DPRD Muara Enim meminta pemerintah melegalkan tambang batubara rakyat yang tersebar di Muara Enim. Pembukaan ini perlu dilakukan mengingat ada 6.000 kepala keluarga yang bergantung pada aktivitas penambangan.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — DPRD Muara Enim meminta pemerintah melegalkan tambang batubara rakyat yang tersebar di Muara Enim. Pembukaan ini perlu dilakukan mengingat ada 6.000 kepala keluarga yang hidupnya bergantung pada aktivitas penambangan rakyat tersebut.
Ketua Komisi I DPRD Muara Enim Masito, selepas pertemuan Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru dengan anggota Komsi I DPRD Muara Enim, Selasa (3/11/2020) di Palembang, menjelaskan, dalam pertemuan itu, pihaknya meminta pemerintah membuka kembali pertambangan rakyat.
Menurut dia, di dalam pertambangan rakyat yang sudah beroperasi sejak 14 tahun yang lalu itu, ada sekitar 6.000 kepala keluarga yang menggantungkan diri pada aktivitas tersebut. Aktivitas itu membantu menampung masyarakat yang juga terdampak pandemi. ”Dengan menutup pertambangan tersebut, maka akan menghilangkan mata pencarian masyarakat setempat,” kata Masito.
Di sisi lain, pemerintah perlu membuat regulasi agar aktivitas ilegal ini bisa dilegalkan. Dengan demikian, dapat memberikan pendapatan bagi pemerintah daerah melalui pendapatan asli daerah (PAD). Proses legalisasi tambang tersebut bisa berupa kerja sama dengan perusahaan pemilik izin usaha tambang (IUP) dalam hal ini PT Bukit Asam atau kemitraan bentuk lain.
Pembuatan regulasi, baik berupa perda maupun peraturan turunan lain, juga bertujuan agar ada standardisasi dalam operasional pertambangan rakyat. ”Jangan sampai penambangan itu menelan korban jiwa lagi,” ucapnya.
Berdasarkan pantauan di lapangan, lanjut Masito, aktivitas tambang rakyat di Muara Enim terpusat di tiga kecamatan, yakni Semendo, Lawang Kidung, dan Tanjung Agung.
Saya tidak tahu pasarnya di mana saja, tetapi pasti masih ada yang menampung.
Pada Rabu (21/10/2020), longsor di pertambangan batubara ilegal telah menewaskan 11 orang. Korban berasal dari warga setempat dan warga provinsi lain, seperti Jawa Barat dan Lampung. Korban tertimbun ketika sedang membuat jalan tambang. ”Dengan adanya regulasi, pengawasan tentu akan lebih ketat,” ucapnya.
Menurut Masito, aktivitas ini terus berjalan lantaran masih adanya pasar. ”Saya tidak tahu pasarnya di mana saja, tetapi pasti masih ada yang menampung,” ucap Masito.
Aturan tambang rakyat
Menanggapi hal tersebut, Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru mengungkapkan, pihaknya masih menunggu peraturan turunan dari Undang-Undang Cipta Kerja yang di dalamnya juga mengatur soal mineral dan batubara. Namun, dalam pasal tersebut, dirinya belum melihat adanya aturan khusus terkait pertambangan rakyat. ”Kami sedang mencarikan solusi di saat transisi undang-undang,” ucapnya.
Menurut Herman, pengaturan soal pertambangan rakyat perlu dipertimbangkan karena, jika tidak diawasi, masyarakat akan ”kucing-kucingan” dalam melakukan akvitas tambang tersebut. Alhasil, keselamatan pun diabaikan. ”Langkah ini dilakukan sebagai upaya menyelamatkan jiwa, lingkungan, dan mata pencarian warga,” katanya.
Di Sumsel sendiri ada dua jenis pertambangan rakyat. Selain tambang batubara di Muara Enim dan Lahat, ada juga penambangan minyak di Kabupaten Musi Banyuasin. ”Di kedua pertambangan rakyat tersebut juga pernah terjadi kecelakaan yang menelan korban jiwa,” ungkapnya.
Sebelumnya, Direktur Pilar Nusantara (PINUS) Sumsel Rabin Ibnu Zainal mengatakan, pengaturan tentang pertambangan rakyat sudah diatur dalam UU Minerba. Memang ada cara untuk melegalkan pertambangan rakyat, tetapi banyak syarat yang harus dipenuhi, termasuk tentang standar keselamatannya.
Menurut Rabin, risiko pertambangan rakyat sangat tinggi sebab aktivitas tersebut dilakukan di dalam galian, berbeda dengan perusahaan tambang yang memiliki standar keselamatan yang ketat dan pengoperasiannya ada di lahan terbuka (open pit). Kecelakaan kerja yang menelan banyak korban jiwa merupakan buah dari lemahnya pengawasan terhadap aktivitas tambang batubara ilegal yang sebenarnya sudah berlangsung sejak lama di Sumsel.
Dari hasil investigasi PINUS di Desa Tanjung Lalang hingga Desa Darmo, Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, pada 2018, terkuak bahwa aktivitas tambang batubara ilegal ini sudah terorganisir bahkan terbilang sangat rapi. Aktivitas ilegal itu biasanya terjadi di satu hamparan dengan luas 2 hektar-6 hektar.
Dalam hamparan itu, ada puluhan lubang tambang yang digali dengan menggunakan alat berat atau alat konvensional. Modus yang digunakan adalah dengan sistem bagi hasil antara pemilik lahan dan pemilik modal. Pemodal biasanya datang dari Lampung, Jawa Barat, atau warga setempat.