Bahasa terbentuk sebagai reaksi manusia terhadap fenomena sosial dan kebutuhan memberi nama pada suatu hal atau perilaku.
Oleh
NUR HADI
·3 menit baca
Pembentukan bahasa salah satunya adalah akibat tingkah laku manusia itu sendiri. Ia timbul sebagai reaksi. Persis sebagaimana yang pernah diucapkan Sapardi Djoko Damono bahwa bahasa hanya bisa didapat lewat menirukan, sementara menulis hanya bisa didapat lewat membaca. Proses imitasi (meniru) itu tentu saja bisa kita baca sebagai proses mengekor atas fenomena sosial yang terjadi.
Anda mungkin masih ingat kasus Covid-19 saat pandemi lalu. Ada orang-orang yang sengaja masuk ke dalam ruangan pasien Covid-19 hanya demi membuktikan bahwa penyakit tersebut hanyalah bualan belaka. Ada lagi mereka yang menganggap pandemi korona merupakan konspirasi dari negara lain. Lantaran tindakan-tindakan itu merupakan kebodohan yang nyata, akhirnya muncullah nama covidiot untuk menyebut kelompok tersebut.
Di Jakarta, setiap menjelang Idul Fitri, juga kerap muncul fenomena berdatangannya ”manusia-manusia gerobak”. Mereka datang dari kota-kota sekitar, membawa gerobak, sekaligus menjadikannya rumah, demi mengemis, meminta belas kasihan dari orang-orang kota.
Bahasa hanya bisa didapat lewat menirukan, sementara menulis hanya bisa didapat lewat membaca.
Penamaan kelompok orang-orang ini jelas tak lepas dari tingkah laku mereka. Tingkah laku yang menjadi ciri khas hingga kemudian orang pun mengingatnya dengan ciri tersebut. Orang butuh nama untuk menyebut dan mengingat, dan kebutuhan inilah yang bisa kita sebut sebagai reaksi bahasa.
Panggilan ”cebong” dan ”kampret” yang masih berlangsung sampai kini menjadi contoh pas bahwa nama-nama tersebut memang sengaja dibuat sebagai reaksi di antara dua kubu yang tengah berseteru. Dengan tujuan yang beragam, proses reaksi bahasa tersebut kadang terjadi secara tidak disengaja.
Kita bisa mengutip pendapat Kloss, 1984 (melalui Sumarsono, 2002) perihal tiga faktor utama penyebab kepunahan bahasa. Kita bisa membacanya melalui cara terbalik. Bahwa salah satu faktor kelahiran bahasa adalah teknologi. Jika teknologi mampu memengaruhi kepunahan, teknologi berperan dalam kelahiran bahasa. Sebagai contoh riil yakni bahasa yang lahir dari warganet sebagai reaksi mereka atas kejadian sehari-hari yang lewat di beranda media sosial.
Anda mungkin pernah mendapati berbagai frasa atau ungkapan yang kadang terkesan lucu, susah dipahami (lantaran tak terhubung dengan kehidupan riil), mengandung sindiran, dan/atau malah terkesan tak berarti.
Namun, yang perlu diketahui, ungkapan atau frasa itu sering lahir dan terhubung dengan berita-berita yang tengah viral dan menjadi ”berita nasional”. Bisa saya ambilkan beberapa contoh: di luar galaksi, semoga harimu Senin semua, tetaplah tersenyum walaupun gigimu kuning, dan masih banyak lagi.
Frasa dan ungkapan tersebut ”takkan bisa hidup” di kehidupan sosial kita. Namun, kita tak bisa mengelak bahwa media sosial telah melahirkan bahkan memeliharanya—entah sampai kapan. Kelahiran frasa dan ungkapan-ungkapan baru itu sepertinya juga akan terus ada seiring berita-berita viral yang terus ada sebagaimana keterpeliharaannya selama warganet masih mengingat peristiwa yang terhubung dengannya.
Kita bisa saja tak menganggap penting frasa dan ungkapan yang terkesan main-main tersebut. Namun, tak bisa dimungkiri, di era dunia terlipat ini, warganet juga memiliki peran urgen dalam mendorong terbongkar atau terselesaikannya sebuah masalah.
Bahasa main-main itu bisa dijadikan senjata lebih aman ketimbang bahasa frontal yang malah bisa menjerat balik penggunanya. Dan itu juga merupakan bagian dari apa yang disebut ”reaksi bahasa”.