Pandemi dan Tantangan Eksistensi Demokrasi
Eksistensi demokrasi menjadi pertaruhan ketika pandemi melanda. Fokus perhatian publik pada pandemi jangan sampai melemahkan fungsi demokrasi, salah satunya melalui kontrol publik pada kebijakan negara.
Dalam jangka waktu tertentu, sebuah bencana dapat mengancam eksistensi demokrasi pada suatu wilayah. Menguatnya peran negara dan terbatasnya ruang gerak pengawasan selama bencana menjadi gerbang pembuka menuju arah pelemahan demokrasi.
Pada skala mikro, stabilitas sebuah wilayah dapat goyah jika dilanda sebuah bencana. Bagi negara yang berada pada tahap transisi dan konsolidasi demokrasi, kondisi ini dapat mengancam eksistensi demokrasi itu sendiri.
Embrio ancaman bagi eksistensi demokrasi dapat lahir dari turunnya kepercayaan masyarakat kepada pihak yang berwenang dalam penanganan bencana. Akibatnya, terdapat ancaman bagi stabilitas suatu wilayah.
Ancaman stabilitas itu salah satunya pernah dialami oleh Chile. Setelah gempa dan tsunami 2010, muncul rasa khawatir dari sekelompok masyarakat. Pada beberapa daerah, kondisi ini juga bermuara pada kekacauan dan penjarahan yang dilakukan oleh masyarakat (Charlin, dkk, 2013).
Di Indonesia, gangguan stabilitas setelah bencana juga pernah terjadi saat gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, pada 2018. Beberapa kelompok masyarakat melakukan penjarahan di tengah situasi Palu yang masih mencekam.
Kondisi ini menggambarkan adanya kekhawatiran masyarakat pada saat bencana yang berdampak pada terganggunya stabilitas di suatu wilayah. Situasi itu dapat meluas jika dibiarkan pada bencana dengan skala yang luas dalam kurun waktu yang lama, termasuk bencana nonalam yang kini tengah dihadapi.
Baca juga: Pandemi Covid-19 dan Pelajaran Demokrasi
Peran negara
Dalam skala yang lebih besar, bencana yang dirasakan oleh banyak daerah juga dapat menimbulkan ancaman stabilitas bagi negara, baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat. Kondisi ini juga dapat bermuara pada goyahnya penerapan demokrasi, termasuk di Indonesia.
Dari sisi pemerintah, status pandemi telah memaksa negara untuk menerapkan kebijakan ekstra dalam segala lini. Hal ini dilakukan guna mempercepat upaya pemulihan dan menekan dampak pandemi pada multisektor. Akibatnya, peran negara semakin kuat di tengah melemahnya peran dari masyarakat yang terfokus pada pandemi.
Bagi Indonesia, menguatnya peran negara di tengah pandemi telah terlihat dari lahirnya sejumlah kebijakan sejak Maret lalu. Salah satunya adalah pengucuran anggaran hingga lebih dari Rp 400 triliun untuk menghadapi pandemi Covid-19, hingga realokasi anggaran di tingkat pemerintah daerah.
Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 yang diundangkan pada 31 Maret 2020. Beleid ini mengatur tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Dalam aturan itu terdapat klausul bahwa segala tindakan yang diambil bukanlah obyek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. Pasal ini pernah dipertanyakan secara konstitusional oleh beberapa kelompok masyarakat sipil dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Pertimbangannya, aturan itu berpotensi menjadi imunitas absolut bagi pihak tertentu. Namun, gugatan ini ditolak oleh Mahkamah Konstitusi karena dinilai telah kehilangan obyek setelah Perppu tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 pada Mei 2020.
Pada satu sisi, menguatnya peran negara adalah hal yang wajar demi menangani dampak dari pandemi secara lebih cepat. Di sisi lain penguatan negara harus diiringi dengan ketatnya pengawasan, baik dari lembaga legislatif, maupun gerakan masyarakat sipil. Sebab, kondisi ini dapat mengancam demokrasi pada jangka panjang jika tidak diawasi dengan ketat.
Namun, terdapat potensi melemahnya pengawasan publik karena konsentrasi yang terfokus pada pandemi Covid-19. Saat semakin banyak kasus positif dan ruang gerak sangat terbatas, maka pengawasan juga dilakukan dengan skala terbatas.
Tantangan berikutnya adalah dominasi partai koalisi dalam parlemen yang juga dapat melemahkan pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Dalam skala yang lebih luas dan jangka panjang, kondisi ini tentu dapat berdampak pada redupnya eksistensi demokrasi seiring lemahnya pengawasan di tengah peran negara yang menguat.
Baca juga: Anna Luhrmann: Demokrasi Akan Bertahan dari ”Infeksi” Covid-19, jika…
Kondisi daerah
Relasi antara kebijakan eksesif dan kondisi demokrasi telah diperingatkan oleh The Varieties of Democracy (V-Dem) Institute, Swedia, pada April 2020. Berdasarkan kajian yang dilakukan, terdapat 48 negara berisiko tinggi yang dapat mengalami kemunduran demokrasi akibat pandemi. Sementara 34 negara masuk pada kategori berisiko sedang dan 47 negara termasuk kategori berisiko rendah mengalami kemunduran demokrasi.
Indonesia tergolong negara yang berisiko sedang dengan memperhatikan sejumlah indikator, seperti pengawasan, peran lembaga legislatif dan eksekutif, hingga kebijakan yang dikeluarkan. Kondisi ini tentu menjadi lampu kuning bagi demokrasi di Indonesia selama pandemi.
Apalagi, menurut catatan The Economist Intelligence Unit tahun 2019, Indonesia berada pada kategori demokrasi cacat atau flawed democracy. Adanya pandemi dapat berpotensi memperburuk kualitas demokrasi di Indonesia.
Tantangan terdekat yang akan dihadapi adalah penyelenggaraan Pilkada 2020. Jika pilkada diselenggarakan dengan segala keterbatasan, momen yang semestinya dapat menjadi pesta demokrasi berpotensi berubah menjadi bencana demokrasi dengan mengorbankan kualitas penyelenggaraan.
Pada skala yang lebih kecil, tantangan merawat eksistensi dari demokrasi juga muncul pada sejumlah wilayah. Ada beberapa daerah yang mesti menjadi perhatian dalam penerapan demokrasi selama pandemi.
Hingga kini, beberapa daerah yang memiliki total kasus yang tinggi Covid-19 yang tinggi, juga memiliki catatan rekor yang kurang baik dalam hal penerapan demokrasi menurut Indeks Demokrasi Indonesia yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik.
Catatan pertama adalah pada daerah Sumatera Utara. Hingga 15 September lalu, Sumatera Utara masih menjadi 1 dari 10 provinsi dengan jumlah kasus positif Covid-19 tertinggi di Indonesia. Pada tahun lalu, indeks demokrasi di Sumatera Utara mencapai 67,65 atau berada di bawah indeks demokrasi Indonesia sebesar 74,92.
Aspek terendah dalam indeks demokrasi di Sumatera Utara adalah hak politik yang turun dari 62,61 pada tahun 2018 menjadi 61,59 pada tahun 2019 atau nyaris mendekati kategori buruk. Salah satu indikator yang turut diperhitungkan adalah partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pemerintahan. Partisipasi ini tentu dapat kembali terhambat selama pandemi di tengah terbatasnya ruang gerak sosial.
Provinsi lainnya dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi dan indeks demokrasi yang cukup rendah adalah Jawa Barat. Pada tahun 2019, indeks demokrasi di Jawa Barat berada pada kategori sedang (69,09). Hingga 15 September lalu, Jawa Barat juga menjadi satu dari lima provinsi dengan jumlah kasus Covid-19 tertinggi di Indonesia.
Kebebasan sipil menjadi aspek terendah dalam indeks demokrasi di Jawa Barat, yakni 65,16, atau turun cukup jauh dibandingkan dengan tahun lalu (74,90). Aspek kebebasan sipil ini mencakup beberapa hal, yakni kebebasan berpendapat, berserikat, berkeyakinan, dan kebebasan dari diskriminasi. Jika pada situasi normal aspek kebebasan sipil mengalami penurunan dan bahkan menyentuh kategori buruk, pandemi Covid-19 dapat berpotensi memperparah kondisi itu.
Menilik lebih jauh tentang kebebasan sipil, perhatian khusus juga perlu diarahkan ke Provinsi Sumatera Barat. Pada tahun lalu, sebelum Covid-19, Sumatera Barat menjadi daerah dengan indeks kebebasan sipil terendah di Indonesia (56,58) dan masuk pada kategori buruk. Kondisi ini tentu menjadi lampu kuning di tengah pandemi Covid-19. Kini, Sumatera Barat masih bergulat dengan penanganan Covid-19 dengan total 3.633 kasus.
Baik dalam skala nasional maupun lingkup wilayah, Indonesia dihadapi tantangan untuk merawat eksistensi demokrasi di tengah hadangan pandemi Covid-19. Terobosan politik, konsolidasi dan pengawasan yang ketat dari masyarakat, hingga akuntabilitas kebijakan dibutuhkan untuk terus merawat kewarasan berdemokrasi selama pandemi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Harus Membayar Berita Daring?