Bupati Klaten Diduga Gunakan Bansos untuk Kampanye, Ombudsman Siapkan Peringatan
Pemberian bansos di tengah pandemi Covid-19 rentan disalahgunakan untuk kepentingan popularitas di Pilkada 2020 yang ditunda tahun depan. Apa yang dilakukan Bupati Klaten Sri Mulyani dinilai tak etis dan perlu ditegur.
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian bantuan sosial di tengah pandemi Covid-19 rentan disalahgunakan untuk kepentingan popularitas dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020 yang diselenggarakan serentak. Hal itu seperti dilakukan oleh petahana Bupati Klaten, Jawa Tengah, Sri Mulyani baru-baru ini. Kampanye terselubung di tengah bencana non-alam itu dinilai tidak etis dan merefleksikan kualitas kepala daerah yang juga tidak layak dipilih oleh masyarakat.
Hingga Selasa (28/4/2020), Ombudsman Jateng menerima lebih dari 15 laporan dugaan penyalahgunaan bansos yang dilakukan oleh Bupati Klaten tersebut. Laporan masuk melalui Whatsapp Center Ombudsman Jateng sejak Minggu (26/4/2020). Warga melaporkan ada dugaan kampanye terselubung lewat bansos yang memuat foto dan nama kepala daerah tersebut.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jaateng Siti Farida, saat dihubungi di Jakarta, mengatakan, dari pemeriksaan laporan, dugaan penyalahgunaan itu sangat kuat. Apalagi, Bupati Klaten merupakan petahana dalam Pilkada 2020.
Baca juga : Pandemi Menggugah Solidaritas, Bantuan Terus Mengalir
”Ketika peserta pemilu adalah petahana, hal yang paling sering terjadi adalah pelanggaran dalam hal penyalahgunaan wewenang kekuasaan untuk kepentingan kontestasi. Yang disayangkan, yang mestinya itu bantuan resmi dari pemerintah daerah atau pusat menjadi bias dengan persepsi-persepsi kontestasi,” ujar Siti.
Ketika peserta pemilu adalah petahana, hal yang paling sering terjadi adalah pelanggaran dalam hal penyalahgunaan wewenang kekuasaan untuk kepentingan kontestasi. Yang disayangkan, yang mestinya itu bantuan resmi dari pemerintah daerah atau pusat menjadi bias dengan persepsi-persepsi kontestasi.
Hingga pukul 20.00 hari ini, sejumlah tagar mengenai penyalahgunaan bansos untuk kampanye Bupati Klaten sempat menjadi tren di Twitter, di antaranya #BupatiKlatenMemalukan (29.000 cuitan) dan #CoronaBukanPanggungPolitik (16.000 cuitan).
Sebelumnya, sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Selasa ini, Sri Mulyani menyatakan permohonan maafnya dengan berkilah ada kekeliruan di lapangan. Sri Mulyani menjelaskan, kekeliruan tersebut lantaran bantuan dari Kementerian Sosial yang jumlahnya tak sebanding dengan yang disalurkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klaten. ”Di lapangan mungkin ditempelin semua. Kejadiannya seperti itu,” ujarnya tanpa memberi keterangan secara rinci.
Adapun bantuan hand sanitizer dari Kemensos, lanjutnya, hanya 1.000 botol dan milik Pemkab Klaten mencapai puluhan ribu botol. Akibatnya, oleh petugas di lapangan, kemungkinannya semua botol ditempel dengan stiker wajah dirinya.
Sri Mulyani menyatakan permohonan maafnya dengan berkilah ada kekeliruan di lapangan. Ia menjelaskan, kekeliruan tersebut lantaran bantuan dari Kementerian Sosial yang jumlahnya tak sebanding dengan yang disalurkan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Klaten.
Bahkan, ia juga menyebutkan, ada beberapa hand sanitizer berstiker gambar wajahnya turut dibagikan kepada pihak internal PDI-P, yakni untuk pengurus anak cabang di 26 kecamatan.
Surat peringatan disiapkan
Siti menyampaikan, Ombudsman tengah menyiapkan surat berisi peringatan kepada Bupati Klaten atas dugaan penyalahgunaan wewenang tersebut. Surat akan ditembuskan kepada Gubernur Jateng dan Ombudsman RI.
Dalam surat itu, kepala daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik dilarang melakukan tindakan yang mengarah pada pengambilan keuntungan pribadi atau kelompok, apalagi untuk pilkada. Bupati juga tak bisa semata-mata menyebut itu sebagai kesalahan prosedur karena dampaknya sistemik.
Adapun Ketua Bawaslu Jateng Fajar Subkhi Abdul Kadir menyampaikan, dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Bupati Klaten sedang didalami Bawaslu Klaten.
Namun, pada prinsipnya, kata Fajar, Bawaslu Jateng mendesak agar pemberian bantuan tak disalahgunakan untuk kepentingan pencitraan ataupun popularitas dalam Pilkada 2020. Apalagi, pemberian bantuan tersebut bersumber dari anggaran negara ataupun dana publik lainnya.
”Bantuan tersebut jangan dimanfaatkan untuk kampanye terselubung dengan cara menempeli bantuan-bantuan itu dengan gambar atau stiker bergambar bakal calon kepala daerah atau wakil kepala daerah ataupun bantuan tersebut diselipi pesan-pesan tertentu yang arahnya untuk kepentingan politik,” tutur Fajar.
Bawaslu Jateng menegaskan, jika dalam pengawasan nanti ditemukan adanya dugaan pelanggaran, kasus ini akan segera diusut dan ditangani. Jika memenuhi unsur pidana, temuan itu akan diproses pidana pemilu.
Anggota Bawaslu, Ratna Dewi Pettalolo, membenarkan bahwa jika pelanggaran oleh Bupati Klaten terbukti, kepala daerah tersebut melanggar Pasal 71 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Wali Kota atau Wakil Wali Kota.
Dalam aturan itu, kepala daerah bisa didiskualifikasi sebagai calon oleh Komisi Pemilihan Umum kabupaten. Selain itu, ada pula ancaman pidana penjara paling lama 6 bulan dan denda paling banyak Rp 6 juta berdasarkan Pasal 190. ”Pelanggaran ketentuan Pasal 71 (UU No 10/2016), sanksinya pidana,” ucapnya.
Ratna mengatakan, selama pandemi Covid-19 ini, pihaknya belum menerima laporan lain terkait dugaan pelanggaran petahana yang memakai bansos sebagai media kampanye.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik menyampaikan, pihaknya akan mengonfirmasi persoalan itu kepada Gubernur Jateng sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah. ”Nanti kami konfirmasi ke Gubernur Jateng yang jadi pembina bupati atau wali kota di Jateng,” kata Akmal.
Tidak bisa ditoleransi
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Agus Pramusinto menyayangkan adanya penyalahgunaan bansos untuk kepentingan politik. Menurut dia, hal itu sangat tidak etis dan tak bisa ditoleransi.
”Ini, kan, tidak bisa ditoleransi ketika demi kemanusiaan, kok, kemudian ditumpangi kepentingan politik. Bansos kemanusiaan tidak boleh ditumpangi kepentingan politik, apalagi muncul nama pribadi. Sangat tidak etis jika adanya musibah Covid-19 dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis,” ujar Agus.
Ia berharap persoalan itu menjadi perhatian masyarakat di tengah dua fenomena besar negara ini, Pilkada 2020 dan wabah Covid-19. Masyarakat harus aktif mengawasi bantuan sosial jika terjadi penyalahgunaan wewenang.
Agus menambahkan, apabila ada ASN terlibat dalam penyalahgunaan dana bansos untuk kampanye petahana, yang bersangkutan bisa terkena sanksi pelanggaran netralitas ASN.
Menurut sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, sejatinya bansos berasal dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang berasal dari pajak rakyat, bukan dari orang per orang. Oleh karena itu, penyalahgunaan atau pengatasnamaan bantuan menjadi kepentingan pribadi telah mencederai hak dan kepercayaan rakyat.
”Ini akan mengakibatkan distrust pada masyarakat. Bahwa pejabat publik yang memanfaatkan bansos untuk kepentingan politik itu akan mendapatkan sanksi negatif dari masyarakat itu sendiri. Pemerintah atau pejabat yang melakukan hal seperti itu akan mendapatkan pandangan negatif terhadap dirinya,” kata Imam.
Di tengah pilkada, perlakuan pejabat itu akan menjadi penilaian buruk oleh masyarakat. Menurut dia, ada dua syarat pemimpin yang tepecaya, yakni memiliki integritas dan kapasitas.
”Yang paling celaka adalah orang sudah tidak jujur, lalu mengklaim bantuan orang lain seolah-olah berasal dari dirinya, terus dia tidak berkapasitas,” ujarnya.
Yang paling celaka adalah orang sudah tidak jujur, lalu mengklaim bantuan orang lain seolah-olah berasal dari dirinya, terus dia tidak berkapasitas.
Imam juga mengingatkan masyarakat agar memilih pejabat publik jangan hanya karena ada serangan fajar. ”Dalam situasi kayak gini, nanti akan sial kalau dia memilih orang yang sudah tidak jujur, dijadikan kepala pemerintahan daerah, nanti ujung-ujungnya korban semua,” ujarnya.
Rawan korupsi
KPK akan memperketat pengawasan pembagian bantuan sosial di daerah yang akan menyelenggarakan pilkada serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19.
Berdasarkan data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, saat ini kasus Covid-19 telah ada di 34 provinsi dan 297 kabupaten/kota. Adapun pilkada serentak 2020 akan diselenggarakan di 270 daerah yang terdiri dari 9 provinsi dan 261 kabupaten/kota.
Baca juga : Mensos: Bantuan Sosial untuk Tekan Kemiskinan
Berdasarkan data yang dihimpun KPK, potensi petahana ada di 218 daerah. Adapun di 136 daerah di mana ada petahana terdapat kasus positif Covid-19. Daerah ini meliputi 6 provinsi dan 130 kabupaten/kota.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, potensi pemanfaatan realokasi anggaran untuk program jaring pengaman sosial oleh daerah yang tidak terdampak Covid-19 oleh para petahana atau daerah yang akan mengikuti pilkada perlu diawasi. Hal tersebut perlu dilakukan karena saat ini terdata tidak sampai 300 pemda yang memiliki kasus Covid-19. Namun, dari 542 pemda, semuanya mengalokasikan anggaran untuk bansos.
”Bansos di wilayah petahana akan menjadi prioritas pemantauan KPK karena potensi terjadi korupsi cukup besar,” kata Pahala.
KPK khawatir, anggaran untuk bansos tersebut digunakan untuk kepentingan pilkada. Menurut dia, petahana bisa menggunakan anggaran yang direalokasi untuk banyak diarahkan ke bansos yang ditujukan pada basis suara mereka. Selanjutnya, untuk pengadaan, mereka bisa mengintervensi pemenang tender tertentu supaya komisinya bisa untuk kampanye atau politik uang.
Pahala pun mengingatkan agar tidak ada oknum yang mengorupsi dana bencana. Seperti yang telah diungkapkan Ketua KPK Firli Bahuri, hukuman bagi korupsi dana bencana adalah hukuman mati.
Sinkronisasi data
Untuk meminimalkan terjadinya korupsi bansos, perlu ada pemadanan data dari pemerintah daerah dengan pemerintah pusat. Data yang belum sinkron dengan data kesejahteraan sosial terpadu (DTKS) salah satunya adalah data dari DKI Jakarta.
Berdasarkan data yang dihimpun KPK, total ada 1.194.633 keluarga yang diusulkan DKI Jakarta memperoleh bansos. Dari data tersebut diketahui, 167.192 keluarga padan dengan bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) berupa sembako. Adapun 1.027.441 keluarga tidak padan dengan DTKS dan non-DTKS.
Menurut Pahala, ketidakpadanan data antara pemda dan DTKS terjadi karena pemda tidak patuh dalam memperbarui data selama bertahun-tahun. ”Solusinya, ya, sekarang masuk ke lapangan ambil data dan update DTKS. Kementerian Sosial juga harus lebih terbuka untuk update,” katanya.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, DTKS yang diterima Dukcapil masih belum sempurna sehingga menyulitkan sinkronisasi data.
”Data yang diserahkan banyak yang tidak ada nomor induk kependudukan (NIK)-nya, elemen nama, dan tempat tanggal lahir. Sering tidak lengkap sehingga sulit disinkronkan,” ujar Zudan.
Padahal, lanjutnya, seharusnya Kementerian Sosial mengacu pada NIK dalam pemutakhiran DTKS. Dengan begitu, ketidakakuratan penerima bantuan sosial bisa diminimalkan. Penggunaan NIK sebagai basis DTKS juga telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
”Rujukannya harus NIK agar bansos tepat sasaran. Yang belum sinkron agar disinkronisasi dengan NIK. Tentu perlu pemutakhiran terus-menerus,” tutur Zudan.
Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto mengatakan, ketidakpadanan data antara pemda dan pusat terjadi karena saat ini situasinya mendesak dan kebutuhan bantuan meningkat.
”Mereka yang dulu tidak miskin, punya rumah, mobil, sebelumnya wiraswasta, tiba-tiba pemasukannya tidak ada. Mereka sekarang membutuhkan bantuan karena pemasukannya harian. Seperti ini butuh pendataan yang baik, apalagi ada yang bukan KTP setempat,” kata Bambang.
Menteri Sosial Juliari P Batubara mengungkapkan, seluruh data yang dikumpulkan oleh Kemensos berasal dari daerah. Kemensos tidak melakukan pendataan untuk bansos terkait Covid-19.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ace Hasan Syadzily mengingatkan agar koordinasi antara pemerintah daerah, kepala desa, dan RT/RW diperkuat. Ini penting untuk memastikan pemutakhiran data berjalan optimal dan tepat sasaran.
Pemerintah daerah melalui dinas sosial, lanjut Ace, harus mampu memastikan data kemiskinan yang berasal dari kepala desa, RT/RW, dan organisasi pilar sosial yang tersebar di daerah betul-betul obyektif.
Peran dinas sosial pemerintah daerah kabupaten dan kota sangatlah penting. Dari merekalah sebetulnya verifikasi dan validasi data kemiskinan ini disampaikan ke Kementerian Sosial. Jangan sampai data penerima bantuan sosial tidak tepat sasaran, seperti yang selama ini dikeluhkan banyak pihak.
”Peran dinas sosial pemerintah daerah kabupaten dan kota sangatlah penting. Dari merekalah sebetulnya verifikasi dan validasi data kemiskinan ini disampaikan ke Kementerian Sosial. Jangan sampai data penerima bantuan sosial tidak tepat sasaran, seperti yang selama ini dikeluhkan banyak pihak,” ucap Ace.
Baca juga : Anggaran Pilkada 2020 Direalokasi untuk Penanganan Covid-19
Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbakhul Hasan mengatakan, persoalan pendataan terjadi karena selama ini pendataan tersentral di kementerian. Daerah hanya diminta verifikasi, itu pun sering diabaikan oleh pemerintah pusat.
Selain itu, kriteria kemiskinan sudah tidak relevan. Seharusnya pemerintah pusat membuat kebijakan asimetris terhadap kriteria kemiskinan. Daerah diminta untuk membuat definisi dan kriteria kemiskinan menurut daerahnya masing-masing. Pemda juga kurang serius melakukan pembaruan dan validasi data kependudukan, terutama yang tergolong miskin dan rentan.
”Pemda dan pemerintah desa seharusnya membuka ruang untuk pendataan mandiri bagi warga miskin dan yang tergolong rentan, terutama yang terdampak Covid-19, agar lebih tepat sasaran saat pembagian bantuan,” kata Misbakhul.