Demokrasi Terancam, Narasi Media tentang HAM Dibutuhkan
Tren menguatnya intoleransi dan ketakutan warga untuk berpendapat menunjukkan demokrasi di Indonesia kian terancam. Media di Indonesia pun perlu berperan dengan mengedepankan narasi HAM.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·3 menit baca
CIREBON, KOMPAS – Tren menguatnya intoleransi dan ketakutan warga untuk berpendapat menunjukkan demokrasi di Indonesia kian terancam. Media di Indonesia pun diharapkan berperan menjaga demokrasi dengan menyebarkan narasi berperspektif hak asasi manusia atau HAM.
Hal ini menjadi salah satu benang merah dalam pelatihan “Jurnalisme Keberagaman” yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) di Kota Cirebon, Jawa Barat, Jumat – Minggu (22-24/1/2021). Kegiatan tersebut dihadiri 20 jurnalis dari berbagai daerah di Jabar.
Peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Saidiman Ahmad mengatakan, sejumlah penelitian menemukan demokrasi Indonesia kian melemah. Dalam survei SMRC, misalnya pada Agustus 2020, tingkat kepuasan warga terhadap demokrasi hanya 67 persen. Ini menurun dibandingkan April 2019, yakni 74 persen.
Sebelum itu, The Economist Intelligence Unit mencatat Indeks Demokrasi 2018 Indonesia berada pada posisi 64 dari 167 negara. Ini lebih buruk dibandingkan Malaysia dan Timor Leste yang masing-masing berada di peringkat 43 dan 41. Pada tahun yang sama, Freedom House mencatat Indonesia berada pada kategori setengah bebas.
Saidiman menilai, menurunnya demokrasi Indonesia dipengaruhi kebebasan berpendapat dan intoleransi. Survei Nasional Indonesia 2009-2019, misalnya, menunjukkan 38 persen warga takut ditangkap secara semena-mena oleh aparat hukum karena berpendapat. Pada 2009, ketakutan serupa tercatat 24 persen.
“Kualitas demokrasi Indonesia akan semakin menurun karena ada kelompok tertentu yang dibubarkan. Padahal, dalam demokrasi, semua orang bisa berpendapat dan berpolitik,” kata Saidiman yang juga turut mendirikan Sejuk.
Adapun intoleransi agama tampak antara lain dalam survei terkait keberatan responden Muslim jika presidennya beragama yang lain. Pada 2019, sebanyak 59 persen responden menyatakan keberatan, naik dibandingkan tahun 2016, yakni 48 persen.
Semakin intoleran
“Salah satu yang kami temukan, semakin religius responden, mereka malah semakin intoleran. Reigius di sini indikatornya, seperti rajin ke masjid,” kata Saidiman. Temuan itu menunjukkan, ada narasi intoleran di tempat ibadah, seperti agama lain salah.
Karena itu katanya, perlu ada narasi tandingan dari media. "Narasi keagamaan yang tidak sektarian dan menganggap agama lain salah. Peradaban itu muncul karena kita sadar masing-masing orang punya keterbatasan, bukan orang yang tahu segalanya,” ujarnya.
Peradaban itu muncul karena kita sadar masing-masing orang punya keterbatasan, bukan orang yang tahu segalanya (Sadiman)
Daniel Awigra dari Human Rights Working Group, lembaga yang fokus pada persoalan HAM, menilai, media belum sepenuhnya mengedepankan perspektif HAM dalam meliput. Dalam pemberitaan, media acap kali terjebak dalam narasi keamanan dibandingkan pemenuhan hak.
Misalnya, penyegelan bakal makam sesepuh penghayat Sunda Wiwitan oleh Pemerintah Kabupaten Kuningan, Jabar, tahun2020. Pemkab beralasan Sunda Wiwitan tidak memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) dan demi menjaga kondusivitas. Apalagi, sejumlah organisasi masyarakat mendesak penyegelan itu.
“Kalau pendekatannya keamanan terus, kelompok minoritas akan selalu dipinggirkan. Pendekatan keamanan penting, tetapi itu tidak cukup. Harus ada pendekatan hak. Misalnya, setiap orang berhak memeluk agama tertentu. Negara wajib melindunginya,” ungkap Awigra yang juga pendiri Sejuk.
Menurut dia, pembatasan hak dengan alasan keamanan perlu diuji. Misalnya, apakah kegiatan kelompok tertentu mengancam kehidupan publik atau tidak. Contoh kegiatan berdampak pada keamanan adalah keyakinan yang erat dengan terorisme. “Ini yang harus dibatasi, seperti pelakunya ditangkap,” katanya.
Itu sebabnya, Awigra dan Saidiman mendorong para jurnalis mengutamakan perspektif HAM dalam meliput. Caranya, mulai dari memilih narasumber yang memiliki pendekatan HAM hingga memperluas jaringan jurnalis dengan berorganisasi.