Menteri Agraria dan Tata Ruang: Pembentukan Bank Tanah Mendukung Percepatan Reforma Agraria
Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan A Djalil menyatakan, RUU Cipta Kerja yang mengamanatkan akan bank tanah akan mendukung pencapaian reforma agraria.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja di sektor pertanahan, aturan pembentukan bank tanah menjadi sorotan banyak pihak karena dinilai menjauhkan tercapainya reforma agraria. Di sisi sebaliknya, pemerintah mengklaim aturan itu mendukung percepatan reforma agraria karena memudahkan inventarisasi tanah demi kepentingan ekonomi dan masyarakat.
Berdasarkan dokumen RUU Cipta Kerja berjumlah 812 halaman, substansi yang mengatur tentang pertanahan tertuang dalam 22 pasal. Substansi itu mengatur, antara lain, mengenai pengadaan tanah, aturan bank tanah, penguatan hak pengelolaan (HPL), satuan rumah susun (sarusun) untuk orang asing, serta pemberian HPL pada ruang atas dan dan ruang bawah tanah.
Salah satu yang cukup banyak mendapatkan sorotan adalah ketentuan terkait bank tanah. Dalam RUU Cipta Kerja dinyatakan, pemerintah akan membentuk badan bank tanah untuk menjamin ketersediaan tanah untuk kepentingan umum, sosial, pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria. Ketersediaan tanah untuk reforma agraria paling sedikit 30 persen dari tanah negara yang diperuntukkan untuk bank tanah.
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan A Djalil menjelaskan, skema kebijakan bank tanah akan dilakukan dengan cara mengumpulkan tanah-tanah telantar dan tidak bertuan yang ada di seluruh wilayah di Indonesia. Definisi tanah telantar tersebut adalah tanah yang tercatat tidak mempunyai pemilik yang sah secara hukum atau habis masa hak guna usahanya (HGU) dan tidak diperpanjang.
”Misalnya, ada pemilik tanah yang sudah menjadi warga negara lain dan bertahun-tahun tidak mengetahui lokasi dari tanahnya. Maka, asetnya tersebut akan diambil bank tanah agar bisa dimanfaatkan. Akan tetapi, kalau tanah tersebut ada HGB (hak guna bangunan) atau ditanami tanaman, tidak akan diambil,” ujarnya dalam konferensi pers secara daring, Jumat (16/10/2020).
Menurut Sofyan, aturan bank tanah tidak akan dapat terlihat hasil atau manfaatnya dalam waktu dekat. Namun, suatu saat bank tanah akan menjadi aturan yang kuat dan berguna karena menyimpan tanah-tanah yang telah diakuisi, baik dari regulasi maupun pembelian secara langsung. Bank tanah juga akan memudahkan inventarisasi untuk perumahan rakyat, fasilitas umum, hingga reforma agraria untuk 20 hingga 30 tahun ke depan.
Kalau tanah pertanian tentu akan diprioritaskan untuk reforma agraria dan jika perlu 100 persen.
”Kalau tanah pertanian tentu akan diprioritaskan untuk reforma agraria dan jika perlu 100 persen. Akan tetapi, kalau di perkotaan, nanti akan dikumpulkan dan ditujukan untuk perumahan rakyat. Jadi, kami menyediakan tanah dan yang akan membangun adalah Kementerian Pekerjaan Umum atau mekanismenya nanti melalui perumahan nasional,” tuturnya.
Ia menegaskan, adanya aturan bank tanah akan lebih memfasilitasi percepatan reforma agraria. Sebab, bank tanah akan mengamankan tanah-tanah telantar yang kerap menjadi incaran sejumlah pihak. Setelah diamankan dan dikumpulkan, 30 persen tanah tersebut dapat digunakan untuk menjamin tercapainya reforma agraria.
”Jadi, jika ada tanah yang tidak diurus, ada transisi yang baik dan negara terlibat dari awal. Selama ini tidak ada keterlibatan negara karena saat kami datang, tanah sudah dikuasai oleh banyak sekali orang. Biasanya mafia tanahnya kuat, dia juga menguasai banyak tanah,” ungkapnya.
Saat ini, kata Sofyan, penyusunan rancangan peraturan pemerintah (RPP) untuk menjabarkan secara detail RUU Cipta Kerja substansi pertanahan telah mencapai 90 persen. Aturan tersebut meliputi RPP tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, RPP Bank Tanah, RPP Pemberian Hak atas Tanah, RPP Penyelenggaraan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, serta RPP Kawasan dan Tanah Telantar.
Dewan pengawas
Bank tanah tidak hanya dikelola oleh Kementerian ATR/BPN. Namun, akan ada dua kementerian atau lebih yang nantinya akan ditunjuk oleh presiden guna membantu pengelolaan bank tanah untuk percepatan kepentingan sosial hingga reforma agraria.
Demi terlaksananya kinerja yang baik, kata Sofyan, badan bank tanah juga akan melalui dewan pengawas yang terdiri dari tujuh orang, yakni tiga orang dari unsur pemerintah dan tiga orang pengawas independen profesional. Perwakilan dari organisasi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu agraria dan memenuhi kriteria juga diperbolehkan untuk menjadi pengawas independen.
”Saya tidak mau organisasi ini menjadi powerfull karena tidak ada yang mengawasi. Kami akan transparan dan tidak ada yang ditutup-tutupi. Kami akan cari profesional terbaik yang akan mengelola bank tanah ini dan memiliki pengalaman ataupun pemahaman tentang masalah hukum agraria,” ungkapnya.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menilai bahwa reforma agraria untuk kepentingan rakyat kecil tidak bisa disandingkan dengan urusan pemenuhan HGU untuk korporasi. Sebab, tujuan kedua hal ini juga bertentangan. Reformasi agraria bertujuan untuk memperbaiki ketimpangan penguasaan pemilikan tanah, sedangkan pemenuhan HGU untuk urusan bisnis dan investasi skala besar.
”Seolah-olah kami yang mengkritik ini hanya bisa diredam dengan jabatan di dewan pengawas. Kritik kami terhadap bank tanah sudah lama sejak masih ada di RUU Pertanahan yang juga kami tolak. Padahal, yang kami mau itu menolak pengadaan bank tanah,” ucapnya.
Selain kelompok masyarakat sipil, kritik juga datang dari akademisi, salah satunya Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Maria SW Sumardjono. Menurut dia, tidak ada yang bisa menjamin dilaksanakannya ketentuan 30 persen tanah negara untuk reforma agraria. Hal tersebut juga berkaca dari banyaknya lahan di Indonesia yang tidak jelas asal-usul dan pemberiannya.
Maria juga memandang penyusunan substansi pertanahan tersebut tidak memiliki landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis karena tidak ada undang-undang yang diacu. Substansi tentang bank tanah, pemuatan HPL, hingga sarusun, pada hakikatnya bukan merupakan penyederhanaan regulasi, melainkan penyelundupan substansi dalam RUU Pertanahan yang sudah ditunda pembahasannya karena bermasalah.
Terkait hal ini, Sofyan meyatakan bahwa pembentukan RUU Cipta Kerja telah memiliki landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis. Landasan filosofis ini adalah untuk mencapai tujuan kemakmuran dan keadilan sosial, sedangkan landasan yuridis adalah Pasal 33 Ayat (3), yakni bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.