringatan untuk menjaga jarak, tempat cuci tangan, hingga cairan pencuci tangan pun disiapkan di depan. Tamu akan diarahkan langsung ke tempat duduk yang disediakan, tetapi banyak yang memilih berdiri, berjarak-jarak.
Di tenda di halaman rumah, bangku-bangku diatur dengan jarak lebih kurang satu meter. Tiba-tiba terdengar teriakan, ”Gimana, sah?” Lalu dijawab serentak beberapa orang, ”Saaah.” Tepuk tangan riuh mengikuti. Beberapa orang bahkan tak menyadari bahwa proses ijab kabul sudah selesai.
Semua berlangsung dengan penuh hikmat. Para tamu kemudian bergantian memberikan kado atau sekadar berswafoto dengan pengantin. Fotografer pun terlihat garang jika ada tamu yang lupa menjaga jarak.
Dalam proses itu, tak terdengar cibiran soal makanan katering, riasan pengantin, atau dekorasi. Hal-hal yang dulu itu normal malah menjadi tak normal dibicarakan saat pernikahan digelar di tengah pandemi.
Gedung yang megah diganti ruang sederhana. Dekorasi yang menumpuk-numpuk pun diganti dengan dekorasi yang sederhana nan elegan. Makanan dibungkus dengan semacam kotak anyaman purun (sebuah tanaman liar khas gambut) yang bisa ditenteng pulang.
Dalam sebuah pernikahan, suvenir jadi incaran para tamu undangan. Zein mendesain sendiri suvenirnya yang berupa masker, sabun cuci tangan, hingga gelas keramik. Memang dikenal sebagai seniman poster, Zein membubuhkan beberapa desain miliknya pada masker, gelas, atau kartu ucapan terima kasih.
Rasa bahagia ditumpahkan dalam desain bingkisan yang dibalut warna biru dengan beragam corak dan simbol. Simbol-simbol itu mungkin juga menyiratkan ungkapan syukur dan terima kasih kepada para kerabatnya.
Suvenir memang jadi kenangan. Namun, dalam pernikahan Zein, suvenir tak hanya kenangan dari si empunya hajatan, tetapi juga pengingat bahwa pernikahan itu dilakukan dalam situasi darurat kesehatan atau pandemi Covid-19 yang menyerang dunia.
Layanan daring
Zein tak bisa mengundang banyak orang dalam pernikahannya. Tidak seperti yang ia bayangkan sebelum pandemi menyerang. Dari rencana mengundang ribuan orang, pagi itu hanya segelintir orang menghadiri upacara hikmat ijab kabul. Mungkin tak lebih dari 30 orang.
Prosesi itu pun terlihat begitu cepat. Saat tamu undangan yang terbatas itu datang, mereka terpencar di sudut-sudut ruangan yang sudah disiapkan dan didesain agar menjaga jarak. Mereka berfoto, mengambil bingkisan suvenir, paket makanan, lalu pulang.
Karena sangat terbatas, Zein menggunakan layanan aplikasi daring agar semua temannya tetap bisa merasakan kebahagiaan Zein dan Rezky.
Seperti Abil Achmad Akbar, sahabat Zein yang tinggal di Bogor. Ia hanya mengikuti prosesi pernikahan lewat aplikasi itu.
”Enggak enak, memang. Soalnya lewat streaming, kan, banyak kendala dan gangguan. Tetapi, yang penting doanya sampai buat mereka berdua,” kata Abil.
Pendemi, lanjut Abil, memang membatasi interaksi sosialnya dengan sahabat, bahkan keluarga. Namun, pandemi tidak menahan atau membatasi doa. Ia tetap ikut berbahagia meski tak bisa menyaksikan langsung.
Layanan daring itu memang menyatukan doa di udara untuk Zein dan Rezky. Begitu juga mereka yang hadir langsung di acara pernikahan. Rasa khawatir itu sedikit memudar di acara sederhana, namun tetap berseni.
Monalisa Bambang, sahabat Zein yang hadir, mengungkapkan, sedikit menyakitkan karena jarak tamu yang datang pun tetap diatur dalam mengucapkan selamat. Namun, ia dan tamu lain yang datang tetap merasakan sukacita dan menjadi saksi kebahagiaan sahabatnya yang tetap menikah di tengah pandemi.
”Ini langkah besar yang diambil mereka berdua. Bagi saya, jarak maupun keterbatasan tak mampu membendung rasa sukacita atas pernikahan mereka,” kata Monalisa.
Layanan daring itu memang menyatukan doa di udara untuk Zein dan Rezky.
Hal serupa dirasakan Yohanes Prahara yang ikut hadir dalam acara pernikahan itu. Ia melihat pernikahan di tengah pandemi justru mendapatkan kesakralan tersendiri lantaran dilakukan secara privat antara keluarga dan sahabat. ”Doa yang penting karena mereka menempuh hidup baru dan tetap berkarya dengan rasa yang baru,” katanya.
Zein dan Rezky mampu untuk membuat pernikahan dengan pesta resepsi. Namun, pandemi membuka mata mereka untuk menikah dengan cara paling sederhana dan bersiasat. Anggaran yang digunakan mungkin sangat sedikit, tetapi kualitas pernikahan yang paling penting.
Sebuah penelitian berjudul ”’A Diamond is Forever’ and Other Fairy Tales: The Relationship between Wedding Expenses and Marriage Duration” menunjukkan pasangan yang menyelenggarakan acara pernikahan mahal jauh lebih rentan bercerai. Para peneliti mewawancarai lebih dari 3.000 pasangan menikah dan yang pernah menikah di Amerika Serikat untuk membuktikannya.
Para peneliti, Andrew Francis-Tan dari National University of Singapore dan Hugo M Mialon dari Emory University, mengungkapkan dalam tulisannya, pernikahan sederhana yang hanya dihadiri kerabat terdekat dan punya kedekatan batin biasanya lebih langgeng dalam kehidupan pernikahannya. Hal yang paling penting adalah dukungan, kehadiran, dan restu dari orang-orang terdekat itu.
Pernikahan Zein dan Rezky memang hanya dihadiri segelintir orang. Saat menikah pun mereka mengenakan masker berikut para tamu undangan. Namun, senyum mereka tetap merekah di balik masker-masker itu.