Memahami Deformasi Gunung Merapi dan Potensi Bahayanya
Deformasi yang terjadi di Gunung Merapi menandakan adanya magma yang naik menuju ke permukaan. Namun, deformasi yang terjadi saat ini masih lebih kecil dibandingkan deformasi menjelang erupsi pada 2006 dan 2010.
Selama beberapa hari terakhir, aktivitas Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta jadi perbincangan. Penyebabnya tak lain karena adanya deformasi atau perubahan bentuk pada tubuh Gunung Merapi. Banyak pihak lalu bertanya-tanya, apakah Merapi akan meletus dalam waktu dekat?
Deformasi yang terjadi di Gunung Merapi itu sebenarnya bukan terjadi beberapa hari terakhir, melainkan sudah teramati selama lebih dari dua pekan. Berdasarkan data Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), deformasi itu mulai teramati setelah erupsi eksplosif atau letusan pada 21 Juni 2020.
Pada saat itu, terjadi dua kali letusan di Merapi. Letusan pertama terjadi pada pukul 09.13 WIB dengan amplitudo 75 milimeter (mm), durasi 328 detik, dan kolom erupsi setinggi 6.000 meter di atas puncak. Erupsi kedua terjadi pukul 09.27 dengan amplitudo 75 mm, durasi 100 detik, sedangkan tinggi kolom erupsi tidak teramati.
Dua kali letusan pada 21 Juni 2020 itu menyebabkan hujan abu vulkanik ke sejumlah wilayah, hingga ke Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Namun, selain hujan abu, dua letusan tersebut tidak membawa dampak pada masyarakat yang tinggal di sekitar lereng Merapi.
Baca juga: Erupsi Merapi Sebabkan Hujan Abu hingga Purworejo
Sesudah letusan itu, status Merapi juga masih sama, yakni Waspada (Level II). Status tersebut ditetapkan BPPTKG sejak 21 Mei 2018. Sementara radius bahaya yang ditetapkan BPPTKG juga masih sama dengan sebelumnya, yakni 3 kilometer (km) dari puncak Gunung Merapi.
Jika dilihat dalam jangka waktu tahun 2018-2020, erupsi pada 21 Juni 2020 juga bukan merupakan erupsi eksplosif dengan energi seismik terbesar di Merapi. Berdasar data BPPTKG, ada beberapa erupsi eksplosif di Merapi yang memiliki energi seismik lebih besar, misalnya pada 14 Oktober 2019 dan 13 Februari 2020.
Sesudah erupsi pada 21 Juni 2020, mulai teramati adanya deformasi di sisi barat laut Gunung Merapi.
Namun, sesudah erupsi pada 21 Juni 2020, mulai teramati adanya deformasi di sisi barat laut Gunung Merapi. Deformasi itu terlihat dari pemendekan jarak tunjam berdasar pengukuran jarak elektronik (electronic distance measurement/EDM) dari pos pemantauan Merapi di wilayah Babadan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Pengukuran menggunakan metode EDM dilakukan untuk mengukur jarak dari alat di titik tertentu ke tubuh Gunung Merapi. Apabila pengukuran itu menunjukkan adanya pemendekan jarak, berarti terjadi deformasi berupa penggembungan atau inflasi di tubuh Gunung Merapi. Semakin besar pemendekan jarak, semakin besar pula penggembungan yang terjadi.
Baca juga: Gunung Merapi Alami Deformasi dan Pengikisan Dinding Kawah
Kepala BPPTKG Hanik Humaida mengatakan, deformasi yang teramati sejak 22 Juni 2020 itu menandakan adanya intrusi atau naiknya magma menuju ke permukaan. Namun, dia menyebut, deformasi yang terjadi sekarang belum terlalu signifikan. Berdasarkan data BPPTKG, hingga Kamis (9/7/2020), pemendekan jarak tunjam dari Pos Babadan 7 sentimeter (cm) atau sekitar 0,5 cm per hari.
”Memang ada pemendekan dari pengukuran EDM sebesar 0,5 cm per hari sejak 22 Juni 2020. Namun, ini masih belum terlalu signifikan. Perkembangannya ke depan akan seperti apa, ini masih terus kami lihat,” ujar Hanik saat ditemui di Kabupaten Sleman, DIY, Kamis (9/7/2020).
Erupsi sebelumnya
Hanik memaparkan, jika dibandingkan dengan deformasi yang terjadi menjelang erupsi Merapi tahun 2006 dan tahun 2010, deformasi yang teramati saat ini masih lebih kecil. Menjelang erupsi tahun 2010, Merapi memang mengalami deformasi yang teramati dari pos-pos pemantauan di wilayah Kaliurang, Sleman.
Data BPPTKG menunjukkan, sekitar sebulan sebelum erupsi besar pada 26 Oktober 2010, terjadi deformasi di sisi selatan Gunung Merapi yang teramati berdasarkan pemendekan jarak tunjam dari pos pemantauan di Kaliurang. Saat itu total pemendekan jarak tunjam 300 cm atau sekitar 10 cm per hari.
Namun, yang perlu diingat, laju pemendekan jarak tunjam itu juga bersifat dinamis atau tak selalu sama setiap hari. Data itu, antara lain, disajikan dalam tulisan The 2010 explosive eruption of Java’s Merapi volcano–A’100-year’ event karya Surono dan sejumlah peneliti lain yang dimuat di Journal of Volcanology and Geothermal Research pada Oktober 2012.
Dalam tulisan itu disebutkan, menjelang erupsi 26 Oktober 2010, terjadi pemendekan jarak tunjam dari pos pengamatan Kaliurang dengan tren eksponensial. Pada awal September 2010 atau sekitar sebulan sebelum erupsi, pemendekan jarak itu kurang dari 1 cm per hari. Namun, data BPPTKG menyebutkan, pada 25 Oktober 2010 atau sehari sebelum erupsi, terjadi pemendekan jarak yang sangat signifikan, yakni hingga 50 cm per hari.
BPPTKG juga menyebutkan bahwa deformasi yang terjadi sekarang lebih mendekati pola yang terjadi menjelang erupsi tahun 2006.
Akan tetapi, membandingkan kondisi sekarang dengan tahun 2010 mungkin kurang pas. Sebab, erupsi Merapi tahun 2010 merupakan erupsi sangat besar yang tergolong jarang terjadi. Apalagi, BPPTKG juga menyebutkan bahwa deformasi yang terjadi sekarang lebih mendekati pola yang terjadi menjelang erupsi tahun 2006.
Berdasarkan data BPPTKG, sekitar sebulan sebelum erupsi tahun 2006, terjadi deformasi di sisi selatan Gunung Merapi yang ditandai dengan pemendekan jarak tunjam 130 cm dari pos pemantauan Kaliurang. Ini artinya, pada masa tersebut, laju pemendekan jarak tunjam mencapai 4 cm per hari.
Baca juga: Gempa Vulkanik Dalam Meningkat, Merapi Erupsi Dua Kali
Sementara itu, pada kurun waktu sebulan sebelum erupsi tahun 2006, juga teramati adanya deformasi di sisi barat laut di Gunung Merapi. Namun, laju deformasi yang teramati dari pos Babadan itu lebih kecil dibandingkan dengan deformasi yang teramati dari Pos Kaliurang. Total pemendekan jarak tunjam yang teramati dari Pos Babadan saat itu adalah 20 cm atau sekitar 0,7 cm per hari.
Sama seperti kondisi tahun 2010, laju deformasi yang terjadi pada tahun 2006 juga bersifat dinamis. Hal ini misalnya diungkap dalam tulisan ”Overview of the 2006 Eruption of Mt Merapi” karya Antonius Ratdomopurbo dan sejumlah peneliti lain di Journal of Volcanology and Geothermal Research edisi Juli 2013.
Dalam tulisan itu disebutkan, hingga akhir Maret 2006 atau sekitar dua bulan sebelum erupsi pada Juni 2006, pemendekan jarak tunjam yang terpantau dari Pos Kaliurang baru sekitar 2 cm per hari. Namun, pada April 2006, pemendekan jarak tunjam itu meningkat menjadi 6 cm per hari.
Dua kemungkinan
Berdasarkan data tersebut, tampak bahwa deformasi yang sekarang terjadi di Merapi memang masih lebih kecil dibandingkan dengan deformasi menjelang erupsi tahun 2006 dan 2010. Selain itu, meski mengalami deformasi, potensi bahaya dari erupsi Merapi saat ini juga masih sama dengan sebelumnya, yakni berupa awan panas dan jatuhan material vulkanik dalam radius 3 km dari puncak.
Oleh karena itu, masyarakat sebenarnya tak perlu panik berlebihan saat mendengar informasi ihwal deformasi di Gunung Merapi. Meski begitu, kewaspadaan masyarakat untuk mengantisipasi erupsi ke depan tetap diperlukan.
Hanik mengatkan, deformasi yang terjadi di Merapi sekarang bisa diikuti oleh dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah terjadinya erupsi eksplosif di Merapi seperti pada 21 Juni 2020 dan beberapa waktu sebelumnya.
Menurut Hanik, erupsi eksplosif itu diperkirakan memiliki skala Volcanic Explosivity Index (VEI) 1. Artinya, erupsi tersebut diperkirakan lebih kecil dibandingkan dengan erupsi tahun 2006 yang memiliki VEI 2 dan erupsi 2010 dengan VEI 4.
Tumbuhnya kubah lava baru ini merupakan pertanda terjadinya ekstrusi atau keluarnya magma dari dalam tubuh Gunung Merapi.
”Sejak tahun 2018, Merapi beberapa kali mengalami erupsi dengan eksplosivitas skala 1. Ini merupakan skala terendah untuk Gunung Merapi. Sementara erupsi 2010 memiliki skala 4 dan erupsi 2006 skala 2,” kata Hanik.
Hanik menambahkan, kemungkinan kedua adalah tumbuhnya kubah lava baru di puncak Merapi. Tumbuhnya kubah lava baru ini merupakan pertanda terjadinya ekstrusi atau keluarnya magma dari dalam tubuh Gunung Merapi. Namun, dalam konteks ini, magma keluar secara efusif atau meleleh dan tidak disertai dengan letusan seperti dalam erupsi eksplosif.
Baca juga: Rangkaian Erupsi Kemungkinan Diikuti Tumbuhnya Kubah Lava Baru
Meski begitu, pertumbuhan kubah lava baru itu juga perlu diwaspadai. Sebab, jika kubah lava baru itu terus membesar dan kemudian mengalami keruntuhan, ada kemungkinan Merapi akan mengalami erupsi yang bisa disertai munculnya awan panas. Besar kecilnya erupsi yang terjadi itu akan sangat bergantung pada besaran volume kubah lava yang terbentuk.
Namun, erupsi yang dipicu oleh keruntuhan kubah lava baru itu tentu membutuhkan waktu. Sebab, hingga saat ini BPPTKG menyatakan belum ada pertumbuhan kubah lava baru di Merapi. Sampai sekarang, kubah lava yang ada di puncak Merapi merupakan kubah lava lama yang tumbuh sejak 11 Agustus 2018.
Berdasarkan laporan BPPTKG, dari pengukuran menggunakan foto udara pada 13 Juni 2020, volume kubah lava yang ada di puncak Merapi saat ini hanya sekitar 200.000 meter kubik. Volume itu berkurang lebih dari 50 persen jika dibandingkan dengan volume kubah lava pada 19 September 2019 yang sebesar 468.000 meter kubik.
Apabila dibandingkan dengan volume kubah lava Merapi menjelang erupsi tahun 2006, volume kubah lava yang tersisa saat ini termasuk kecil. Sebab, berdasarkan tulisan ”Overview of the 2006 Eruption of Mt Merapi”, volume maksimal kubah lava Merapi tahun 2006 adalah 4,1 juta meter kubik.
Baca juga: Pengalaman Dikejar Awan Panas Gunung Merapi
Oleh karena itu, sampai sekarang BPPTKG belum menaikkan status Merapi. Selain itu, radius bahaya yang ditetapkan juga masih sama. Hal ini karena BPPTKG menilai ancaman bahaya akibat aktivitas Merapi sekarang masih berada dalam radius 3 km dari puncak Merapi.
”Potensi bahaya masih ada dalam radius 3 km dari puncak sehingga dalam radius itu jangan ada aktivitas. Di luar radius 3 km masih bisa beraktivitas seperti biasa,” kata Hanik.
BPPTKG menilai ancaman bahaya akibat aktivitas Merapi sekarang masih berada dalam radius 3 km dari puncak Merapi.
Upaya mitigasi
Di sisi lain, upaya mitigasi erupsi Gunung Merapi juga terus dilakukan. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sleman, misalnya, menyiapkan rencana kontingensi mitigasi erupsi Merapi yang disesuaikan dengan protokol kesehatan pencegahan penyakit Covid-19.
”Ini sedang kami persiapkan. Sebenarnya kami sudah selesai membuat perencanaan terkait mitigasi Merapi pada Februari lalu. Namun, saat itu belum terjadi pandemi Covid-19. Ini akan kami buat baru dengan adanya protokol Covid-19,” kata Bupati Sleman Sri Purnomo.
Sri menuturkan, dalam perencanaan kontingensi yang masih disusun itu, protokol kesehatan seperti jaga jarak harus diterapkan. Apalagi, selama ini, evakuasi warga terdampak erupsi masih sering menimbulkan kerumunan. Oleh karena itu, langkah mitigasi yang ada perlu disesuaikan dengan adanya wabah Covid-19.
Masalah lain yang mesti diperhatikan pemerintah adalah kerusakan jalur evakuasi yang terjadi di sejumlah wilayah lereng Merapi. Berdasarkan pantauan Kompas, Kamis (9/7/2020), salah satu jalur evakuasi yang rusak itu terdapat di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Jalan tersebut tampak berlubang di beberapa titik dengan kedalaman berkisar 10-20 cm.
Padahal, jalur tersebut merupakan jalur evakuasi menuju barak pengungsian yang terdapat di Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan. ”Ada salah satu jalur yang kalau mau menuju ke barak pengungsian itu jelek. Kalau benar-benar akan erupsi, harapan kami, tolong agar jalan itu diperbaiki,” kata warga Kecamatan Cangkringan, Heri Suprapto (60).
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY Biwara Yuswantana mengatakan, jalur-jalur evakuasi di lereng Merapi yang mengalami kerusakan akan segera dipetakan dan diidentifikasi. Setelah pemetaan selesai, Pemerintah DIY dan Pemkab Sleman akan berkoordinasi untuk menangani jalur evakuasi yang rusak.
”Pemerintah kabupaten akan mengidentifikasi jalur evakuasi yang rusak. Untuk tindak lanjut jalur yang rusak itu tentu akan ada prosesnya. Itu yang saya kira perlu koordinasi lebih lanjut antara Pemda DIY dan Pemkab Sleman,” ungkap Biwara.