Perkawinan anak harus dicegah dan dihentikan karena akan menjadi bom waktu yang merusak masa depan anak.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya penghapusan dan pencegahan perkawinan anak di Indonesia harus terus dilakukan. Meski secara statistik angka perkawinan anak terus menurun dalam tiga tahun terakhir (2021-2023) dari 10,35 persen menjadi 6,92 persen, masih banyak kasus perkawinan anak yang tidak tercatat.
Setelah meluncurkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) pada tahun 2020, kini pemerintah menerbitkan Panduan Praktis Pelaksanaan Stranas PPA di Daerah. Harapannya, dengan adanya panduan tersebut, upaya-upaya pencegahan dan penghapusan perkawinan anak di setiap daerah semakin gencar dilakukan.
”Dalam implementasi panduan Stranas PPA untuk menurunkan angka perkawinan anak, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Penting adanya sinergi dan kolaborasi bersama unsur-unsur pemangku kepentingan dari tingkat provinsi sampai tingkat desa,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati dalam sambutan secara daring peluncuran Panduan Praktis Pelaksanaan Stranas PPA di Daerah, Selasa (30/4/2024), di Jakarta.
Menteri PPPA menegaskan, perkawinan anak melanggar hak anak dan merupakan isu kompleks dengan faktor penyebab yang beragam serta memberikan banyak dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dari sisi kesehatan, psikologis, ekonomi, pendidikan, sosial, serta adanya potensi mengalami berbagai tindak kekerasan.
Karena itulah Stranas PPA diterbitkan untuk menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, hak tumbuh dan berkembang, serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, serta sebagai langkah konkret untuk menurunkan angka perkawinan anak.
Stranas PPA yang disusun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas bersama Kementerian PPPA yang didukung mitra terdiri atas lima strategi utama, yaitu optimalisasi kapasitas anak; lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak; aksesibilitas dan perluasan layanan; penguatan regulasi dan kelembagaan; serta penguatan koordinasi pemangku kepentingan.
Peluncuran Panduan Praktis Stranas PPA dihadiri Woro Srihastuti Sulistyaningrum (Deputi Bidang Koordinasi Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda), Pribudiarta Nur Sitepu (Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian PPPA), Suharyanto (Pelaksana Harian Direktur Sinkronisasi Urusan Pemerintahan Daerah IV Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri), Sanchi Davis (First Secretary for Development Cooperation, Australian Embassy Jakarta), dan Feker Bayoudh (Deputy Representative Operations Unicef).
Woro menyatakan, penurunan angka statistik perkawinan anak yang mendekati target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2020 patut diapresiasi. ”Secara statistik memang sudah turun angkanya. Hanya sayangnya kita juga tentu harus melihat bahwa kasus perkawinan anak juga ada yang tidak tercatat. Jadi artinya secara statistik mungkin belum terekam,” paparnya.
Karena itulah dia mengajak semua pihak di daerah untuk menerapkan Stranas PPA dengan panduan praktis di daerah serta menuangkan dalam rencana-rencana aksi di tingkat daerah sesuai kondisi dan karakteristik masing-masing.
”Kalau pertanyaannya tadi, apakah dari Stranas sudah ada dampaknya, saya melihatnya ada. Jadi di banyak daerah, walau belum ada panduan praktis pada waktu itu, mereka secara otomatis langsung mencoba menerapkan Stranas PPA, apakah dalam bentuk strategi daerah ataupun rencana aksi daerah,” kata Woro.
Tak hanya itu, sejumlah daerah juga melakukan berbagai inovasi untuk bisa menurunkan angka perkawinan anak, misalnya di Sulawesi Selatan. Namun, tantangan yang dihadapi adalah masih ada kasus perkawinan anak yang belum tercatat sehingga secara statistik masih tersembunyi.
”Makanya kami bersama-sama dengan Kementerian PPPA menyiapkan panduan praktis, sebenarnya lebih untuk meningkatkan lagi awareness dari pemerintah daerah, untuk melihat sebenarnya situasi di daerah masing-masing seperti apa terkait dengan perkawinan anak,” ujarnya.
Pemerintah daerah harus terus didorong tidak hanya satu isu perkawinan anak, tetapi juga harus dikaitkan dengan semua isu, seperti tengkes, kematian ibu dan anak, kemiskinan, dan pendidikan.
Selain peluncuran panduan strategis, pada acara tersebut juga digelar diskusi menampilkan sejumlah pembicara, antara lain Aidy Furgan, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nusa Tenggara Barat yang berbagi cerita baik sekolah terbuka di NTB sebagai pemenuhan hak dalam penanganan anak yang berisiko perkawinan.
Aidy menceritakan tentang Program SMA Terbuka NTB yang merupakan solusi darurat bagi anak putus sekolah dan anak tidak sekolah yang melampaui usia sekolah. Adapun strategi pembelajarannya adalah dengan pola terbuka (layanan pembelajaran yang diintegrasikan langsung pada sekolah reguler), pembelajaran yang dilaksanakan di tempat kegiatan belajar yang berada di luar sekolah induk, pembelajaran dengan sistem guru kunjung, serta pembelajaran luring dan daring.