Silang Pendapat Penutupan Taman Nasional Komodo Resahkan Pelaku Pariwisata
Sikap pro-kontra yang diperlihatkan Pemprov dan masyarakat Nusa Tenggara Timur terkait penutupan Taman Nasional Komodo di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur membuat resah pelaku usaha wisata dan turis manca negara yang sedang merencanakan kunjungan ke Labuan Bajo. Jika penutupan itu hanya berlangsung satu tahun, tidak merugikan kegiatan pariwisata di Labuan Bajo secara berkepanjangan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
KUPANG, KOMPAS - Silang pendapat antar pemerintah provinsi dan masyarakat Nusa Tenggara Timur terkait penutupan Taman Nasional Komodo di Manggarai Barat, meresahkan pelaku usaha wisata dan turis mancanegara yang berencana berkunjung ke Labuan Bajo. Padahal jika penutupan hanya satu tahun, tidak akan merugikan kegiatan pariwisata di daerah wisata itu secara berkepanjangan.
Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur Joseph Nae Soi di Kupang, Rabu (31/7/2019) mengatakan, sikap pemprov menutup sementara kawasan Taman Nasional (TN) Komodo sudah matang. Kebijakan ini akan ditindaklanjuti dengan sejumlah kebijakan pengelolaan kawasan itu menjadi lebih menarik dikunjungi, dibanding saat ini.
Sesuai keputusan pemprov bersama pemerintah pusat, penutupan sementara itu diberlakukan 1 Januari 2020, selanjutnya dilakukan sejumlah kegiatan penataan TN Komodo. "Kondisi kawasan saat ini sangat memprihatinkan. Kasus pencurian binatang Komodo, perburuan dan pencurian rusa dan babi hutan sebagai pakan utama binatang oleh orang tak bertanggungjawab dan pengrusakan sejumlah ekosistem,”kata Nae Soi.
Pemprov akan bekerjasama dengan Balai Konservasi TN Komodo, akademisi, dan tim khusus penataan kawasan taman nasional. Penataan kawasan TN Komodo dengan tetap memperhatikan fauna dan flora asli di dalam pulau itu, termasuk pengembangbiakan pakan komodo seperti rusa dan kambing.
Sesuai rencana pemprov, sekitar 2.000 penduduk di dalam kawasan TN Komodo dipindahkan ke luar, kemungkinan di Pulau Rinca, berjarak sekitar 25 mil dari Pulau Komodo. Tetapi hal ini masih dalam kajian tim teknis, apakah mereka harus dipindahkan atau tidak.
Sementara Ketua Fraksi Demokrat DPRD NTT Winston Rondo mengatakan, penutupan kawasan TN Komodo menyalahi aturan. Taman Nasional di seluruh wilayah Indonesia selalu dibawa kewenangan pemerintah pusat bukan pemprov.
Dana APBD NTT terbatas yakni Rp 5,3 triliun. Dana ini untuk gaji PNS daerah sekitar 8.000 orang, membangun infrastruktur jalan, jembatan, pendidikan, kesehatan, pertanian, peternakan, dan perumahan rakyat layak huni saja tidak cukup, apalagi mengelola kawasan TN Komodo yang begitu luas. Dengan kebijakan mengelola TN Komodo, kemudian memindahkan anggaran dari satu proyek ke proyek lain secara sepihak, tidak dipernankan. Apalagi mengelola TN Komodo butuh biaya lebih dari Rp 150 miliar per tahun.
Ia mengatakan, dalam kunjungan kerja di Pulau Komodo sebelum mengikuti musyawarah nasional Asosiasi DPRD se-Indonesia di Labuan Bajo pekan lalu, sempat berkunjung ke Pulau Komodo. Jumlah 2.000 warga di Pulau itu menolak dipindahkan ke lokasi lain. Mereka sudah ratusan tahun menempati pulau itu, sebelum kawasan itu ditetapkan menjadi taman nasional atau kawasan wisata.
“Di situ ada satu desa, tiga dusun, dan lima RT. Mereka hidup bersahabat dengan binatang Komodo. Kalau ada pencurian Komodo atau perburuan hewan rusa sebagai pakan Komodo, itu dilakukan orang dari luar,”kata Winston.
Warga Pulau Komodo ini bergabung dengan sejumlah warga Labuan Bajo, pada 17 Juni 2019 melakukan aksi penolakan terhadap rencana Pemprov menutup kawasan TN Komodo mulai 1 Januari 2019, meski hanya bersifat sementara waktu. Mereka melakukan aksi demo damai di Kantor Bupati dan DPRD Manggarai Barat di Labuan Bajo dengan tuntutan agar Pemprov NTT membatalkan rencana itu.
Penutupan itu hanya berlangsung satu tahun. Tidak merugikan kegiatan pariwisata secara berkepanjangan. Setelah satu tahun, tampilan TN Komodo jauh lebih menarik dan memikat pengunjung dibanding sebelumnya
Menurut Winston ada ribuan warga Manggarai Barat bergantung pada kegiatan pariwisata di TN Komodo dan sekitarnya. Jika ditutup sementara, berdampak buruk terhadap masyarakat di Pulau Komodo dan masyarakat Manggarai Barat secara keseluruhan.
Merasa tak nyaman
Kebijakan ini membuat jumlah kunjungan wisatawan ke Labuan Bajo menurun, dan sejumlah paket perjalanan wisatawan ke daerah itu dibatalkan. Wisatawan menjadi ragu akan datang ke Labuan Bajo, karena merasa tidak nyaman dengan kebijakan itu.
“Jangan sampai mereka sedang mandi di pantai atau berjalan dengan kapal pesiar di wilayah perairan Labuan Bajo tiba-tiba dikejar. Ini menjadi preseden buruk bagi destinasi wisata kita,”kata Winsoton.
Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia (Asita) Manggarai Barat Don Matur mengatakan, rencana pemprov menaikkan tarif kunjungan ke Pulau Komodo senilai 500 dollar AS per orang, penutupan hotel melati di Labuan Bajo, dan penutupan TN Komodo 1 tahun, berlaku sejak 1 Januari 2019 telah membuat resah wisatawan dan pelaku usaha pariwisata. Turis pun merasa tidak nyaman berkunjung ke Labuan Bajo dan sekitarnya, bahkan ratusan wisatawan mancanegara telah membatalkan paket perjalanan ke daerah itu.
Kepala Biro Humas Setda Pemprov NTT Marius Jelamu mengatakan, penutupan sementara itu hanya berlaku untuk TN Komodo, tidak berlaku untuk destinasi wisata lain di Labuan Bajo dan sekitarnya. Wisatawan boleh datang ke Labuan Bajo, melakukan perjalanan ke sejumlah titik yang sudah direncanakan kecuali ke TN Pulau Komodo.
“Penutupan itu hanya berlangsung satu tahun. Tidak merugikan kegiatan pariwisata secara berkepanjangan. Setelah satu tahun, tampilan TN Komodo jauh lebih menarik dan memikat pengunjung dibanding sebelumnya,”kata Jelamu.