Percepatan Penanganan Covid-19, Presiden: Hilangkan Ego Sektoral
Dalam rapat terbatas membahas percepatan penanganan Covid-19, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya pengendalian Covid-19 secara terintegrasi. Presiden juga meminta para pembantunya membuat terobosan.
JAKARTA,KOMPAS — Keterpaduan dalam penanganan Covid-19 diyakini sebagai kunci keberhasilan dalam pengendalian pandemi penyakit yang disebabkan virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) tersebut. Karena itu, Presiden Joko Widodo meminta agar seluruh kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah menghilangkan ego sektoral yang justru menghambat penanganan Covid-19.
Peringatan itu disampaikan Presiden saat membuka rapat terbatas membahas percepatan penanganan dampak Covid-19 di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (29/6/2020).
”Menurut saya paling penting pengendalian yang terintegrasi, pengendalian terpadu, sehingga semua kerja kita bisa efektif. Tidak ada lagi ego sektoral, ego kementerian, ego lembaga, ego kedaerahan, apalagi jalan sendiri-sendiri. Harus kita hilangkan,” kata Presiden di hadapan para anggota kabinet yang hadir.
Hampir empat bulan sejak ditemukannya kasus positif pertama di Tanah Air, pandemi Covid-19 belum sepenuhnya bisa dikendalikan. Tingkat penularan Covid-19 masih tergolong tinggi. Maka, dibutuhkan upaya yang luar biasa dalam penanganan Covid-19 beserta dampaknya.
Baca juga: Membuka Jalan Menemukan Vaksin Covid-19 Buatan Indonesia
Karena itulah, Presiden juga meminta para pembantunya tak hanya bekerja lebih keras, tetapi melakukan berbagai terobosan yang bisa berdampak besar bagi pengendalian Covid-19.
”Saya minta agar kita bekerja tidak linier. Saya minta ada sebuah terobosan yang bisa dilihat oleh masyarakat dan terobosan itu kita harapkan betul-betul berdampak kepada percepatan penanganan ini. Jadi tidak datar-datar saja,” ujarnya mengawali pengantar rapat terbatas.
Terobosan terutama dilakukan di provinsi atau daerah dengan tingkat penyebaran Covid-19 tinggi. Salah satunya dengan mengirimkan tambahan tenaga medis ke daerah-daerah dengan tingkat penyebaran Covid-19 tinggi.
Tak hanya itu, jajaran pemerintah pusat juga perlu mengirimkan pelalatan kesehatan untuk membantu penanganan Covid-19 di daerah.
Kesempatan itu juga dimanfaatkan Presiden untuk menyampaikan pentingnya sosialisasi besar-besaran terkait Covid-19. Edukasi masyarakat secara masif harus dilakukan agar tidak ada lagi kesalahpahaman dalam upaya pengendalian Covid-19.
Presiden menginstruksikan agar edukasi terhadap masyarakat dilakukan dengan melibatkan pemuka agama, tokoh masyarakat, budayawan, sosiolog, dan antropolog. ”Sehingga tidak terjadi lagi (peristiwa) merebut jenazah yang jelas-jelas Covid oleh keluarga. Itu sebuah hal yang harus kita jaga agar tidak terjadi lagi setelah ini,” katanya.
Sosialisasi dan edukasi juga penting agar tidak ada penolakan dari masyarakat saat pemerintah melakukan tes Covid-19. Sebab, Presiden menduga, penolakan terjadi karena petugas begitu saja datang ke permukiman penduduk untuk melakukan tes Covid-19 tanpa penjelasan ataupun sosialisasi terlebih dahulu.
Begitu pula dengan penerapan tatanan normal baru, diharapkan tidak diputuskan tanpa pertimbangan yang matang. Presiden mengingatkan, penerapan tatanan normal baru dilakukan setelah semua tahapan dilalui, dari tahapan pra kondisi hingga penetapan waktu, serta penetapan sektor prioritas yang akan dilonggarkan.
Baca juga: Tak Kenal Lelah Cari Solusi Jitu
Presiden meminta kementerian terkait untuk membuat panduan penetapan serta pelaksanaan tatanan normal baru untuk daerah. Dengan demikian, diharapkan tidak ada kesalahan dalam penerapan tatatan normal baru, apalagi sampai membuat penularan Covid-19 kembali naik setelah relaksasi.
Prioritas zona merah
Seusai ratas, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo menjelaskan, dukungan penanganan Covid-19 akan diprioritaskan untuk 57 kabupaten/kota yang masih masuk zona merah. Untuk itu, semua komponen mulai TNI/Polri hingga tokoh agama, tokoh masyarakat, budayawan, dan antropolog, perlu dilibatkan.
Pelibatan semua elemen masyarakat ini supaya apa pun kebijakan yang dikeluarkan pemimpin daerah mendapat dukungan masyarakat. Sebab, kata Doni, tanpa dukungan segenap komponen masyarakat, bisa saja tingkat penularan Covid-19 di suatu daerah justru memburuk.
Selain itu, penggunaan kearifan lokal dalam menekan laju penularan Covid-19 akan diintensifkan. Sosialisasi juga akan menggunakan bahasa lokal supaya mudah dipahami masyarakat. Sejumlah istilah asing, seperti droplet, social distancing, physical distancing, dan new normal, akan dicari padanannya dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat.
Selanjutnya, sesuai dengan arahan Presiden, tenaga dokter, perawat, dan alat kesehatan akan ditambah di wilayah-wilayah prioritas.
Adapun terkait anjuran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) supaya pengecekan pada pasien Covid-19 yang sudah membaik cukup sekali tes dengan metode reaksi rantai polimerase (PCR), Doni mengatakan hal ini masih akan dikaji. Sebab, tak selalu anjuran WHO sesuai dengan kondisi Indonesia.
Salah satunya ketika WHO menyebutkan kecil kemungkinan pasien tanpa gejala (OTG) menulari orang lain. Faktanya di Indonesia, 70-90 persen orang yang dites menunjukkan tanpa gejala. Mereka pun dapat menularkan Covid-19 ke orang lain dan sangat berbahaya jika ditularkan pada mereka yang memiliki penyakit penyerta (komorbid) atau berusia lanjut. Setidaknya 85 persen pasien positif Covid-19 yang meninggal di Indonesia umumnya komorbid atau berusia lanjut.
Percepat pencairan
Dalam rapat terbatas itu pun, Presiden menginstruksikan percepatan pencairan pembayaran pelayanan kesehatan terkait Covid-19. Kementerian Kesehatan diminta untuk menyederhanakan prosedur pencairan dengan memperbaiki peraturan menteri. Ia mengingatkan, jangan sampai prosedur yang bertele-tele justru menyulitkan masyarakat.
Presiden mengatakan, anggaran untuk pembayaran klaim rumah sakit serta insentif tenaga medis dan petugas laboratorium telah tersedia. Karena itu, pembayaran klaim rumah sakit serta insentif tenaga medis dan petugas laboratorium harus secepatnya dibayarkan.
”Anggarannya sudah ada, kita menunggu apa lagi?” ujarnya.
Selain itu, santunan untuk mereka yang meninggal karena Covid-19 juga diminta untuk segera didistribusikan.
Sementara itu, secara terpisah, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Bambang Soesatyo meminta pemerintah daerah tidak lagi memberi toleransi bagi siapa pun yang melanggar protokol kesehatan. Pasalnya, lonjakan signifikan jumlah pasien Covid-19 akhir-akhir ini merupakan akibat dari pembiaran dan toleransi berlebih terhadap para pelanggar protokol kesehatan.
”Saya meminta semua pemerintah daerah untuk serius menyikapi besarnya lonjakan jumlah pasien Covid-19 belakangan ini. Lonjakan besar jumlah pasien itu menyebabkan masyarakat semakin takut untuk melakoni aktivitas-aktivitas produktif di ruang publik,’’ katanya.
Hingga akhir pekan lalu, jumlah pasien Covid-19 terus bertambah dengan laju percepatan yang signifikan. Per 27 Juni 2020, total pasien Covid-19 di dalam negeri menjadi 52.812 kasus setelah terdeteksi 1.385 kasus baru.
Lonjakan jumpah pasien Covid-19 itu mengakibatkan munculnya penilaian bahwa Indonesia menjadi pusat penyebaran virus korona baru.
”Dalam konteks yang luas, Indonesia pun bisa dipersepsikan negatif. Akibatnya, upaya pemulihan bisa menjadi semakin sulit. Kecenderungan ini hendaknya menjadi keprihatinan bersama,” katanya.
Karena itu, mantan Ketua DPR ini meminta semua pemerintah daerah bersikap lebih tegas terhadap mereka yang melanggar protokol kesehatan. Apalagi, pemerintah daerah telah menerbitkan kebijakan atau ketentuan untuk melaksanakan protokol kesehatan.
Baca juga: Wisatawan Abai Protokol Kesehatan
Tak hanya itu, penerapan protokol kesehatan juga harus disertai dengan pengawasan karena selama ini masih banyak ditemukan pelanggaran.
Politikus Partai Golkar itu menyebut, maraknya pelanggaran protokol kesehatan di sejumlah pasar tradisional merupakan contoh dari penerapan kebijakan yang tidak disertai pengawasan. Akibatnya, banyak pasar tradisional yang kini menjadi pusat penularan Covid-19.