Pemerintah Indonesia memastikan tak akan memulangkan teroris lintas batas (”foreign terrorist fighter”/FTF) WNI eks NIIS. Namun, bagi WNI non-FTF dipersilakan asalkan melapor ke KBRI setempat.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia memastikan tidak akan memulangkan teroris lintas batas (foreign terrorist fighter/FTF) eks Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Namun, bagi warga negara Indonesia non-FTF yang memang ingin pulang diharapkan terlebih dulu melapor ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) setempat.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Rabu (12/2/2020), di Jakarta, menegaskan, Indonesia tidak akan melakukan pendampingan hukum ataupun proses hukum internasional lainnya terhadap teroris lintas batas (FTF).
Menurut Mahfud, Pemerintah Indonesia sebenarnya mengalami kesulitan mendata WNI eks NIIS ini. Pemerintah hanya mendapatkan laporan dari pihak luar, di antaranya Badan Pusat Intelijen Amerika Serikat (CIA) dan Komite Internasional Palang Merah (ICRC) bahwa ada orang Indonesia di kamp pengungsian bekas teritori NIIS. Namun, pihak Pemerintah Indonesia juga kesulitan memverifikasi data pengungsi sebab dokumen paspor mereka sudah dibakar.
Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) sudah ke sana untuk memverifikasi data, tetapi mereka (WNI eks NIIS) menghindar. Tim hanya dapat data nama-nama dari CIA, ICRC, tetapi tidak dapat melihat langsung mereka.
”Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) sudah ke sana untuk memverifikasi data, tetapi mereka (WNI eks NIIS) menghindar. Tim hanya dapat data nama-nama dari CIA, ICRC, tetapi tidak dapat melihat langsung mereka,” ujar Mahfud saat ditanya di Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Rabu.
Menurut Mahfud, beberapa kasus yang ditemui dari WNI eks NIIS ini adalah mereka sudah tidak mengakui kewarganegaraan Indonesia. Bahkan, mereka sudah membakar dokumen paspor yang dimiliki. Dengan kondisi ini, pemerintah mempersilakan kepada WNI eks NIIS yang memang berniat untuk pulang untuk segera melapor ke KBRI setempat. Indonesia akan mempertimbangkan untuk memulangkan, terutama mereka dengan kriteria anak usia di bawah 10 tahun. Itu pun masih akan dilihat kasus per kasusnya.
Pemerintah khawatir anak-anak yang pernah terlibat tembak-menembak sudah terpapar ideologi teroris. Ketika kembali ke Indonesia, mereka berpotensi membangkitkan lagi sel-sel terorisme.
”Selama ini kami hanya mendapatkan laporan dari sumber otoritas resmi saja, tetapi orangnya tidak pernah menampakkan diri. Sejauh ini, kami baru mendapatkan laporan dari Turki ada anak sekian, perempuan sekian,” imbuh Mahfud.
Kemarin, di Istana Bogor, Jawa Barat, seusai rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo, Mahfud juga menyebutkan, berdasarkan informasi, saat ini terdapat 689 teroris lintas batas asal Indonesia yang berada di Suriah, Turki, dan beberapa negara lain. Namun, data itu masih perlu divalidasi. Dari total jumlah WNI eks NIIS yang tercatat itu, baru 228 orang yang sudah teridentifikasi.
Mahfud juga memastikan bahwa mereka yang termasuk dalam kelompok teroris lintas batas (FTF) tidak akan dipulangkan. Namun, WNI non-FTF di wilayah seperti Turki, Suriah, dan negara sekitarnya bisa melapor ke KBRI. Mahfud menegaskan, pemerintah sudah memutuskan bahwa Indonesia menjamin rasa aman dan nyaman bagi 267 juta warga negara yang hidup di Indonesia. WNI yang tinggal di Indonesia harus dilindungi dari ancaman teroris. Dengan demikian, pemerintah mengambil opsi tidak akan memulangkan teroris lintas batas (FTF), kombatan yang sebelumnya tergabung dalam NIIS. Langkah selanjutnya yang dilakukan pemerintah adalah mendata dan melakukan verifikasi data dan laporan dari lembaga internasional terkait jumlah WNI eks NIIS yang berada di wilayah Turki, Suriah, dan sekitarnya.
Diplomasi bilateral
Menanggapi permasalah ini, peneliti dari International for Association Counter Terrorism and Security Studies, Rakyan Adi Brata, mengatakan, meskipun pemerintah sudah menentukan sikap terhadap FTF, pemerintah tetap harus melakukan diplomasi bilateral kepada negara seperti Turki dan Suriah. itu karena ada kemungkinan negara-negara yang saat ini menampung WNI eks NIIS ini akan melakukan deportasi. Jika Pemerintah Indonesia melakukan diplomasi bilateral, paling tidak proses deportasi dapat ditunda. Penundaan itu dapat digunakan oleh pemerintah untuk memperbaiki sistem deradikalisasi teroris.
Menurut Rakyan, sistem deradikalisasi teroris yang ada di Indonesia saat ini masih belum ideal. Pendampingan terhadap teroris dalam proses deradikalisasi, misalnya, harus dilakukan 1:1. Satu eks teroris harus didampingi oleh 1 orang pendamping deradikalisasi.
Berdasarkan data dari IACTSS, selama 2017-2018, ada 255 orang yang dideportasi dari Turki, Suriah, dan sekitarnya. Mereka terdiri dari 42 persen anak-anak, 35 persen perempuan, dan 23 persen laki-laki. Sebanyak 105 deportan di antaranya anak-anak dengan kategori 48 persen di bawah 5 tahun dan hanya 10 persen usia 13-18 tahun.
Apa pun opsi yang diambil, pemerintah melalui BNPT tetap harus memperbaiki sistem deradikalisasi teroris yang sudah ada. Sebab, meskipun mereka tidak memulangkan FTF, tetap ada kemungkinan warga yang berasal dari wilayah eks NIIS akan dideportasi ke Indonesia. Pemerintah harus siap.
”Apa pun opsi yang diambil, pemerintah melalui BNPT tetap harus memperbaiki sistem deradikalisasi teroris yang sudah ada. Sebab, meskipun mereka tidak memulangkan FTF, tetap ada kemungkinan warga yang berasal dari wilayah eks NIIS akan dideportasi ke Indonesia. Pemerintah harus siap,” ucap Rakyan.
Sebelumnya diberitakan, pemerintah akhirnya memutuskan tidak memulangkan para teroris lintas batas (foreign terrorist fighters/FTF) asal Indonesia dengan pertimbangan untuk memberi rasa aman kepada rakyat di Tanah Air. Akan tetapi, terhadap anak-anak di bawah usia 10 tahun yang dibawa orangtuanya atau yatim piatu, pemerintah akan mempertimbangkan.