Membaca buku sejak dini dapat meningkatkan kesehatan mental anak, termasuk pengetahuan, empati, daya konsentrasi dan IQ, menurut Hesti Lestari dari UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Membaca buku saat anak-anak tidak sekadar meningkatkan kognisi yang meliputi proses menyerap pengetahuan, memahami, dan menganalisis. Hal ini juga membentuk pengalaman menyenangkan bagi anak yang mendukung kesehatan mental saat mereka remaja dan dewasa.
Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Tumbuh Kembang Pediatri Sosial Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Hesti Lestari, mengatakan, menumbuhkan minat baca pada anak perlu dilakukan sejak dini. Anak mulai belajar bahasa lisan ketika mendengar orang-orang di dekatnya berbicara, tertawa, dan bernyanyi.
Anak kemudian memahami bahasa tertulis saat mendengar orang dewasa membaca buku, koran, dan majalah. Pengalaman itu membangun memori menyenangkan yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak.
”Kebiasaan membaca saat anak-anak menjadi salah satu hal yang memengaruhi kesehatan mental di masa depan,” ujarnya dalam diskusi daring ”Mendorong Minat Baca Anak”, Kamis (7/12/2023).
Hesti menuturkan, orangtua sebaiknya meluangkan waktu membacakan buku pada anak. Setelah itu, membiasakan membaca bersama anak. Sebab, anak cenderung meniru kebiasaan orang-orang di dekatnya.
Aktivitas ini juga memperkuat ikatan emosional atau bonding antara orangtua dan anak. Jadi, upaya menumbuhkan minat baca sejalan dengan membangun interaksi berkualitas dengan anak.
”Saat mendongeng, misalnya, anak merasakan itu sebagai pengalaman menyenangkan. Apalagi kalau ceritanya memuat pesan-pesan moral, akan lebih baik lagi,” ucapnya.
Hesti menuturkan, membacakan buku pada anak sejak dini dapat meningkatkan skor kecerdasan atau IQ sebanyak enam poin. Sementara anak yang tidak diajak membaca cenderung mengalami keterlambatan pembelajaran di kelas.
Selain itu, kebiasaan membaca meningkatkan pengetahuan, empati, dan daya konsentrasi anak. Menurut dia, kemampuan membaca juga berkaitan dengan tingkat pendidikan suatu negara.
”Membacakan buku sejak dini bisa meningkatkan skill literatur dasar, perkembangan bahasa, dan keberhasilan akademis,” ucapnya.
Hesti mengatakan, upaya menumbuhkan minat baca memiliki sejumlah tahapan berdasarkan rentang usia anak. Anak usia 0-18 bulan, misalnya, diajak untuk meniru ucapan dan mencoba membalik halaman buku. Setelah itu, pada usia 18 bulan sampai 3 tahun, anak mengulang kalimat dari buku favorit atau yang disukai.
Saat anak berusia 3-5 tahun, orangtua mulai membacakan buku untuk anak. Kemudian mengajak anak untuk mencoba menulis huruf.
Membacakan buku pada anak sejak dini dapat meningkatkan skor kecerdasan atau IQ sebanyak enam poin. Sementara anak yang tidak diajak membaca cenderung mengalami keterlambatan pembelajaran di kelas.
Hesti menambahkan, keluarga merupakan panutan bagi anak dalam menanamkan kebiasaan membaca. Apalagi anak 4-5 tahun menghabiskan 89 persen waktunya di rumah.
”Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan orangtua membacakan buku pada anak sejak lahir. Semakin banyak paparan waktu membaca bersama berkorelasi dengan prestasi akademik,” katanya.
Ketua Umum IDAI Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, budaya literasi di Indonesia masih relatif rendah. Oleh karena itu, minat baca harus ditumbuhkan sejak anak-anak.
”Bagaimana mendorong minat baca yang tepat pada anak sehingga mereka suka dan hobi membaca. Pada saatnya kelak, mereka bisa menjadi generasi yang unggul melalui bacaan-bacaan berkualitas,” ujarnya.
Dua kutub
Menurut Piprim, terdapat dua ”kutub” orangtua di Indonesia terkait menumbuhkan minat baca. Pertama, tidak membudayakan membaca pada anak. Kelompok ini cenderung mendekatkan anak dengan gawai.
Kutub kedua, orangtua yang mengajarkan membaca pada anak terlalu dini. Padahal, sebaiknya dimulai dengan membacakan buku untuk anak sebelum mengajak anak membaca bersama.
”Oleh karena itu, kita perlu yang pertengahan. Bagaimana menumbuhkan minat baca dengan tahapan yang tepat sehingga kemampuan literasinya meningkat,” ucapnya.
Rendahnya tingkat literasi menjadi salah satu persoalan mendasar bagi pendidikan di Tanah Air. Hasil Asesmen Nasional 2021 menunjukkan satu dari dua siswa di Indonesia belum mencapai kompetensi minimum literasi.
Sebelumnya, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek Endang Aminudin Aziz mengutarakan, pihaknya berusaha meningkatkan semangat literasi. Salah satunya dengan menyebarkan 15,4 juta buku untuk pendidikan anak usia dini (PAUD) dan sekolah dasar (SD) ke seluruh Indonesia.
”Ini memang belum ideal jika dibandingkan dengan jumlah sekolah yang kita miliki, (buku yang disebar) ini baru sekitar 10 persen. Dengan anggaran tahun depan, mudah-mudahan tahun depan semua sekolah yang masuk kategori literasi level 1 dan 2 akan kebagian buku bacaan,” ujarnya (Kompas, 2/10/2023).