Dua mantan Wakil Gubernur Sumatera Selatan dihadirkan untuk menjadi saksi kasus korupsi PDPDE Sumsel yang menyeret bekas Gubernur Sumsel Alex Noerdin. Mereka bersaksi tidak pernah tahu permasalahan perusahaan itu.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS Dua mantan Wakil Gubernur Sumatera Selatan dihadirkan untuk menjadi saksi kasus korupsi Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi Sumatera Selatan yang menyeret bekas Gubernur Sumsel Alex Noerdin. Walau menjadi Ketua Badan Pengawas, keduanya tidak tahu banyak mengenai aktivitas PDPDE termasuk permasalahan yang membelitnya.
Hal ini mengemuka dalam sidang Kasus Korupsi Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumatera Selatan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang, Sumsel, Kamis (10/2/2022). Hadir sebagai saksi Wakil Gubernur Periode 2008-2013 Eddy Yusuf dan Wakil Gubernur Sumsel periode 2013-2018 Ishak Mekki serta mantan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sumsel Robert Heri.
Dalam persidangan yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Abdul Aziz, Eddy menjelaskan, ketika terpilih menjadi Wakil Gubernur Sumsel, secara otomatis, dia juga menjabat sebagai Ketua Badan Pengawas Perusahaan Daerah. Hal ini tertuang dalam Peraturan Daerah Sumatera Selatan Nomor 7 Tahun 2000 tentang Pembentukan Perusahaan Daerah Minyak dan Gas Bumi.
Walau menempati posisi tersebut, Eddy mengaku tidak banyak tahu terkait kinerja PDPDE Sumsel, termasuk adanya pembentukan perusahaan patungan antara PDPDE Sumsel dan PT Dika Karya Lintas Nusa. (DKLN) milik Mudai Maddang. Minimnya informasi tersebut lantaran Eddy jarang dimintai pertimbangan mengenai perkembangan PDPDE.
Eddy mengaku pernah dimintai saran mengenai PDPDE ketika ada rencana rangkap jabatan di dalam PDPDE Sumsel. Saat itu, Caca Isa Saleh yang kala itu sudah menjabat sebagai Direktur Utama PDPDE Sumsel diajukan menjadi Dirut PDPDE Gas, yakni perusahaan patungan antara PDPDE Sumsel dan PT DKLN.
Saat itu, ungkap Eddy, badan pengawas sudah menyarankan tidak dilakukan rangkap jabatan, tetapi pertimbangan tersebut diabaikan dan Alex tetap menjadikan Caca sebagai Direktur Utama PDPDE Gas.
Terkait izin prinsip untuk penyertaan modal, Eddy juga tidak mengetahui hal itu. ”Mungkin proposal tersebut diterima oleh badan pengawas, tetapi tidak disertakan kepada saya. Namun, dari anggota badan pengawas langsung ke gubernur,” ujarnya.
Padahal, dalam aturan, sejumlah kebijakan strategis sebuah perusahaan daerah harus melalui rekomendasi badan pengawas sebelum diputuskan oleh gubernur Sumsel sebagai kepala daerah.
Masalah ini bahkan baru saya dengar ketika tidak lagi menjabat sebagai wakil gubernur. Itu pun dari media. (Ishak Mekki)
Kebijakan itu seperti pengadaan perjanjian yang berlaku lebih dari satu tahun, pengadaan pinjaman atau penerbitan obligasi, pengadaan investasi baru dan penyertaan modal dalam bentuk perusahaan lain, dan penerapan sejumlah kebijakan yang memerlukan keputusan gubernur.
Hal serupa juga disampaikan oleh Ishak Mekki. Dia menuturkan dalam menjalankan jabatannya sebagai Ketua Badan Pengawas Perusahaan Daerah, dia hanya menunggu laporan dari direksi. Dari laporan tersebut, kemudian dilakukan kajian yang dijadikan dasar rekomendasi kepada Gubernur Sumsel untuk mengambil keputusan.
Hanya, sejak dia menjabat sebagai Ketua Badan Pengawas pada periode 2014-2018, Ishak tidak pernah mendengar adanya permasalahan yang dialami oleh PDPDE Sumsel. ”Masalah ini bahkan baru saya dengar ketika tidak lagi menjabat sebagai wakil gubernur. Itu pun dari media,” ungkap Ishak.
Berdasarkan perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan, akibat kasus korupsi ini, negara mengalami kerugian sepanjang kurun waktu 2010 hingga 2019 sebesar 30 juta dollar AS atau Rp 420 miliar (kurs Rp 14.000). Alex pun didakwa telah memperkaya diri sendiri dan memperkaya orang lain.
Ishak mengakui pernah menandatangani laporan keuangan PDPDE Sumsel pada tahun 2014. Dalam laporan tersebut, tidak ada masalah keuangan yang membelit PDPDE karena berdasarkan audit akuntan publik sudah berstatus wajar tanpa pengecualian. ”Namun, akuntan publik tersebut juga didatangkan oleh direksi PDPDE,” ungkapnya.
Bekas Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin (paling kanan di layar) mengikuti sidang dakwaan atas perkara dugaan korupsi pembangun Masjid Raya Sriwijaya dan hak pembelian gas bumi Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palembang, Kamis (3/2/2022). Dalam dakwaan tersebut Alex dikenakan pasal berlapis.
Mantan Kepala Dinas Energi dan Pertambangan Sumatera Selatan Robert Heri menjelaskan, pengetahuannya mengenai PDPDE hanya sebatas ada perbincangan dari Alex, bahwa gas di Merang itu dialokasikan untuk PT DKLN. Selain itu, pada tahun 2009, dia diperintahkan Alex untuk menghubungi Caca. ”Namun, terkait esensi pemanggilan, saya benar-benar tidak tahu,” katanya.
Minimnya informasi tentang PDPDE tersebut karena walau menjabat sebagai Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumsel, pengelolaan PDPDE langsung di bawah perusahaan daerah. Adapun pengawasan langsung oleh pemerintah pusat melalui BP Migas.
Waldus Situmorang, kuasa hukum Alex Noerdin, mengatakan, sebagai badan pengawas seharusnya tim tersebut benar-benar mengawasi jalannya perusahaan daerah. ”Kewenangan mereka begitu besar sehingga mereka harus jemput bola. Ketika mengetahui ada penyimpangan, di sanalah mereka harus memberi peringatan,” katanya.
Apalagi, kewenangan badan pengawas sangat strategis. Hal itu tergambar dari 13 pasal yang tercantum dalam Perda Sumsel No 7 Tahun 2000. ”Melihat banyaknya pasal itu berarti badan pengawas memiliki kewenangan yang sangat strategis,” ungkap Waldus.
Di dalam sidang tersebut, tim kuasa hukum hanya ingin mengembalikan lagi jalur birokrasi di mana keputusan dari atasan diambil berdasarkan usulan dari bawah bukan sebaliknya. ”Kami hanya ingin mengingatkan hak dan kewajiban mereka karena pernyataan dari saksi banyak tidak tahu,” katanya.