Rangkaian Erupsi Kemungkinan Diikuti Tumbuhnya Kubah Lava Baru
Erupsi Merapi pada Jumat (10/4/2020) pukul 09.10 masih merupakan rangkaian dari sejumlah erupsi yang terjadi sejak September 2019. Setelah rangkaian erupsi itu, diperkirakan akan tumbuh kubah lava baru di puncak Merapi.
Oleh
HARIS FIRDAUS/REGINA RUKMORINI
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta kembali mengalami erupsi pada Jumat (10/4/2020) pukul 09.10. Ini adalah erupsi ke-13 yang terjadi di Gunung Merapi sejak September 2019. Setelah rangkaian erupsi itu, diperkirakan akan tumbuh kubah lava baru di puncak Merapi.
Berdasarkan data Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), erupsi Merapi memiliki tinggi kolom 3.000 meter di atas puncak, amplitudo 75 milimeter, dan durasi 103 detik. Saat erupsi, angin berembus ke arah barat laut.
Kepala BPPTKG Hanik Humaida menjelaskan, erupsi pada Jumat pagi itu masih merupakan rangkaian dari erupsi yang terjadi sejak September 2019. Berdasarkan data BPPTKG, Merapi telah mengalami 13 kali erupsi dengan karakteristik yang mirip sejak 22 September 2019.
Rangkaian erupsi yang didominasi oleh gas vulkanik itu menjadi indikasi adanya suplai magma baru dari dapur magma di tubuh gunung tersebut. Suplai magma baru itu kemudian mengalami intrusi atau naik menuju permukaan.
Hanik memaparkan, selama beberapa waktu belakangan, aktivitas kegempaan di Merapi didominasi oleh gempa-gempa yang terjadi di wilayah permukaan, misalnya gempa frekuensi rendah (LF) dan gempa fase banyak (MP). Hal ini menunjukkan, magma yang mengalami intrusi itu telah mendekati wilayah permukaan.
Meski demikian, BPPTKG belum bisa memastikan kapan magma di dalam tubuh Merapi akan mencapai permukaan. Hanik juga menyebut, ke depan, erupsi yang didominasi gas vulkanik masih mungkin terjadi. ”Kita tunggu beberapa saat lagi, tapi letusan-letusan yang seperti ini masih mungkin terjadi,” ujarnya.
Setelah magma dari tubuh Gunung Merapi keluar, akan terbentuk kubah lava baru di gunung api tersebut.
Hanik menuturkan, berdasarkan kajian BPPTKG, magma di dalam tubuh Gunung Merapi itu kemungkinan akan keluar ke permukaan secara efusif atau tidak disertai ledakan. Dalam erupsi efusif, magma keluar ke permukaan dalam bentuk lelehan. Ini berbeda dengan erupsi eksplosif ketika magma keluar ke permukaan dengan disertai ledakan.
Menurut Hanik, setelah magma dari tubuh Gunung Merapi keluar, akan terbentuk kubah lava baru di gunung api tersebut. Dia menambahkan, aktivitas Gunung Merapi setelah erupsi besar tahun 2010 hingga sekarang memiliki kemiripan dengan aktivitas gunung api itu pascaletusan besar tahun 1872.
Setelah erupsi besar 1872, Merapi mengalami sejumlah erupsi kecil pada 1878-1879, yang memiliki kemiripan dengan erupsi kecil tahun 2012-2014. Setelah itu, pada 1883-1884, Merapi mengalami pertumbuhan kubah lava seperti yang terjadi pada 2018-2019. Kemudian, pada periode 1885-1887, Merapi mengalami erupsi gas yang mirip dengan rangkaian erupsi sejak September 2019 hingga saat ini.
Terkait erupsi yang terjadi beberapa waktu belakangan ini, Hanik mengimbau masyarakat untuk tetap tenang. Sebab, hingga sekarang, ancaman bahaya dari erupsi itu masih sama, yakni berupa awan panas dan lontaran material vulkanik dengan radius 3 kilometer (km) dari puncak.
Oleh karena itu, status Merapi juga masih sama, yakni Waspada (Level II). Selain itu, rekomendasi dari BPPTKG juga masih sama, yakni masyarakat tak beraktivitas dalam radius 3 km dari puncak Merapi.
Dengan rekomendasi itu, masyarakat yang berada di luar radius 3 km dari puncak bisa beraktivitas seperti biasa. Namun, mereka diimbau tetap waspada dan terus memantau informasi mengenai Merapi dari lembaga resmi yang berwenang.
Di sisi lain, Hanik juga membantah informasi yang menyebutkan bahwa abu vulkanik dari gunung api bisa mematikan virus korona jenis baru yang menyebabkan penyakit Covid-19. Menurut Hanik, sampai hari ini, tidak ada bukti ilmiah yang menyebutkan abu vulkanik bisa membunuh virus korona penyebab Covid-19.
Berdasarkan data BPPTKG, abu vulkanik justru dapat menyebabkan masalah kesehatan, misalnya gangguan pernapasan, iritasi mata, iritasi kulit, iritasi hidung dan tenggorokan, batuk, serta bronkitis. Oleh karena itu, masyarakat harus menghindari abu vulkanik. Di sisi lain, masyarakat juga tetap harus melakukan langkah-langkah pencegahan penularan Covid-19 dengan melakukan pembatasan sosial dan memakai masker saat beraktivitas di luar.
Sementara itu, setelah erupsi pada Jumat pagi, hujan abu dilaporkan terjadi di sejumlah wilayah lereng Merapi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Magelang, hujan abu terjadi di sedikitnya sembilan desa di tiga kecamatan, yakni Pakis, Sawangan, dan Dukun.
Kepala BPBD Kabupaten Magelang Edy Susanto mengimbau warga yang tinggal di lereng Gunung Merapi tetap tenang dan waspada. Edy menambahkan, saat turun hujan abu, warga pun diminta untuk mengenakan masker dan kacamata jika terpaksa beraktivitas di luar rumah.
Ismanto (52), warga Desa Sengi, Kecamatan Dukun, mengatakan, saat terjadi erupsi, dirinya hanya mendengar suara menggelegar dari kejauhan. Beberapa saat setelah itu, Ismanto mengaku melihat asap tebal yang keluar dari Gunung Merapi. ”Walaupun angin saat erupsi diinformasikan bertiup ke arah barat, tidak ada hujan abu di wilayah Desa Sengi setelah erupsi,” ujarnya.
Marpomo, perangkat Desa Wonolelo, Kecamatan Sawangan, mengatakan, setelah erupsi pada Jumat pagi, terjadi hujan abu di lima dusun di Desa Wonolelo. Dari lima dusun itu, ada dua dusun yang mengalami hujan abu cukup deras, sementara tiga dusun lainnya hanya mengalami hujan abu tipis.
Namun, Marpomo menuturkan, hujan abu hanya berlangsung sekitar 10 menit. Dia menambahkan, hujan abu itu juga tidak membuat warga cemas ataupun khawatir. ”Setelah hujan abu berhenti, warga pun langsung melanjutkan aktivitas seperti biasa,” ujarnya.