95 Persen Keluarga di Indonesia Stres
Pandemi Covid-19 menghantam semua lini kehidupan, termasuk keluarga. Saat semua orang tinggal di rumah saja, keluarga diuji ketahanannya dari berbagai masalah yang rentan muncul, mulai dari komunikasi sampai kekerasan.
Pandemi Covid-19 berdampak pada semua, termasuk keluarga dan relasi di dalamnya. Sebagian keluarga harus menghadapi tantangan yang mengancam keutuhannya. Namun, ada pula keluarga yang mampu melaluinya hingga menemukan banyak hal baru. Bagaimana memetakannya?
Survei daring Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selama April-Mei 2020 terhadap lebih 20.000 keluarga di Indonesia menunjukkan, 95 persen keluarga mengalami stres akibat pandemi dan pembatasan sosial yang dilakukan guna mencegah penyebaran Covid-19.
Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga BKKBN M Yani, di Jakarta, Kamis (14/5/2020), mengatakan, bukan hanya ancaman penyakitnya yang menimbulkan stres masyarakat, melainkan juga dampak ekonomi yang menyertainya.
”Masyarakat merasa stres, sedih, cemas, mengalami kesulitan tidur, memengaruhi nafsu makan, menimbulkan rasa putus asa, hingga ada yang punya pikiran bunuh diri,” katanya.
Gejala cemas dan depresi yang ditunjukkan masyarakat itu sejalan dengan data swaperiksa Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia yang dipublikasikan akhir April lalu. Sebanyak 63 responden mengalami kecemasan dengan gejala berpikir sesuatu yang buruk akan terjadi, kuatir berlebih, mudah marah, dan sulit rileks atau santai.
Selain itu, 66 responden mengaku depresi dengan gejala mengalami gangguan tidur, kurang percaya diri, lebih tidak bertenaga, hingga kehilangan minat. Sedangkan 80 persen responden mengaku punya gejala stres pascatrauma psikologis karena mengalami atau menyaksikan peristiwa tak menyenangkan terkait Covid-19, seperti merasa berjarak dan terpisah dari orang lain atau waspada terus-menerus.
Berbagai kondisi itu terjadi pada keluarga Indonesia dan memengaruhi ketahanannya. Karena itu, dalam rangka menyambut Hari Keluarga Internasional yang diperingati setiap 15 Mei, penting untuk menata kembali keluarga Indonesia agar terjaga ketahanannya yang akan memengaruhi ketahanan bangsa.
Psikolog anak dan keluarga di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yang juga Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Wilayah Jakarta, Anna Surti Ariani, mengatakan, dari telekonseling yang dilakukan sejumlah psikolog ataupun pantauan psikolog puskemas langsung ke masyarakat menemukan masalah yang dihadapi keluarga Indonesia sangat beragam, dari ringan sampai berat.
Berkurangnya penghasilan, kehilangan pekerjaan, kesibukan yang meningkat akibat bekerja, sekolah dan beribadah di rumah, hingga perubahan peran tanpa adanya bekal kemampuan membuat banyak anggota keluarga menghadapi masalah baru.
Menemani anak belajar, misalnya, banyak orangtua selama ini hanya mengantarkan anaknya saja sampai ke sekolah. Saat belajar di rumah diberlakukan, orangtua jadi ikut bertanggung jawab dalam proses pembelajarannya meski mereka tidak memiliki keterampilan sebagai guru.
Terpusatnya seluruh aktivitas harian di rumah membuat intensitas pertemuan anggota keluarga menjadi penuh. Situasi itu memunculkan sikap-sikap anggota keluarga yang selama ini tak terperhatikan dan terkadang menyebalkan. Ketidakmampuan mengomunikasikan sikap yang tidak menyenangkan itu juga rentan memicu pertikaian.
Lemahnya kemampuan berkomunikasi dan menyelesaikan masalah membuat persoalan sepele bisa menjadi besar. Rebutan sinyal internet, persediaan roti di rumah habis tetapi sulit untuk keluar rumah, hingga ada sisa minyak mi instan di gunting bisa jadi pemantik keributan.
Belum lagi jika ada anggota keluarga yang sakit. Meski bukan Covid-19, sakit selama pandemi juga menimbulkan kerumitan saat ingin bertemu dokter, ke rumah sakit atau untuk sekadar merawatnya. Apalagi jika ada anggota keluarga yang meninggal. Larangan untuk berkumpul membuat keluarga yang ditinggalkan sulit mendapat dukungan atau penghiburan.
”Masalah ringan yang tidak diselesaikan akan memberikan tekanan tambahan yang bisa memunculkan pertengkaran lebih besar. Terlebih, banyak pasangan yang kurang memiliki keterampilan berkeluarga hingga sulit menyelesaikan masalah,” katanya.
Baca juga: Perempuan Berperan Penting Atasi Pandemi
Keterampilan berkeluarga
Pertengkaran yang terjadi itu bisa dengan mudah berubah menjadi kekerasan, baik verbal, emosional, fisik, maupun finansial. Kondisi itu membuat sejumlah konseli (orang yang berkonsultasi pada psikolog/konselor) berpikir untuk bercerai. Bahkan, di sejumlah negara sudah melaporkan peningkatan perceraian pascakarantina wilayah (lockdown) akibat Covid-19, seperti China, India, dan Turki.
Anna menambahkan, laporan psikolog yang bertugas di puskemas serta memantau orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) yang dirawat di rumah juga menemukan, persoalan yang dihadapi masyarakat menengah bawah yang tinggal di rumah petak lebih rumit.
Tinggal bersama dalam waktu lama dalam ruang sempit, tanpa ada fasilitas yang bisa mereka jadikan untuk melepaskan sejenak masalah yang dihadapi, hingga kesulitan melakukan pembatasan fisik dan sosial akibat rumah yang saling berimpitan membuat mereka menghadapi beban ganda pemicu stres.
Lemahnya keterampilan berkeluarga, seperti berkomunikasi atau berinteraksi dengan orang lain itu dinilai Anna bersumber dari pola pengasuhan (parenting) orangtua pada masa lalu. ”Pola asuh itu akan membentuk kepribadian seseorang yang bisa terbawa hingga saat mereka membentuk keluarga sendiri,” katanya.
Banyak orangtua pada masa lalu yang membesarkan anak penuh dengan tekanan, kekerasan, hingga perkataan yang merendahkan. Semua itu membentuk konsep diri seseorang yang merasa dirinya lemah, buruk, tidak berdaya, atau tidak bisa apa-apa. Tanpa ada penyelesaian, konsep diri itu bisa memengaruhi keterampilan seseorang saat mereka membentuk keluarga baru.
Namun, ada pula sebagian keluarga yang bisa memaknai pandemi ini hingga menemukan hobi, aktivitas baru, mengakrabkan hubungan, dan makin mengenal anggota keluarga. Banyak faktor yang membuat sebagian keluarga itu bisa memaknai pandemi secara positif. Yang pasti, mereka memiliki pola pikir yang bisa mengubah tekanan dan keterbatasan menjadi peluang yang menguntungkan.
”Mereka hanya berusaha melakukan apa yang bisa mereka kontrol, hal yang tidak bisa mereka kontrol akan diterima saja,” kata Anna.
Persoalan keluarga yang muncul selama pandemi ini membuat upaya sertifikasi pernikahan atau pendidikan pranikah yang digagas Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada 2019 penting untuk segera direalisasikan. Selain itu, lembaga-lembaga konseling pernikahan untuk membantu persoalan keluarga yang dihadapi 60 juta keluarga Indonesia juga perlu dibangun dan dihidupkan.
Saat ini, lanjut Yani, BKKBN baru meluncurkan situs siapnikah.org yang diharapkan bisa membantu pasangan muda agar benar-benar siap menjalani kehidupan berkeluarga. Selain itu, kelompok masyarakat sipil juga perlu diperkuat hingga bisa membantu mengatasi persoalan-persoalan ini bersama pemerintah.
Dengan 14.000 petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) berstatus aparatur sipil negara (ASN), 9.000 PLKB non-ASN, dan 1,2 juta kader di seluruh Indonesia, pemerintah ingin memastikan kehadirannya di tengah keluarga Indonesia saat pandemi berlangsung. Namun, pemerintah tidak akan sanggup menyelesaikan semua persoalan itu sendiri.
”Kekuatan masyarakat perlu terus diberdayakan hingga terbangun kepedulian terhadap tetangga atau masyarakat sekitar,” kata Yani. Selama ini, kekuatan masyarakat sipil Indonesia yang tidak banyak dimiliki negara lain itu terbukti menjadi penyelamat Indonesia dalam melalui berbagai krisis dan bencana.
Baca juga: Ujian Ketahanan Keluarga