”Si Kecil” yang Menyehatkan Usus
Probiotik dapat menunjukkan kemanjuran dalam memperbaiki kecemasan, depresi, gangguan spektrum autism atau ASD, dan gangguan obsesif-kompulsif.
Kesadaran tentang kesehatan mendorong seseorang mulai memperbaiki pola makan, yakni menjaga keberadaan mikrobioma baik di dalam usus dengan konsumsi makanan yang kaya probiotik. Sebab, ketidakseimbangan mikrobiota dapat berpengaruh terhadap munculnya berbagai gangguan kesehatan di dalam tubuh.
Pernahkan Anda berdialog dengan diri sendiri terkait makanan yang hendak dikonsumsi? ”Makanan ini enak sekali, tapi sangat berlemak. Ah, tidak apa-apa, aku tetap mau makan itu!” atau ”Apakah makanan ini cukup menyehatkan bagiku?” atau ”Duh, sehat enggak, ya? Bersih enggak, ya?” Sebelum menyantap sesuatu, lumrah terkadang pikiran-pikiran itu muncul.
Mungkin tubuh tidak menjawabnya seketika. Bisa jadi, respons baru didapat setelah mengonsumsinya, seperti tubuh menjadi mudah lelah, konstipasi (sembelit), perut terasa kembung, atau sakit kepala. Bagi yang sudah hapal dengan ”sinyal” tubuhnya, seperti akan pusing kalau mengonsumsi makanan yang digoreng atau protein hewani tertentu, mereka sebisa mungkin akan menghindarinya. Sepiring makanan cepat saji mungkin terlihat lezat, tetapi belum tentu baik bagi kesehatan.
Di dalam perut terdapat saluran pencernaan, termasuk usus, yang berperan dalam penyerapan asupan nutrisi dari makanan yang dikonsumsi. Masyarakat Jepang meyakini bahwa perut merupakan pusat jiwa manusia. Hal ini mengingatkan pada tradisi bunuh diri yang dulu dilakukan para samurai Jepang, yakni seppuku atau harakiri. Konon, bagian perut yang dipotong karena di sanalah jiwa dan pikiran seseorang bersemayam, bukan pada otak.
Perut berpengaruh besar dalam kehidupan seseorang. Keyakinan tersebut sejalan dengan penelitian Emeran Mayer, seorang pakar yang menekuni pola interaksi mikrobioma usus dan otak dari Universitas California Los Angeles. Dalam buku The Mind-Gut Connection: How the Hidden Conversation Within Our Bodies Impacts Our Mood, Our Choices, and Our Overall Health, Mayer menyebutkan, keputusan-keputusan yang dipilih seseorang merupakan keputusan usus (gut decision).
Menurut dia, usus kerap kali melakukan percakapan kimia dengan otak, yang melibatkan mikrobioma usus, sel-sel kekebalan, hormon, sel yang mengandung serotonin, dan ujung saraf sensorik. Interaksi tersebut dimulai sejak awal kehidupan, melalui makanan yang dikonsumsi dan efek yang dirasakan oleh tubuh.
Gut based caucus mengirim sinyal kembali ke otak, yang memengaruhi keinginan kita untuk makan, sensitivitas stres, perasaan, dan bagaimana membuat gut decision. Reaksi yang dirasakan usus memberikan pengaruh besar pada jenis pesan apa yang dikirim usus kembali ke otak. Selanjutnya, sensasi tersebut akan disimpan dalam database otak, yang akan membentuk latar belakang emosi, temperamen, dan kemampuan untuk membuat gut decision yang bermanfaat.
Asupan makanan yang bernutrisi seimbang memiliki dampak yang jauh lebih bermanfaat pada kerja sel bagian dalam tubuh yang berkontribusi mencegah berbagai penyakit metabolik dan memperlambat penuaan (sumber: David G Le Couteur dkk, Cell Metabolism, 2021).
Kondisi perut juga berhubungan erat dengan suasana hati seseorang, seperti dikatakan Hiromi Shinya, seorang dokter ahli bedah dan gastroenterologi di Amerika Serikat, dalam buku Revolusi Makan (2014). Menurut dia, kesehatan usus akan terganggu ketika seseorang mengalami masalah dan depresi. Usus yang tidak sehat akan mengganggu suasana hati. Sebagian orang menganggap sembelit atau tumpukan kotoran di dalam usus sebagai hal yang biasa. Mereka tidak menyadari hal ini berdampak negatif pada dirinya.
Kita kerap kali mendengar slogan you are what you eat atau diri Anda adalah apa yang Anda makan. Tampaknya slogan tersebut belum menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan makanan yang akan dikonsumsi. Padahal, asupan nutrisi yang memiliki nilai gizi baik berpengaruh pada keseimbangan mikrobioma di dalam saluran pencernaan.
Probiotik
Dikutip dari arsip Kompas, mikrobioma dalam tubuh terdiri dari jamur, bakteri, virus, dan archaea. Konsentrasi terbesar mikrobioma ada di usus yang kurang oksigen. Menurut Ruth Ley, profesor dan direktur ilmu mikrobioma di Institut Max Planck bagi Pengembangan Biologi di Tubingen, Jerman, mikrobioma penting bagi kesehatan manusia (Kompas,11/4/2018).
Untuk meningkatkan mikrobioma baik di dalam tubuh, bisa dengan cara memperbanyak konsumsi makanan yang mengandung probiotik, seperti yoghurt, natto, kombucha, kimchi, sauerkraut, kefir, tempe, dan miso.
Probiotik terdapat pada pangan terfermentasi yang mengandung mikroorganisme hidup aktif. Dalam proses pembuatan makanan fermentasi, sejumlah bakteri dan kapang digunakan, yakni Rhizopus oligosporus, Streptococcus thermophilus, Bifidobacterium lactis, Lactobacillus bulgaricus, Lactobacillus casei, dan Saccharomyces cerevisiae.
Adapun prebiotik adalah komponen makanan yang tidak dapat dicerna tubuh, tetapi mempunyai efek baik untuk meningkatkan jumlah populasi mikroorganisme baik dalam usus. Menurut International Scientific Association for Probiotics and Prebiotics, hampir semua prebiotik adalah serat makanan, tetapi tidak semua serat makanan dapat dikategorikan sebagai prebiotik.
Prebiotik terdapat pada biji-bijian, buah-buahan, dan sayuran. Bahan prebiotik juga dicampurkan pada sejumlah produk makanan kemasan dengan penyebutan seperti galaktooligosakarida (GOS), fruktooligosakarida (FOS), oligofruktosa (OF), serat chicory, dan inulin.
Baca Juga: Mikroorganisme Lokal untuk Industri Pangan
Sejumlah pakar meneliti konsumsi produk probiotik terbukti memiliki dampak baik bagi kesehatan, antara lain membantu proses metabolisme, kekebalan tubuh, dan mencegah penuaan. Adapun keberadaan mikrobioma usus juga berkaitan dengan sejumlah risiko penyakit degeneratif.
Hasil penelitian berjudul Kombucha Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) dan Kemampuannya sebagai Antihiperkolesterolemia yang termuat dalam jurnal Agritech, Februari 2009, menunjukkan, minuman kombucha yang terbuat dari rosella lebih efektif dalam menurunkan kolesterol darah dalam percobaan yang diberikan pada tikus yang menderita hiperkolesterolemia, dibandingkan dengan kombucha yang terbuat dari teh hitam.
Produk fermentasi yang mengandung Lactobacillus dan Bifidobacterium bisa memperbaiki kesehatan mental. Dijelaskan lebih lanjut oleh Huiying Wang dan kawan-kawan, dalam kajian yang termuat dalam Journal of Neurogastroenterology and Motility, Oktober 2016, probiotik dapat menunjukkan kemanjuran dalam memperbaiki kecemasan, depresi, gangguan spektrum autism (ASD), dan gangguan obsesif-kompulsif.
Pangan fermentasi
Seiring perkembangan teknologi, beragam produk pangan fermentasi bisa diakses begitu mudah melalui laman jual-beli daring, mulai dari yoghurt, kombucha, kefir, keju, tempe, hingga sauerkraut. Biasanya dilabeli dengan tulisan ”homemade” atau artisan untuk menunjukkan bahwa produk ini dibuat dalam jumlah sedikit sehingga para pembeli harus memesannya jauh hari.
Paket pangan fermentasi bisa juga dibeli melalui laman jual-beli daring. Ada paket membuat tempe, kombucha, hingga yoghurt. Dalam paket ini terdapat langkah pembuatan, bakteri atau yeast yang akan digunakan, dan bahan-bahan lainnya.
Bahkan, sebagian orang mengikuti workshop khusus untuk membuat produk pangan fermentasi. Bekal ilmu dan pengetahuan yang didapat bisa langsung dipraktikkan di rumah. Alasannya, tentu saja ingin mendapatkan manfaat baik bagi kesehatan sekaligus berhemat. Kemajuan teknologi juga melahirkan sejumlah alat, seperti yoghurt maker dengan kapasitas kecil yang bisa digunakan di rumah. Yoghurt ala rumahan bisa diwujudkan seketika.
Baca Juga: Jejak dan Keistimewaan Makanan Fermentasi Nusantara
Pada pertengahan tahun 2019, Bella (26), karyawan swasta, mengikuti workshop pembuatan kombucha. Sudah sejak lama dia penasaran dengan produk tersebut. Setelah dari sana, dia langsung bereksperimen di indekos. Bahan yang digunakan adalah toples kaca, serbet kain, bibit kombucha (scoby), teh hitam, rosella, dan gula.
Kunci dalam pembuatan kombucha adalah menjaga suhu dan keadaan yang bersih. Apabila kombucha terkontaminasi jamur, seluruh larutan harus dibuang. Oleh sebab itu, proses pembuatan yang memperhatikan kebersihan menjadi kuncinya.
Selama ini, produk fermentasi yang dia konsumsi secara rutin adalah tempe dan sesekali yoghurt. Berbagai olahan tempe, mulai dari tempe goreng, mendoan, hingga tempe orek pun dilahapnya. Menurut dia, pangan fermentasi memberikan efek baik bagi tubuh, yakni melancarkan pencernaan.
”Setelah makan olahan tempe, badanku kerasa gak berat aja gitu. Kalau makan ayam atau daging, biasanya aku cepat pusing,” ucapnya.