Orang dengan Bipolar dapat Bekerja seperti Orang pada Umumnya
Asumsi bahwa orang dengan bipolar tidak dapat bekerja tidak bisa digeneralisasi dan butuh kajian mendalam. Dengan penanganan yang tepat, mereka dapat bekerja dan bersosialisasi layaknya orang pada umumnya.
Oleh
Agustinus Yoga Primantoro
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Orang dengan bipolar kerap mendapat stigma negatif dan dianggap tidak dapat bekerja secara normal. Dengan penanganan secara tepat dan dukungan dari orang sekitar, mereka dapat melakoni berbagai pekerjaan layaknya orang pada umumnya.
Dokter spesialis kedokteran jiwa di Rumah Sakit Abdul Radjak Cileungsi Pangeran Erickson Arthur Siahaan menyampaikan, stigma di masyarakat bahwa orang dengan bipolar atau ODB membahayakan itu keliru dan harus diluruskan. Mereka dapat kembali bekerja dan bersosialisasi layaknya orang pada umumnya jika mendapat penanganan yang tepat.
”Meski termasuk gangguan kejiwaan, ODB dapat dipulihkan melalui tata laksana yang baik seperti pengobatan, dukungan sosial, psikoterapi, dan rehabilitasi sosial. Mereka sama seperti seperti orang lain dalam hal bekerja dan berelasi. Pada saat fase akut, beberapa orang memang akan cenderung agresif, tapi itu hanya sebagian kecil saja dan tidak bisa digeneralisasi,” kata Erickson dalam seminar bertajuk ”Kenalan Lagi dengan Gangguan Bipolar" yang diadakan Bipolar Care Indonesia, di Jakarta, Minggu (2/4/2023).
Bipolar merupakan penyakit mental atau psikis akibat adanya gangguan fungsi otak yang ditandai dengan perubahan emosi secara ekstrem dan mendalam. Sesuai dengan penamaannya yang berarti dua kutub, ODB dapat mengalami perubahan emosi secara drastis, yakni dari kondisi senang atau sangat senang berubah menjadi sedih atau sangat sedih (depresif) pada periode tertentu.
Menurut Erickson, obat berperan penting untuk menstabilkan emosi pasien. Akan tetapi, pemulihan tidak melulu dengan pengobatan. ODB perlu mencari tahu faktor utama atau latar belakang penyebab terjadinya emosi yang tidak terkontrol melalui psikoterapi.
Asumsi bahwa orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) atau ODB tidak dapat bekerja, kata Erickson, memerlukan kajian lebih lanjut dan tidak bisa digeneralisasi. Di sisi lain, masyarakat termasuk para pemberi kerja, belum sepenuhnya memahami jika ODGJ bisa pulih dan memiliki kapasitas yang sama dengan orang pada umumnya.
"Bahkan, ada seorang dokter spesialis jiwa yang mengidap bipolar. Tapi, buktinya dia bisa bekerja. Sebagai seorang terapis, dia bisa mencapai potensi terbaiknya dengan pengobatan yang baik, coping mechanism yang baik, serta mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitarnya, sehingga dia masih bisa tetap bekerja,” lanjut Erickson.
Aktivis disabilitas, Agus Hasan Hidayat, menambahkan, orang dengan disabilitas mental psikososial memiliki payung hukum yang melindungi hak pekerjaan mereka. Peraturan Pemerintah Nomor 60/2O2O tentang Unit Layanan Disabilitas Bidang Ketenagakerjaan, menyebut, pemberi kerja atau pengusaha menjamin hak-hak pekerja disabilitas mental psikososial, salah satunya, memberikan kompensasi terhadap sesuatu yang beralasan.
”Misalnya, ODB yang bekerja meminta agar jam kerjanya dipakai untuk berobat dengan menukar jam istirahat. Selain itu, mereka juga bisa bernegosiasi pengerjaan tugas yang dirasa mendadak. Itu semua diawasi oleh Unit Layanan Disabilitas di setiap daerah agar ada penyesuaian antara peraturan perusahaan dan orang disabilitas psikososial,” kata Agus.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat 40 juta penduduk dunia yang terdiagnosis bipolar pada tahun 2019. Bipolar dapat meningkatkan keinginan untuk bunuh diri sebesar 15 kali lipat.
Berbeda dengan orang pada umumnya, perubahan emosi atau suasana hati yang dialami oleh ODB terjadi dalam jangka waktu tertentu atau dalam bahasa medis disebut episode. Dalam satu episode atau fase, ODB dapat merasa sangat sedih ataupun sangat senang tanpa ada alasan yang jelas dan berkepanjangan.
Gangguan mental dapat terlihat dari perilaku, perasaan, pola berpikir, dan cara seseorang berelasi. Oleh sebab itu, deteksi dini penting dilakukan sehingga orang yang mentalnya terganggu dapat segera mendapatkan pemulihan.
”Pada episode manik atau sangat senang ODB akan merasa memiliki energi berlebih, sangat kreatif, berbicara cepat, merasa hebat, bahkan berisiko melakukan tindakan berbahaya akibat halusinasi. Tapi, mereka juga bisa menjadi sangat sensitif, mudah marah, dan menyalahkan orang lain. Umumnya, episode ini bertahan selama seminggu,” kata Erickson.
Sebaliknya, ODB juga dapat mengalami kesedihan berlarut-larut atau disebut episode depresi. Selama sekitar dua minggu, ODB mulai merasa tidak minat, sulit tidur, hilang nafsu makan, sulit konsentrasi, merasa tidak berharga, bahkan muncul keinginan untuk bunuh diri dan berhalusinasi.
Selain itu, terdapat episode hipomanik, yakni kondisi yang mirip seperti episode manik, tapi dengan gejala yang lebih ringan. Episode ini dirasakan sebagai sesuatu yang baik dan jarang disadari oleh ODB sebagai sesuatu yang bermasalah.
Terdapat tiga diagnosis bipolar, yakni gangguan bipolar tipe I yang terdiri atas episode manik dan bisa juga disertai dengan episode hipomanik atau depresi. Lalu, gangguan bipolar tipe II terdiri atas episode hipomanik dan depresi tanpa adanya episode manik. Ketiga, gangguan siklotimik merupakan gangguan bipolar ringan yang terdiri atas episode hipomanik dan depresi.
”Terdapat beberapa faktor risiko bipolar, yakni biologi terkait genetik dari keluarga meski tidak berpengaruh 100 persen. Lalu, psikologi terkait perkembangan emosi individu. Selanjutnya, sosiostruktural terkait pola asuh dari orangtua, baik itu terlalu permisif maupun terlalu otoriter. Ada juga faktor trauma, seperti pelecehan, perundungan, dan sebagainya,” kata Erickson.
Gangguan mental dapat terlihat dari perilaku, perasaan, pola berpikir, dan cara seseorang berelasi. Oleh sebab itu, deteksi dini penting dilakukan sehingga orang yang mentalnya terganggu dapat segera mendapatkan pemulihan.
Pencegahan dan pemulihan gangguan mental dapat dilakukan dengan mengekspresikan perasaan, salah satunya dengan menggambar. Melalui gambar, seseorang dapat mencurahkan emosinya sekaligus memaknai apa yang dirasakannya.
Vindi Ariella, pegiat terapi seni sekaligus pendiri Bipolar Care Indonesia menjelaskan, aktivitas berkesenian memiliki efek untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan mental. Selain itu, cara ini cenderung lebih bebas, bisa dilakukan oleh siapa saja dan tidak berbentuk formal seperti pengobatan klinis.
”Menggambar bukan satu-satunya cara, setiap orang mempunyai caranya masing-masing untuk mengekspresikan diri. Secara biologis, menggambar dapat mengaktifkan sel saraf otak, relaksasi, serta meningkatkan endorfin atau hormon kegembiraan dan mengurangi kortisol atau hormon stres. Secara psikologis, seseorang dapat merasakan katarsis, refleksi diri, memberi efek penyembuhan, dan sebagainya," ujar Vindi.