Setelah serangan tawon yang mematikan, kini warga di Jakarta dan kota-kota lain di Jawa menghadapi ledakan populasi anak-anak ular kobra. Hal itu menandai perubahan lingkungan yang memicu ketidakseimbangan ekosistem.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
Setelah serangan tawon yang mematikan, kini warga di Jakarta dan kota-kota lain di Jawa menghadapi ledakan populasi anak-anak ular kobra di sekitar tempat tinggal mereka. Kasus ini menandai terjadinya perubahan lingkungan yang memicu ketidakseimbangan ekosistem.
Ledakan serangan tawon (Vespa affinis)telah terjadi pada tahun 2017 di Klaten, Jawa Tengah. Data yang dikompilasi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut, pada tahun 2017-2018, sebanyak 36 orang di Klaten disengat serangga yang kerap disebut tawon ndas (dari bahasa Jawa artinya kepala) ini dan 7 orang di antaranya meninggal dunia.
Tahun 2019 ini, serangan mematikan tawon terjadi di banyak daerah. Baru-baru ini, Sutarma (74), warga Bekasi yang diserang tawon pada Rabu (11/12/2019) lalu akhirnya meninggal dunia. Sebelumnya, pada 24 Nobember 2019, pasangan suami istri Suwaryo (62) dan Endriyati (45) dari Pemalang, tewas diserang kawanan tawon saat melintasi areal pemakaman seusai pulang dari sawah.
Armi Fauzi (11) siswa SDN Samarang 1 asal Kampung Nangela, Desa Cikedokan, Garut tewas disengat tawon pada 20 November. Sementara di Krandon, Kota Tegal, Carmi (75) tewas disengat tawon pada 19 November 2019. Sehari sebelumnya, Japar (49), petani di Desa Kenongosari, Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, meninggal tersengat tawon. Sejumlah serangan tawon juga dilaporkan terjadi di daerah-daerah lain meski tak memicu korban jiwa.
Tawon biasanya menyerang secara keroyokan. Saat salah satu anggota kawan ini menyerang, dia akan mengeluarkan feromon, yang membuat kawanannya turut menyerbu. Racunnya bersifat hemolisis dan bisa memicu serangan gagal ginjal, kerusakan otot, kerusakan hati hingga kelainan koagulasi.
"Seperti ular, populasi tawon akan meningkat di awal musim hujan, sekitar November hingga Desember. Tetapi, belakangan memang kasus serangan tawon cenderung meningkat," kata Cahyo Rahmadi, Kepala Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Selasa (18/12/2019).
Seperti ular, populasi tawon akan meningkat di awal musim hujan, sekitar November hingga Desember. Tetapi, belakangan memang kasus serangan tawon cenderung meningkat.
Cahyo mengatakan, tawon merupakan pemangsa yang bisa hidup di mana saja sepanjang pakannya tersedia. Makanan alaminya ulat atau larva serangga lain, termasuk juga belatung. "Belakangan kami perhatikan, orang buang sampah di mana-mana dan itu memicu ledakan populasi tawon. Banyak belatung dan larva serangga di sampah sehingga koloni tawon bisa berkembang di mana-mana, termasuk di sekitar perumahan," kata dia.
Pada saat bersamaan, predator alami yang bisa mengontrol populasi tawon telah berkurang. Predator alami tawon adalah burung-burung pemakan serangga, di antaranya sikep madu Asia dan jalak. "Dengan hilangnya predator sementara pakan tersedia, maka terjadi ledakan populasi tawon di sekitar hunian," ujarnya.
Pertambahnya populasi tawon yang hidup di sekitar manusia ini membuat kasus serangan tawon meningkat cukup tinggi. Tawon bisa sangat agresif, dia akan menyerang jika merasa terganggu oleh warna yang menyolok atau bau. Cahyo menyarankan, warga sebaiknya tidak memindahkan sarang tawon di dekatnya, namun menghubungi pemadam kebakaran untuk meminta pertolongan.
Keseimbangan Ekosistem
Fenomena merebaknya anak-anak ular kobra Jawa atau ular sendok (Naja sputatrix) di Jakarta dan sekitarnya, memiliki akar masalah serupa dengan tawon, yaitu terganggunya keseimbangan ekosistem.
Amir Hamidy peneliti herpetologi Pusat Penelitian LIPI mengatakan, spesies ular kobra Jawa memiliki daya adaptasi yang bagus terhadap lingkungan. Dia bisa hidup di persawahan, tegalan, dan permukiman. Reptil yang bisa mengeluarkan bisa melalui patukan maupun semburan ini juga bisa beraktivitas pada malam dan siang hari.
"Ular sendok ini memang asli Jawa. Banyak permukiman saat ini dulu mungkin habitat dia. Karena adaptasinya bagus, walaupun lingkungan sudah berubah jadi permukiman, namun karena pakannya juga banyak, ular kobra akan berkembang biak," kata dia.
Seekor ular kobra sudah bisa bereproduksi setelah berumur 1,5 - 2 tahun. Dengan periode hidup 20-25 tahun dan satu tahun rata-rata bisa bertelur 10-20 butir, kemungkinan ledakan populasinya sangat tinggi.
"Di awal musim hujan begini memang saat musim menetas telur kobra. Biasanya indukan akan meletakkan telur di kawasan yang lembab dan gelap di sekitar rumah atau pekarangan, kemudian ditinggal pergi dan menetas tiga atau empat bulan kemudian," kata dia
Kobra yang baru menetas sudah memiliki bisa sehingga dapat menangkap mangsa kecil seperti katak dan anak tikus. Tahun-tahun sebelumnya juga banyak temuan anakan kobra, meski tidak sebanyak saat ini. "Tahun lalu juga ditemukan anakan ular kobra di kantor LIPI Cibinong. Hanya tahun ini laporan cukup banyak di sekitar Jakarta, jadi kemungkinan saat ini ada ledakan populasi anakan," ungkapnya.
Anakan populasi ular kobra ini akan terseleksi. "Kalau sekarang kita tidak bisa mengendalikan populasinya, sedangkan predator alaminya sudah tidak ada, peluang terjadi ledakan populasi kobra baru terlihat 1,5 - 2 tahun," kata dia.
Sekalipun banyak laporan temuan anakan ular kobra, sejauh ini kasus dipatuk kobra relatif jarang. Kobra Jawa ini berbeda dengan king kobra atau ular tedung (Ophiophagus hannah) yang menewaskan pemiliknya di Depok pada 6 November 2019 lalu. Meski sama-sama menyandang kobra, keduanya memiliki perbedaan spesies, bahkan genus. King kobra paling banyak dipelihara untuk dijadikan atraksi dan telah banyak menelan korban jiwa.
Di sisi lain, keberadaan ular kobra yang berkeliaran di sekitar kita ini juga membantu mengendalikan populasi hama tikus. Jika ular-ular ini dibasmi, bisa terjadi ledakan populasi tikus ke depan. Alam memang pengatur yang paling baik, namun manusia kerap mengacaukannya.