Wabah Covid-19 telah berdampak terhadap kehidupan perempuan. Dampak pandemi ini bagi kaum perempuan cukup besar, tetapi perempuan juga bisa dilibatkan untuk memerangi virus korona dengan cara yang efektif.
Oleh
Rini Kusiasih
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan memainkan peranan penting dalam mengatasi pandemi Covid-19. Dengan kekuatan mereka secara sosial dan ekonomi, perempuan seharusnya lebih aktif dilibatkan dalam upaya penanganan Covid-19. Sebab, selain berperan penting, perempuan juga menjadi pihak yang terdampak besar dari penyebaran penyakit Covid-19.
Dalam diskusi melalui telekonferensi yang diadakan dalam rangka memperingati Hari Kartini, perwakilan perempuan yang tergabung di dalam Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), dan Maju Perempuan Indonesia (MPI), menyampaikan pendapatnya tentang peran, kesiapan, dan ketahanan perempuan menghadapi Covid-19.
Hadir sebagai narasumber ialah Ketua Presidium KPP-RI Diah Pitaloka; Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmavati; ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati; anggota Ombudsman RI, Ninik Rahaya Maksoem; dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani memberikan sambutan untuk membuka diskusi.
Puan mengatakan, perempuan tidak hanya menjadi pihak yang terdampak besar, tetapi juga memiliki peranan besar untuk mengatasi Covid-19.
Perempuan tidak hanya menjadi pihak yang terdampak besar, tetapi juga memiliki peranan besar untuk mengatasi Covid-19.
Doni mengatakan, perempuan berperan penting dalam menjaga imunitas keluarga. Dengan peranannya di keluarga, misalnya, perempuan bisa menjelaskan bahaya Covid-19 melalui bahasa yang sederhana. Ketahanan keluarga, antara lain, yang bisa menjaga kesehatan masyarakat dan mencegah penyebaran Covid-19.
”Penanganan Covid-19 juga bergantung pada ketahanan kesehatan keluarga dan gizi yang seimbang. Hal itu pun dimulai dari lingkungan rumah,” kata Doni.
Peran perempuan yang besar juga terlihat dari keterlibatannya secara aktif sebagai tenaga medis yang berada di garis depan dalam penanganan Covid-19. Dari catatan BNPB, 71 persen perawat kesehatan adalah perempuan dan 29 persen laki-laki. Data yang dimiliki BNPB ini hampir sama dengan data global yang menyebutkan perawat didominasi oleh perempuan, yakni 70 persen, dan laki-laki 30 persen.
Peranan perempuan di lingkungan masing-masing krusial, terutama untuk menyampaikan informasi mengenai penyakit Covid-19 ini dengan cara-cara yang mudah dipahami. Sebagai contoh ialah kebiasaan mencuci tangan yang kadang kala tidak bisa dipahami oleh masyarakat awam. Perempuan bisa menerangkan kepada lingkungan dan keluarganya dengan mendasarkan fakta bahwa 70-90 persen paparan penyakit terjadi melalui tangan. Tangan yang terpapar itu jika menyentuh mulut, hidung, atau mata akan berpotensi menyebabkan penularan penyakit Covid-19.
Bintang mengatakan, perempuan merupakan kelompok yang terdampak berat dari penyakit Covid-19. Namun, di tengah pandemi, perempuan menopang ekonomi bangsa. Dari data Kementerian Koperasi dan UKM, 98 persen dari usaha di bidang koperasi dan UKM berskala mikro. Sebanyak 50 persen usaha skala mikro itu dikelola oleh perempuan.
”Perempuan juga mampu menangkap peluang di tengah pandemi karena banyak dari perempuan yang beralih memproduksi alat pelindung diri (APD) bagi tenaga medis,” kata Bintang.
Di sisi lain, menurut Bintang, perempuan juga merupakan kelompok yang terdampak berat dari pandemi Covid-19. Dalam situasi normal saja, indeks pemberdayaan manusia perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Dalam kondisi pandemi saat ini, banyak pekerja perempuan yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Dari data 16 April 2020, jumlah pekerja yang terkena PHK sebagai dampak Covid-19 ada 1.358 orang. Dari jumlah itu, 762 orang di antaranya adalah perempuan. Selain itu, pandemi juga semakin menyulitkan perempuan kepala keluarga dan perempuan prasejahtera.
Dalam salah satu program yang digagas Kementerian PPPA, misalnya, yang semula bisa mendampingi nasabah 6,4 juta perempuan prasejahtera, kini per 4 April 2020, hanya 4,4 juta nasabah yang dapat didampingi. Selain itu, dari 4.144 pekerja migran yang dipulangkan, 83 persen adalah pekerja migran perempuan.
Diah mengatakan, dalam kondisi pandemi, perempuan sama halnya dengan elemen masyarakat lainnya, harus saling membantu dan fokus berbuat baik. Namun, untuk mencegah ekses buruk pandemi ini terus diderita oleh perempuan, harus ada upaya pemerintah untuk memastikan kapan pandemi ini dapat diakhiri.
”Saat ini kita membutuhkan kebersamaan dalam menghadapi situsi pandemi. Seberat apa pun stay at home (tetap berada di rumah), kita juga tetap stay together (tetap bersama),” katanya.
Enny mengatakan, belum ada negara yang mampu mendeklarasikan dirinya mampu menang melawan Covid-19. Pandemi ini sangat berat sehingga pemerintah harus melakukan aksi-aksi yang sifatnya implementatif, tidak sekadar rencana.
”Sentra fokus saat ini ialah bagaimana memutuskan rantai penularan Covid-19 dulu. Memang hal itu akan memiliki dampak terhadap pengangguran sehingga menyebabkan pendapatan keluarga terhenti. Namun, ini harus dilakukan. Kalau tidak, kita tidak akan pernah tahu sampai kapan kita harus tetap berada di rumah, apakah sampai Mei atau Juni, tidak ada yang tahu,” katanya.
Sentra fokus saat ini ialah bagaimana memutuskan rantai penularan Covid-19 dulu. Memang hal itu akan memiliki dampak terhadap pengangguran sehingga menyebabkan pendapatan keluarga terhenti. Namun, ini harus dilakukan.
Enny juga mengingatkan isi dari Pasal 27 dan Pasal 28 UUD 1945. Pasal 27 menjamin pekerjaan yang layak bagi warga negara, sedangkan Pasal 28 menjamin kehidupan fakir miskin dan anak telantar yang ditanggung oleh negara. ”Karena ini kaukus di parlemen tolong tidak perlu terlalu banyak sekali program, tetapi harus jelas dan benar-benar efektif menyelesaikan masalah,” katanya.
Di masa pandemi, menurut Enny, perlindungan sosial harus difokuskan untuk mereka yang miskin dan mendapatkan penghasilan harian, bekerja di sektor informal, serta mereka yang terpaksa dirumahkan dari pekerjaannya.
Ninik mengatakan, perempuan rentan di masa pandemi karena masih adanya diskriminasi jender. Sebelum ada pandemi, kondisi kesehatan memprihatinkan karena pengaruh diskriminasi jender, antara lain dengan adanya risiko kanker leher rahim, aborsi, malanutrisi, angka kematian ibu melahirkan, dan sunat perempuan. Dengan adanya pandemi ini, kondisi kesehatan perempuan berpotensi memburuk.
”Penting sekali kita petakan bagaimana posisi dan kondisi perempuan saat ini,” katanya.