Kesedihan atas kehilangan anak adalah kesedihan yang tidak terbahasakan. Namun, sepedih apa pun kehilangan, tetap ada istilah yang mengacu pada hal itu: ”tilahaon”.
Oleh
RIDUAN SITUMORANG
·2 menit baca
Di tengah kasus buram Brigadir J, orang-orang seperti menyadari satu hal tentang pedihnya kehilangan. Ternyata, betapapun pedihnya sebuah kehilangan, kita tetap bisa mengartikannya dengan sebuah bahasa ringkas. Bahasa Indonesia termasuk kaya dalam mengungkapkan sebuah kehilangan secara ringkas.
Janda, misalnya, untuk istri yang kehilangan suami, duda untuk suami yang kehilangan istri, yatim untuk anak yang kehilangan ayah atau ibu, dan yatim piatu untuk anak yang kehilangan kedua orangtuanya. Namun, bahasa Indonesia ternyata tak cukup kuat untuk mengungkapkan kondisi seorang ibu/ayah yang kehilangan anaknya.
Kenyataan itu akhirnya mengarah pada sebuah simpulan: bahwa tiada kehilangan yang lebih pedih daripada kehilangan seorang anak. Karena itu, kita menatap haru ketika Ridwan Kamil rela mengitari Sungai Aare. Ia berpeluh untuk mencari dan mencari. Kita meringis ketika ibu Brigadir J menangis di depan peti mati anaknya.
Dalam paham bahasa Indonesia, karena ketiadaan bahasa ringkas untuk mengungkapkan kesedihan orangtua atas kehilangan anaknya, maka kesedihan atas kehilangan anak adalah kesedihan yang tidak terbahasakan. Namun, sepedih apa pun kehilangan, sesungguhnya kita tetap bisa menamainya dengan sebuah istilah, termasuk kehilangan anak.
Orang Batak puak Toba, misalnya, menyebut tilahaon bagi orangtua yang kehilangan anaknya. Adapun kata yang mengacu pada anak yang sudah meninggal itu disebut tilaha. Kematian seperti ini sangat menyedihkan sehingga tidak ada upacara. Malah, pada zaman dahulu, jasad anak yang meninggal tidak akan dibawa ke luar melalui pintu. Kematian seperti itu dirahasiakan.
Ada satu naskah kuno tentang kata tilaha: /jaha horbo marobo mangadpohon nariti/buhit bayo tora tilahan ni horbo inon/ (jika kerbau rebah ke arah barat daya, namanya celaka kerbau Bukit Bayo Tora). Naskah ini sudah tak akan mudah dimengerti lagi oleh orang Batak modern, kecuali hanya meraba-raba. Namun, dari sanalah kiranya muasal kata tilaha bagi orang Batak. Padanan kata ini adalah celaka yang berasal dari bahasa Sanskerta.
Dari naskah kuno itu, tilahan masih cenderung berarti ’celaka secara umum’ karena masih dikaitkan dengan kerbau (horbo). Tak diketahui sejak kapan kata tilaha menjadi lebih spesifik sebagai identifikasi dari kemalangan yang dialami oleh orangtua karena kehilangan anaknya.
Yang pasti, pada saat ini, tilaha tidak lagi sebatas celaka, tetapi sudah spesifik sebagai kemalangan karena kehilangan anak. Mengingat kata ini unik—dan salah satu syarat sebuah kata dapat menjadi bagian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dilihat dari keunikannya—hemat saya kata tilaha dan tilahaon berpotensi menjadi bagian dari KBBI, yang berarti keduanya menjadi kosakata baru bahasa Indonesia.
Riduan Situmorang, Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul, Humbang Hasundutan