Muhammadiyah Nilai Keputusan Pemerintah Tepat Batalkan Perjalanan Haji
Akibat Covid-19, pemerintah menunda ibadah haji tahun ini. Muhammadiyah menilai sebagai keputusan yang tepat karena tak satu pun aturan dilanggar. Sebaliknya, DPR justru menolak karena tak diajak mengambil keputusan.
Oleh
ANITA YOSSIHARA DAN RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penundaan penyelenggaraan ibadah haji tahun 2020 yang baru diputuskan pemerintah, Selasa (2/6/2020), dinilai sebagai keputusan yang tepat. Tidak ada satu pun aturan, baik Undang-Undang Negara RI maupun hukum agama atau syariah, yang dilanggar atas keputusan pemerintah tidak mengirimkan jemaah haji karena kondisi darurat akibat pandemi Covid-19.
Penilaian salah satunya datang dari Persyarikatan Muhammadiyah. ”Keputusan pemerintah tentang pembatalan haji 1441 Hijriah merupakan langkah yang tepat dan tepat waktu,” kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti melalui pesan singkat, Selasa siang, saat dihubungi.
Keputusan untuk tidak mengirimkan jemaah calon haji pada 2020 disampaikan langsung oleh Menteri Agama Fachrul Razi melalui keterangan pers secara virtual, Selasa siang, di Jakarta. Pandemi Covid-19 menjadi salah satu alasan pemerintah memutuskan untuk tidak menyelenggarakan ibadah haji tahun ini. Jika jemaah dipaksakan untuk tetap menjalankan ibadah haji di tengah pandemi, hal itu justru dikhawatirkan dapat mengganggu pelaksanaan rukun Islam kelima tersebut.
Keputusan pemerintah tentang pembatalan haji 1441 Hijriah merupakan langkah yang tepat dan tepat waktu.
Alasan lain adalah sampai saat ini otoritas Arab Saudi belum juga memberikan akses warga negara lain untuk memasuki wilayah mereka, termasuk Mekkah dan Madinah. Kondisi itu dikhawatirkan akan membuat persiapan penyelenggaraan haji yang dilakukan pemerintah tidak maksimal sehingga jika dipaksakan dikhawatirkan akan berdampak buruk baik kualitas pelayanan kepada jemaah.
Pengalaman yang terjadi masa lalu juga menjadi pertimbangan pemerintah meniadakan penyelenggaraan haji tahun ini. Menag menuturkan, penyelenggaraan ibadah haji pada saat wabah penyakit melanda dunia di masa lalu telah mengakibatkan puluhan ribu anggota jemaah haji menjadi korban. Situasi semacam itu di antaranya terjadi pada tahun 1814 saat wabah Thaun melanda dunia, tahun 1892 saat merebaknya wabah kolera, dan tahun 1987 saat meningitis mewabah.
Mu’ti menegaskan, tidak ada pelanggaran hukum, baik hukum formal maupun agama, atas pembatalan penyelenggaraan ibadah haji. Apalagi, saat ini pandemi Covid-19 masih belum menunjukkan penurunan kasus secara signifikan.
”Secara syariah (hukum agama) tidak melanggar karena di antara syarat haji, selain mampu secara ekonomi, kesehatan, mental, dan agama, juga aman selama perjalanan. Secara undang-undang juga tidak melanggar,” tuturnya.
Muhammadiyah bisa memahami kesulitan yang dialami Pemerintah Indonesia sehingga memutuskan tidak mengirim jemaah pada musim haji. Bisa dipastikan pemerintah akan kesulitan melakukan persiapan penyelenggaraan ibadah haji karena belum adanya keputusan Pemerintah Arab Saudi mengenai haji.
Meski begitu, Mu’ti mengingatkan ada sejumlah konsekuensi atas pembatalan ibadah haji yang harus dicarikan jalan keluar oleh pemerintah, di antaranya antrean haji dipastikan akan semakin panjang, biaya yang dikeluarkan jemaah yang sudah telanjur dikelola oleh biro haji dan kelompok bimbingan ibadah haji (KBIH), serta dana penyelenggaraan ibadah haji yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Lebih jauh, Persyarikatan Muhammadiyah mengajak masyarakat, khususnya umat Islam, untuk tetap tenang dan bisa memahami keputusan pemerintah. ”Keadaannnya memang darurat sehingga hendaknya umat Islam tetap tenang dan dapat memahami keputusan pemerintah. Semuanya hendaknya berdoa agar Covid-10 dapat segera diatasi,” kata Mu’ti mengingatkan.
Dipertanyakan DPR
Meski mendapat dukungan dari organisasi kemasyarakatan Islam, keputusan pemerintah meniadakan penyelenggaraan haji tahun ini justru dipertanyakan oleh DPR. Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto menganggap pemerintah tidak bertanggung jawab karena memutuskan pembatalan tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari DPR.
Ada kekeliruan karena harusnya segala sesuatu tentang haji diputuskan bersama DPR. Apakah itu biaya penyelenggaraan haji, anggaran setoran dari jemaah, kemudian pemberangkatan dan pemulangan, semua disepakati bersama DPR.
Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji harus diputuskan pemerintah bersama DPR.
”Ada kekeliruan karena harusnya segala sesuatu tentang haji diputuskan bersama DPR. Apakah itu biaya penyelenggaraan haji, anggaran setoran dari jemaah, kemudian pemberangkatan dan pemulangan, semua disepakati bersama DPR. Apalagi, hal yang penting seperti ini, memutuskan batal atau tidak, harus bersama-sama DPR,” ujar Yandri.
Politikus Partai Amanat Nasional itu menilai pemerintah terlalu tergesa-gesa mengambil keputusan. Sebab, sampai saat ini belum ada kejelasan sikap atau keputusan Pemerintah Arab Saudi terkait penyelenggaraan haji. Komisi VIII DPR khawatir jika tiba-tiba dalam beberapa hari ke depan otoritas Arab Saudi mengumumkan membuka diri untuk menerima jemaah calon haji. ”Bagaimana kalau tiba-tiba, minggu depan, (Arab Saudi) membolehkan jemaah calon haji berangkat?” ujarnya.