Pangan lokal kaya akan gizi dan nutrisi yang baik bagi masyarakat. Dengan pemanfaatan teknologi, pengolahan pangan lokal bisa semakin mudah. Konsumsi masyarakat pun diharapkan meningkat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tingginya angka tengkes di Indonesia menjadi ironi di tengah kekayaan sumber pangan lokal bernutrisi tinggi di masyarakat. Hal itu disebabkan keterbatasan sistem pengolahan makanan. Untuk mengatasi masalah itu, inovasi teknologi perlu dimanfaatkan lebih optimal.
Guru Besar Teknologi Pangan dan Gizi Universitas Hasanuddin Abu Bakar Tawali mengatakan, keberagaman sumber pangan seharusnya bisa mengatasi persoalan malnutrisi, termasuk tengkes atau stunting di Indonesia. Tengkes merupakan gagal tumbuh kembang akibat kurang gizi kronis.
Namun, konsumsi pangan masyarakat hingga kini masih didominasi pada produk serealia atau nasi dan tepung terigu. Padahal, sumber pangan yang tersedia di masyarakat sangat beragam.
”Sumber karbohidrat di Indonesia saja ada 77 jenis. Itu juga pada sumber protein hewani yang melimpah, terutama dari jenis ikan. Kita juga memiliki banyak jenis pangan lokal,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Upaya Pencegahan Stunting Berbasis Makanan”, yang diikuti dari Jakarta, Selasa (7/9/2021).
Menurut dia, sumber pangan lokal memiliki berbagai kelebihan, antara lain bahan baku yang mudah diperoleh, harga relatif murah, lebih alami, sudah dikenal, dan sesuai dengan pola makan masyarakat. Namun, pangan lokal juga memiliki kelemahan seperti kurang praktis dan butuh waktu lama untuk pengolahan atau penyajian, cara penyajian kurang menarik, variasi penyajian terbatas, dan kemasan kurang menarik.
Adapun jenis pangan lokal tersebut seperti kapurung yang terbuat dari sagu, sayur, serta ikan, jagung bose, papeda, serta kina gandu. Sebagian masyarakat mulai meninggalkan pangan lokal tersebut dan beralih ke beras.
Abu Bakar mengatakan, teknologi tepat guna seharusnya bisa lebih dimaksimalkan untuk meningkatkan kembali konsumsi pangan lokal. Melalui teknologi, produk antara atau produk bahan baku praktis bisa dihasilkan, contohnya seperti produk jagung sosoh pratanak.
Produk ini merupakan produk jagung yang sudah diproses sehingga lebih praktis dan menarik untuk diolah lebih lanjut. Berbagai olahan makanan yang bisa dibuat antara lain bassang yang menjadi makanan tradisional Sulawesi Selatan, sop jagung, bubur jagung, dan nasi jagung.
Menurut Abu Bakar, teknologi tepat guna juga bisa diaplikasikan untuk mengolah sumber pangan protein hewani. Dengan teknologi ini, ikan gabus berbau amis dan bentuk tak menarik bisa diolah jadi ekstraksi atau suplemen pangan, abon, kue kering, dan serabi. Ikan gabus memiliki kandungan protein baik yang jika diolah dengan baik maka kandungan itu terjaga dengan baik.
”Sentuhan teknologi tanpa mengubah nilai ketradisionalan dan kekhasan pangan lokal sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kepraktisan, memperbaiki penampilan, dan nilai gizi dari pangan tersebut. Produk pangan lokal dengan teknologi ini juga diharapkan bisa mengatasi persoalan gizi terutama stunting di daerah,” tutur Abu Bakar.
Ketua Program Studi Teknologi Pangan Universitas Pelita Harapan W Donald R Pokatong menambahkan, teknologi pangan untuk mengolah sumber pangan hewani dan nabati dapat menggunakan teknologi khusus ataupun umum. Teknologi khusus yang digunakan bergantung pada karakteristik dari bahan pangan yang akan diolah, misalnya dengan teknik fermentasi, pengasinan, atau penambahan bahan tambahan pangan.
Teknologi pangan juga bisa dimanfaatkan sebagai pengawetan makanan dengan metode pengawetan suhu rendah, pengawetan suhu tinggi, pengawetan dengan pengeringan, dan pengawetan dengan bahan kimia. Dengan diawetkan, pangan lokal bisa lebih tahan lama tanpa menghilangkan nilai gizi di dalamnya.
”Pangan lokal memiliki nilai strategis dalam sistem pangan nasional dan internasional. Adopsi teknologi pangan dalam pengembangan produk berbasis pangan lokal perlu terus ditingkatkan dengan menerapkan best practices bagi pelaku usaha yang mengembangkannya. Diharapkan, ketahanan pangan juga bisa tercapai,” kata Donald.
Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Kementerian Pertanian Andriko Noto Susanto mengutarakan, Kementerian Pertanian menyiapkan strategi untuk mendukung ketahanan pangan nasional guna menekan angka tengkes di Indonesia. Strategi tersebut dengan memastikan ketersediaan, keterjangkauan, serta konsumsi pangan sehat dan bergizi bagi masyarakat.
Salah satu langkah yang dilakukan melalui diversifikasi pangan. Pemerintah menargetkan agar konsumsi beras di masyarakat bisa menurun diikuti dengan peningkatan konsumsi pangan non-beras seperti ubi kayu, jagung, sagu, kentang, pisang, dan talas.
Pangan olahan
Staf Departemen Ilmu Kesehatan Anak Konsultan Nutrisi Pediatri dan Penyakit Metabolik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr Soetomo Surabaya Nur Aisiyah Widjaja memaparkan, pangan olahan dapat dimanfaatkan pula untuk keperluan medis khusus sebagai tata laksana dan pencegahan gizi buruk serta tengkes. Intervensi dengan pangan olahan ini bisa diberikan sebagai intervensi 1.000 hari pertama kehidupan, yakni mulai dari dalam kandungan sampai anak berusia dua tahun.
”Jika didapatkan anak berperawakan pendek terutama pada usia kurang dari dua tahun, segera berikan intervensi spesifik. Intervensi spesifik tumbuh kejar bisa diberikan dengan pemberian MPASI (makanan pendamping ASI) yang adekuat dengan protein hewani disertai PKMK ONS (pangan olahan untuk keperluan medis khusus dalam bentuk suplemen nutrisi oral),” kata Nur.
Sentuhan teknologi tanpa mengubah nilai ketradisionalan dan kekhasan pangan lokal dibutuhkan untuk meningkatkan kepraktisan, memperbaiki penampilan, dan nilai gizi dari pangan tersebut.
Riset Kesehatan Dasar mencatat, prevalensi tengkes di Indonesia pada 2018 mencapai 30,8 persen. Jumlah ini menurun pada 2019 menjadi 27,2 persen. Daerah dengan kasus tengkes tertinggi ialah Nusa Tenggara Timur (43,8 persen), Sulawesi Barat (40,4 persen), dan Aceh (34,2 persen).
Nur menjelaskan, tengkes terjadi karena kondisi kekurangan gizi kronis, terutama saat 1.000 hari pertama kehidupan. Sekitar 11,2 persen tengkes terjadi dalam kandungan karena kekurangan nutrisi pada ibu hamil ataupun kelainan bawaan. Sementara itu, 60,6 persen tengkes terjadi pada bayi baru lahir sampai anak usia dua tahun, serta 28 persen terjadi pada anak usia 2-5 tahun.