logo Kompas.id
Humaniora”Sek-sek”... Kami Hidup dan...
Iklan

”Sek-sek”... Kami Hidup dan Berguru dari Tenun

Motif tenun Pringgasela Selatan tidak saja indah, tetapi kaya akan pesan kehidupan yang terus dijaga bersama-sama agar tidak punah.

Oleh
ISMAIL ZAKARIA, SIWI YUNITA CAHYANINGRUM
· 8 menit baca
Ibu-ibu memajang kain tenun di depan rumahnya di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Selasa (19/12/2023).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Ibu-ibu memajang kain tenun di depan rumahnya di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Selasa (19/12/2023).

Tenun tidak hanya menopang ekonomi, tetapi juga menjadi pegangan hidup warga Pringgasela Selatan. Pada motif indahnya tersirat pesan kehidupan yang berharga. Tonggak budaya itu terus diwariskan secara turun-temurun dan dijaga bersama-sama agar tidak punah.

Kalimat ”Mun Ndek Ta Belajar Lekan Nengka, Punah Tenun Ta” yang berarti ”Jika Tidak Belajar dari Sekarang, Punah Tenun Kita” tertulis pada spanduk di dinding sebuah rumah di Dusun Gubuk Lauk, Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Minggu (17/12/2023). Di bawahnya, Halwa (10) dan belasan anak perempuan antusias belajar menenun.

Sore itu, Halwa fokus dengan alat tenun di hadapannya. Tanpa ragu, ia mengerjakan motif tenun yang ditugaskan. Tangannya dengan cekatan memasukkan benang pakan, lalu menarik dan mengentak-hentakkan belida, semacam kayu pipih, untuk merapatkan benang.

Suara ”sek- sek” yang terdengar saat Halwa mengentakkan belida, bercampur dengan riuh suara anak-anak. Ada yang sedang berdiskusi dengan teman, bertanya kepada guru, hingga mencoba berbagai proses menenun.

Seorang ibu menenun di halaman rumah di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Selasa (19/12/2023). Di Pringgasela Selatan ada sekitar 700 penenun, sebagian besar adalah ibu-ibu.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Seorang ibu menenun di halaman rumah di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Selasa (19/12/2023). Di Pringgasela Selatan ada sekitar 700 penenun, sebagian besar adalah ibu-ibu.

Para guru yang juga penenun senior dengan sabar mendampingi muridnya. Jika ada kesalahan, mereka memberi solusi dengan sabar, juga mempraktikkan teknik yang benar. Para pelajar menyimak dengan saksama. Orangtua yang datang mengantar sesekali berteriak menyemangati anak-anaknya.

Begitulah suasana di setiap kegiatan sekolah tenun Desa Pringgasela Selatan. Sekolah tenun itu diinisiasi oleh Kelompok Nina Penenun (Perempuan Penenun) sejak 2017.

”Tidak mungkin orang-orang tua yang umurnya sudah 60-70 tahun terus kita harapkan untuk menenun. Otomatis tenaganya sudang kurang, hasil menenun juga tidak maksimal. Jadi, kalau bukan dari kita yang regenerasi, tenun ini tidak ada yang meneruskan, (dan) pasti akan punah,” kata Sri Hartini (45), kepala sekolah sekaligus Ketua Kelompok ”Nina Penenun” Pringgasela Selatan.

Saat ini sudah ada 25 siswa di Sekolah Tenun Kelompok Nina Penenun. Mereka adalah anak-anak di Pringgasela Selatan yang rata-rata masih duduk di bangku SD hingga SMP. Sekolah tenun berlangsung dua kali seminggu dari pukul 14.00 sampai pukul 17.00.

Baca juga: Sri Hartini, Pejuang Tenun Pringgasela Selatan

Suasana belajar tenun di Sekolah Tenun Kelompok Nina Penenun di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Minggu (17/12/2023).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Suasana belajar tenun di Sekolah Tenun Kelompok Nina Penenun di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Minggu (17/12/2023).

Sri mengatakan, ada tujuh materi yang diajarkan. Seluruhnya adalah proses menenun, mulai dari mempersiapkan benang hingga membuat tenun. Seperti nenasin atau membasahi benang dengan air tajin agar kuat, memuyun (memintal benang), menghane atau membentuk motif, nyusuk suri (memasukkan benang ke sisir tenun), begulung (menggulung benang), meleting atau menggulung benang pakan, dan menenun.

Sebelum terpusat, setiap proses dipelajari secara terpisah. Mereka mengajak pelajar ke rumah-rumah penenun yang bisa mengajarkan proses-proses itu. Namun, hal itu dinilai tidak efektif sehingga dijadikan satu tempat.

Terkait biaya, sekolah tenun gratis. Seluruh kebutuhan dari peralatan hingga pengajar disiapkan Kelompok Nina Penenun. Pelajar tinggal datang dan mengikuti setiap pelajaran yang diberikan.

Baca juga; Nyiru Jajang Bejakongan Puncak Festival Dongdala Berlangsung Meriah

Seorang ibu memandu anak-anak belajar menenun di Sekolah Tenun Kelompok Nina Penenun di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Minggu (17/12/2023).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Seorang ibu memandu anak-anak belajar menenun di Sekolah Tenun Kelompok Nina Penenun di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Minggu (17/12/2023).

Keseharian

Sekolah tenun adalah salah satu upaya melestarikan tenun di Pringgasela Selatan. Sebab, tenun telah menjadi bagian tidak terpisahkan bagi kehidupan masyarakat desa itu. Tenun tidak hanya menjadi sumber ekonomi, tetapi juga budaya yang diwariskan turun-temurun.

”Memang susah. Namun, saya semangat mau belajar menenun karena mau seperti ibu yang juga penenun. Jadi, selain belajar di sini (sekolah tenun), saya juga belajar sama ibu di rumah,” tutur Halwa.

Saat ini, ada sekitar 700 penenun di desa yang berada 40 kilometer arah timur Mataram, ibu kota NTB, itu. Jika digabung dengan dua desa lain, seperti Pringgasela dan Pringgasela Timur, jumlahnya bisa mencapai 4.000 penenun.

Sejak pagi, kegiatan di desa itu sudah berlangsung. Jika blusukan ke sana, akan mudah ditemui perempuan-perempuan yang sedang menenun di beranda rumah masing-masing. Suara ”tek-tek” dari alat tenun terdengar sepanjang pagi hingga malam. ”Saya sedang menenun ragi (motif) Bayanan,” sebut Raehan (48), warga Gubuk Lauk, Pringgasela Selatan, Selasa siang.

Baca: Festival Budaya Menggerakkan Ekonomi Desa

Warna-warni benang yang digunakan sebagai bahan tenun di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Selasa (19/12/2023).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Warna-warni benang yang digunakan sebagai bahan tenun di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Selasa (19/12/2023).

Selain menenun sendiri, penenun di Pringgasela Selatan mulai tergabung dalam Kelompok Nina Penenun yang dibentuk sejak 2017. Berkat kelompok ini, mereka semakin mendapat akses ke pasar sehingga produk mereka semakin bernilai.

Sebelumnya, mereka harus rela melepas tenunnya dengan harga murah karena kebutuhan hidup. Bahkan, mereka sampai terjerat rentenir. Harga tenun bisa jatuh hingga Rp 150.000 per lembar. Kini, tenun mereka bisa bernilai lebih dari Rp 400.000 hingga jutaan rupiah per lembar.

Tidak hanya urusan pemasaran, kelompok ini juga mendorong anggotanya menggunakan pewarna alami yang ramah lingkungan. Sempat tebersit keinginan untuk kembali menggunakan benang dari kapas seperti pendahulu mereka di tenun. Sayangnya, kapas sudah hampir tidak bisa ditemukan lagi dan prosesnya juga sangat panjang.

Tradisi menenun sebenarnya telah lama ada di sana, bahkan tidak bisa dilepaskan dari sejarah Pringgasela Selatan. Ada sejumlah versi yang berkembang, seperti versi Lebai Nursini hingga Tenun Tanaq Gadang.

Iklan

Lihat juga: Menyusuri Pesona Alam Pringgasela

Kain tenun yang dihasilkan ibu-ibu dari Kelompok Nina Penenun di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Minggu (17/12/2023).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Kain tenun yang dihasilkan ibu-ibu dari Kelompok Nina Penenun di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Minggu (17/12/2023).

Hasil kajian Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, NTB, NTT, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang dipublikasikan pada 2020 mencatat, tenun di Pringgasela (sebelum mekar menjadi empat desa) telah muncul pada 1522.

Kemunculan tenun di Pringgasela bersamaan dengan penyebaran agama Islam oleh seorang tokoh bernama Lebai Nursini. Tokoh itu tidak hanya mengajarkan agama Islam, tetapi juga cara bertani dan menenun.

Menurut kajian itu, Lebai Nusrini juga peletak dasar tenun dengan benang dari kapas dan pewarna alam di Pringgasela. Hingga saat ini, kain tenun yang dibuat oleh Lebai Nursini masih tersimpan sebagai pusaka leluhur Pringgasela yang disebut Reragian.

Selain tenun buatan Lebai Nursini, ada juga umbul-umbul berusia lebih hampir 288 tahun yang terbuat dari rajutan tenun. Umbul-umbul itu digunakan dalam tradisi Boteng Tunggul.

Tradisi Boteng Tunggul adalah cara mengumpulkan warga untuk menyampaikan berita di masa lalu, baik itu berita buruk maupun bahagia seperti meninggalnya pemimpin atau terpilihnya pemimpin baru. Tradisi ini juga berfungsi menyampaikan situasi berbahaya.

Benang dan peralatan tenun lain yang akan digunakan untuk menenun di Sekolah Tenun Kelompok Nina Penenun di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Minggu (17/12/2023).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Benang dan peralatan tenun lain yang akan digunakan untuk menenun di Sekolah Tenun Kelompok Nina Penenun di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Minggu (17/12/2023).

Menurut Pendamping Kebudayaan Desa (Daya Desa) Pringgasela Selatan, Nizar Azhari, cerita Lebai Nursini adalah salah satu versi tentang sejarah terkait tenun di Pringgasela Selatan. Ada juga versi lain yang meyakini bahwa tenun Pringgasela Selatan telah ada sebelum Lebai Mursini datang ke sana.

Menurut versi ini, tenun Pringgasela Selatan berakar dari Tenun Tanaq Gadang, salah satu trah di Pringgasela saat ini. Hal itu karena banyak tenun-tenun tua berusia ratusan tahun yang disimpan komunitas masyarakat trah Tanaq Gadang, memiliki motif sama dengan tenun yang ada di Pringgasela Selatan saat ini.

Penggalian

Menurut Nizar, tenun adalah budaya yang tetap hidup saat potensi budaya lain di Pringgasela Selatan mati suri. Tenun memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan sejarah desa. Tak dimungkiri, kini tenun Pringgasela Selatan tengah mencari jati diri, terutama dalam mengungkap filosofi di balik kekayaan motifnya.

Hal itu membuat Nizar dan kawan-kawannya terus menggali berbagai hal terkait tenun, mulai dari sejarah, motif-motif, hingga filosofinya. Eksplorasi ini dilakukan di Pringgasela Selatan yang kini menjadi salah satu sentra tenun.

Panitia membantu anak-anak mengenakan kain batik dan tenun sebelum mengikuti lomba permainan tradisional selodor di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Minggu (17/12/2023).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Panitia membantu anak-anak mengenakan kain batik dan tenun sebelum mengikuti lomba permainan tradisional selodor di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Minggu (17/12/2023).

Penggalian itu berlangsung seiring dengan upaya pengembangan Pringgasela Selatan sebagai Desa Budaya. Sejak 2021, di Pringgasela Selatan rutin digelar Festival Dongdala yang mengangkat tenun sebagai salah satu unggulan utama.

Festival Dongdala adalah salah satu bagian dari gerakan Pemajuan Kebudayaan Desa yang menjadi program prioritas Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek. Tahun ini, festival ini digelar pada 16-23 Desember 2023.

Penggalian kekayaan tenun Pringgasela Selatan dilakukan mulai dari studi pustaka di internet hingga bertemu langsung dengan para penenun yang telah sepuh. ”Kami mencoba membuka kunci itu dari nama motifnya dulu, dari sisi linguistik. Karena tidak bisa kita mungkiri, penamaan leluhur kita dulu itu sangat sakral,” kata Nizar.

Baca juga: Puncak Apresiasi Desa Budaya 2023

Tangan berkerut dari salah satu penenun senior di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Minggu (17/12/2023).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Tangan berkerut dari salah satu penenun senior di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Minggu (17/12/2023).

Upaya ini tidak mudah, terutama karena kajian-kajian yang tidak mendalam serta terbatasnya ingatan para sesepuh tenun. Meski demikian, Nizar dan kawan-kawan saat ini sudah banyak menggali hal-hal penting.

Puncuk rebung misalnya mengandung pesan untuk memelihara anak sejak dini. Ketika besar, mereka bisa kuat menjalani hidup seperti bambu yang kuat menghadapi terpaan angin kencang,

Misalnya tentang golongan motif atau ragi tenun yang terbagi menjadi tiga, yakni lelangit, gumi, dan menusa. Tenun lelangit menggambarkan hubungan antara manusia dan Tuhan yang kuat. Sementara tenun gumi menggambarkan hubungan manusia dengan alam atau lingkungan. Adapun tenun menusa menggambarkan hubungan antarsesama manusia.

Seorang ibu membuat motif tenun (<i>ngerane</i>) di rumahnya di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Selasa (19/12/2023).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Seorang ibu membuat motif tenun (ngerane) di rumahnya di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Selasa (19/12/2023).

Dari golongan itu, Nizar menemukan ragam motif dengan filosofi yang dalam dan mengandung nilai-nilai kehidupan bagi manusia. Nizar mencontohkan golongan ragi lelangit, seperti ragiosap, yang dalam bahasa Sasak (suku asli Lombok) berarti dibersihkan atau penyucian.

Sementara ragi gumi, misalnya Pucuk Rebung, Sundawa, hingga Sri Mananti. ”Puncuk rebung misalnya mengandung pesan untuk memelihara anak sejak dini. Ketika besar, mereka bisa kuat menjalani hidup seperti bambu yang kuat menghadapi terpaan angin kencang,” kata Nizar.

Sementara itu, sundawa terinspirasi dari sungai besar di Pringgasela. Motif ini berpesan tentang pelestarian sumber mata air. Pesan itu sejalan dengan tema Festival Dongdala, ”Sasaq Sela Nggisin Bumi”, yang berarti upaya terus-menerus untuk bersama merawat bumi.

Ibu-ibu memajang kain tenun di depan rumahnya di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Selasa (19/12/2023).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Ibu-ibu memajang kain tenun di depan rumahnya di Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Selasa (19/12/2023).

Adapun contoh motif menusa misalnya ragi bayan dan sunda. ”Ragi bayan menggambarkan kedekatan emosional antara Pringgasela dan Bayan. Nenek moyang kami dulu selalu ke Bayan, begitu pun sebaliknya. Pringgasela dan Bayan sama-sama dua desa tertua yang dipisahkan oleh Gunung Rinjani. Lewat motif ini, kami ingat punya hubungan sama orang Bayan,” kata Nizar.

Pesan-pesan kehidupan yang tergambar di motif tenun Pringgasela Selatan adalah warisan berharga yang harus dijaga, sama seperti menjaga tenun itu sendiri. Kelompok Nina Penenun, Nizar, dan kawan-kawan terus mendedikasikan waktu dan tenaga mereka untuk itu. Ini adalah ikhtiar agar tenun Pringgasela Selatan yang menjadi sumber ekonomi dan pegangan hidup tidak punah.

Dari tenun, mereka hidup dan berguru...

Editor:
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000