Owa Jawa, Owa Kita!
Owa jawa (”Hylobates moloch”) di ambang kepunahan. Banyak orang memburu hewan ini untuk dijadikan hewan peliharaan. Pelepasliaran owa diharapkan menjadi langkah awal mencegah hewan ini dari kepunahan.
Sinar mentari mulai menapaki lantai hutan Gunung Puntang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, akhir Oktober lalu. Suara nyaring, ”Woowww, hooo, waaa, waaooo,” menyambut kedatangan kami di salah satu area pelepasliaran owa jawa (Hylobates moloch) itu.
Seekor owa jantan bergelantungan mengitari satu dahan ke dahan lain dengan cepat. Dia tidak beratraksi atau berusaha memamerkan otot-otot lengannya yang kokoh. Itu merupakan reaksi ketika ada manusia memasuki teritorinya. Di area itu tinggal satu keluarga owa yang terdiri dari Willy (8), Sasa (10), dan Jatna (2).
Mulya Hermansyah, Koordinator Lapangan Yayasan Owa Jawa, segera menjulurkan tongkat kepada Willy. Perlahan dia menjauh, begitu pun kami. Pihak yayasan membatasi kehadiran manusia di area pelepasliaran agar tidak mengganggu proses habituasi owa. Maklum, owa-owa itu sedang berproses kembali ke naluri alamnya setelah bertahun-tahun menjadi hewan peliharaan.
Saat ini sulit menjumpai primata tak berekor itu di alam. Sebab, owa jawa hanya dapat ditemukan dalam jumlah kecil di kawasan konservasi. Mereka hidup secara terbatas di kantong-kantong hutan tropis, mulai dari Ujung Kulon, Banten, hingga Dieng, Jawa Tengah.
Baca juga : Menuai Berkah dari Kekayaan Alam Menoreh
Badan Konservasi Alam Dunia (International Union for Conservation/IUCN) memasukkan owa jawa dalam kategori terancam punah. Jumlahnya di alam liar diperkirakan 2.000-4.000 individu. Risiko kepunahannya tergolong tinggi karena perburuan untuk dijadikan hewan peliharaan serta perambahan hutan secara terus-menerus. Terbaru, kepolisian dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Jawa Barat mengungkap perdagangan owa, surili, dan lutung secara daring oleh warga Ciamis.
Berdasarkan arsip Kompas, bentuk tubuh owa jawa mirip dengan lutung. Perbedaannya adalah owa jawa berwarna lebih terang atau keperakan. Panjang tubuh jantan dan betina dewasa berkisar 750-800 mm dengan berat 4-8 kilogram.
Primata ini hidup dalam kelompok bersistem keluarga monogami. Selain pasangan induk, kelompok itu terdiri dari 1-2 anak yang belum mandiri. Seekor owa jawa bisa hidup hingga 35 tahun. Owa jawa memakan sekitar 125 jenis tumbuhan dengan komposisi makanan 61 persen buah dan 38 persen dedaunan. Sisanya bunga dan serangga.
”Jawa dengan 150 juta penduduk telah kehilangan banyak hutan. Beruntung masih menyisahkan kantong hutan di mana ada owa. Owa jawa penting dalam keberlangsungan ekosistem hutan karena membantu penyebaran biji-bijian yang nantinya akan tumbuh menjadi pohon,” kata Ketua Yayasan Owa Jawa Noviar Andayani.
Baca juga : Kepedulian Manusia Menyelamatkan Orangutan
Jalan terjal
Upaya konservasi owa jawa berlangsung sejak 2003. Kala itu, Yayasan Owa Jawa dan Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango berserta Universitas Indonesia, Conservation International dan Silvery Gibbon Project melakukan program penyelamatan dan rehabilitasi atau Javan Gibbon Center di Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol, Sukabumi.
Hal tersebut bertujuan untuk mengembalikan owa dari masyarakat ke habitat aslinya. Kendati demikian, owa tidak bisa serta-merta dilepasliarkan. ”Owa hidup di teritori tertentu atau membutuhkan wilayah tersendiri agar tidak mengganggu wilayah sekitar. Tidak kalah penting adalah mencegah penyebaran penyakit dari owa penangkaran kepada owa yang memang hidup di alam,” katanya.
Noviar melakukan penelitian genetika owa jawa untuk mengetahui strategi konservasi terbaik. Caranya yakni dengan mempelajari populasi sebaran owa di Jawa Barat dan sebagian Jawa Tengah. Hasilnya, owa di Jawa memiliki kesamaan genetik sehingga memungkinkan translokasi untuk konservasi.
Meski demikian, translokasi mempertimbangkan banyak-sedikitnya jumlah owa di suatu area. Gunung Puntang misalnya. Lokasi ini menjadi tempat pelepasliaran karena dahulu merupakan area sebaran owa sebelum habis diburu dan mati karena perambahan hutan.
Baca juga : Hutan Pelepasliaran Orangutan Kian Terbatas
Pertimbangan lain ialah banyak ragam pohon pakan owa dan status kawasan yang jelas sehingga bisa menekan ancaman manusia. Kawasan Gunung Puntang yang dimiliki Perum Perhutani telah dihuni enam keluarga owa jawa sejak tahun 2012.
Pekerjaan belum tuntas pasca-pelepasliaran. Owa terus dipantau kemampuan beradaptasi dengan lingkungan barunya dan memastikan bebas dari gangguan manusia. Pemantauan dilakukan setiap hari guna melihat kemampuan owa bertahan hidup melewati dua musim.
”Memang di Bogodol diajarkan lagi kemampuan alami owa. Tetapi, belum tentu yang dipelajari bisa diterapkan ke alam karena owa tinggal dengan manusia dan dirawat sejak bayi,” katanya.
Comblang
Pelepasliaran juga mempertimbangkan owa yang bersifat monogami atau hanya memiliki satu pasangan hidup sepanjang hidupnya. Owa harus dilepasliarkan dalam unit keluarga atau pasangan untuk meningkatkan kemampuan bertahan hidup di alam.
”Hewan yang berkeluarga rentan punah karena kematian salah satu anggota keluarga,” ujar peneliti owa jawa dari Conservation International, Anton Ario. Ikatan keluarga yang kuat menyebabkan tingkat stres yang tinggi saat terjadi kematian anggota keluarga, baik karena perburuan maupun perambahan hutan.
Owa akan dipasangkan dalam dua kandang sebelum dilepasliarkan. Awalnya, seekor owa jantan beserta beberapa owa betina ditempatkan di kandang introduksi. Di kandang itu, owa dikenalkan satu sama lain agar dapat menemukan kecocokan dan menjadi pasangan tetap.
Baca juga : Ragunan yang Gersang Pesona Hewan
Owa yang saling tertarik akan berinteraksi melalui sentuhan-sentuhan. Menurut Anton, ketertarikan paling tinggi saat owa saling menggaruk untuk mencari kutu. Kemudian sepasang owa itu dipindahkan ke kandang jodoh untuk meningkatkan ikatan pasangan.
Jatna merupakan salah satu owa yang lahir di alam. Orangtuanya, Willy dan Sasa, melalui proses pemasangan sebelum dilepasliarkan. Sementara di alam, anak owa ketika berusia kira-kira enam tahun akan keluar dari teritori keluarganya untuk mencari pasangan. Salah satu contohnya ialah pasangan owa, Romeo dan Juliet, di kawasan konservasi alam Bodogol.
Berkelanjutan
Berbagai pihak yang terlibat dalam konservasi owa jawa menyadari pentingnya pengembangan ekonomi masyarakat di sekitar hutan demi keberhasilan konservasi. Sebab, konservasi terkait dengan aspek sosial dan ekonomi. Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango melibatkan warga lokal sebagai pemandu wisata di Bodogol. Mereka dibekali pengetahuan mengenai flora dan fauna agar bisa memandu masyarakat berkeliling kawasan itu. Sementara Yayasan Owa Jawa melibatkan warga, sebagian eks pemburu sebagai pemantau owa jawa di Gunung Puntang.
Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Yayasan Owa Jawa juga mendapat dukungan PT Pertamina (Persero) melalui Pertamina EP sejak tahun 2013. Dukungan itu berupa dana kepedulian sosial yang digunakan untuk penanaman pohon pakan owa, edukasi kepada elemen masyarakat, pemantauan, dan pelepasliaran.
Baca juga : Taman Nasional Terbakar, Satwa Langka Terancam
”Kami ingin terlibat dalam pemberdayaan masyarakat berbasis konservasi. Tidak saja mengambil hasil bumi, kami ingin bernilai lebih dengan masyarakat di sekitar hutan,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman dalam kegiatan Pertamina Eco Camp 2019.
Salah satu contohnya adalah program Masyarakat Peduli Alam Puntang (Melintang). Pertamina EP sejak tahun 2017 membantu masyarakat di sekitar Gunung Puntang untuk menanam kopi arabika priangan. Selain itu, Pertamina EP juga memberdayakan kelompok Puntang Herbanik yang terdiri dari ibu-ibu anggota Koperasi LMDH Bukit Amanah. Mereka diberdayakan dalam pengelolaan minuman herbal dan organik.
Pertamina juga mengadakan sarana dan prasarana penunjang budidaya kopi, mesin pengolahan kopi, serta pelatihan agar masyarakat mengolah dan memasarkan kopinya secara mandiri. Berbagai upaya konservasi di Indonesa memang melalui jalan terjal. Owa belum sepenuhnya bebas dari ancaman manusia. Mustahil memang menekan ancaman sampai angka nol. Akan tetapi, itu tidak berarti mengendurkan semangat untuk melestarikan owa.