Kerugian Lingkungan akibat Kebakaran Lahan Mencapai Rp 130 Triliun
Kebakaran hutan dan lahan sejak Januari hingga pertengahan September 2019 telah menimbulkan kerugian lingkungan bernilai Rp 130 triliun.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Kebakaran hutan dan lahan sejak Januari hingga pertengahan September 2019 telah menimbulkan kerugian lingkungan bernilai Rp 130 triliun. Besarnya kerugian itu disebabkan persoalan mendasar, lemahnya pencegahan dan penanganan awal kebakaran.
”Jumlah ini untuk kerugian lingkungan, belum termasuk berbagai kerugian lainnya, dan juga korban nyawa dan penderita sakit,” kata Bambang Hero Saharjo, pakar kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang juga Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Senin (16/9/2019).
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mendata, total luas lahan yang terbakar sejak Januari 2019 sudah mencapai 328.724 hektar dan total titik panas di seluruh wilayah Indonesia mencapai 3.673.
Ia menilai, pemerintah cukup serius menangani masalah kebakaran. Hal itu terbukti dengan dibentuknya Badan Restorasi Gambut. ”Tapi implementasi di lapangan belum optimal,” lanjutnya.
Adapun kerugian lingkungan sebesar itu mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup akibat Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup.
Dalam Pasal 3 disebutkan poin yang diperhitungkan mencakup kerugian karena dilampauinya baku mutu lingkungan hidup, kerugian untuk penggantian biaya pelaksanaan penyelesaian sengketa lingkungan hidup, kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan pemulihan lingkungan hidup, serta kerugian ekosistem.
Pakar gambut dari Universitas Jambi, Asmadi Saad, menambahkan, berbagai instrumen dan infrastruktur telah dibangun untuk memulihkan gambut yang terbakar di Sumatera dan Kalimantan. Hanya saja, pemanfaatannya tak optimal.
Alat pemantau kebakaran (EWS) yang ditempatkan di setiap titik restorasi dan revegetasi gambut tak dimanfaatkan sebagai instrumen peringatan dini. ”Sudah ada alatnya di banyak lokasi, tapi tidak dipakai untuk kepentingan peringatan dini,” ujarnya.
Lebih parahnya, instrumen peringatan dini yang telah disampaikan kepada tim satgas gabungan karhutla juga tak mendapatkan respons. Ia mencontohkan, sejak awal Juli, ia telah memperingatkan perihal menyusutnya tinggi permukaan air gambut pada sejumlah lokasi rawan terbakar di Jambi. Namun, peringatan itu tidak mendapatkan tindak lanjut yang optimal.
Sudah ada alatnya di banyak lokasi, tapi tidak dipakai untuk kepentingan peringatan dini.
Begitu pula saat titik-titik api mulai bermunculan, tak juga ditangani secara cepat. Akibatnya, api dengan cepat meluas.
Aktivis lingkungan menilai, pemerintah daerah di Jambi tak serius menangani kebakaran hutan dan lahan. Ketidakseriusan itu mengakibatkan penanganan lambat di lapangan.
Aktivis lingkungan dari Walestra, Riko Kurniawan, mengatakan, sejak Maret lalu sudah ada sejumlah peringatan, baik dari BPBD maupun BMKG, perihal besarnya ancaman kebakaran di wilayah Jambi pada musim kemarau tahun ini. ”Tetapi tak ditindaklanjuti dengan antisipasi cepat,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat Masalah Karhutla di Gedung DPRD Provinsi Jambi, Senin.
Ia melanjutkan, sebagian areal gambut terbakar tahun ini mengulang peristiwa yang sama tahun 2015, khususnya pada kawasan konsesi yang dikelola korporasi. Namun, hingga kini tak ada peninjauan ulang izin bagi perusahaan terkait.
Untuk itu, pihaknya mendesak anggota Dewan mengultimatum pemerintah daerah yang membiarkan korporasi yang lahannya terbakar secara berulang tetap mendapatkan izin.
Aktivis lingkungan dari Perkumpulan Hijau, Feri Irawan, mengatakan, dirinya mendapati kebakaran berulang tahun 2015 dan 2019 setidaknya pada lokasi konsesi PT ATGA, WKS, KU, dan RKK. Namun, belum ada sanksi tegas bagi para pemegang izin terkait.
Ia pun mendorong agar dibentuk tim khusus untuk menelusuri praktik pembangunan kanal dan tanggul di sekeliling areal konsesi yang berdampak merusak gambut.
”Coba (anggota Dewan) cek juga di lapangan, berapa banyak perusahaan perkebunan sawit beroperasi di atas gambut, tak punya izin HGU,” katanya.