JAKARTA, KOMPAS — Kecenderungan diskriminatif atas produk kelapa sawit Indonesia oleh Uni Eropa dinilai tidak akan menguntungkan kedua pihak. Direktur Perdagangan, Komuditas, dan Kekayaan Intelektual Kementerian Luar Negeri Tri Purnajaya, Rabu (10/4/2019), mengatakan, Indonesia siap menuntut UE di lembaga penyelesaian sengketa (DSB) Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) jika Parlemen Eropa mengadopsi kebijakan yang diskriminatif.
Indonesia tengah bersemuka dengan UE setelah UE berencana mengurangi bahan bakar nabati berbasis sawit. Pada 13 Maret 2019, Komisi Eropa mengadopsi aturan pelaksanaan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II). Dokumen RED II, antara lain, berisi tidak direkomendasikannya minyak sawit mentah sebagai bahan bakar nabati di wilayah UE. Jika tak ada keberatan Parlemen Eropa dan Dewan Eropa hingga dua bulan setelah RED II diadopsi, aturan itu disahkan.
Tri mengatakan, saat ini Indonesia tengah merundingkan perjanjian dagang komprehensif (CEPA) dengan UE. ”Pemerintah akan memastikan dalam proses negosiasi CEPA, produk andalan ekspor, seperti kelapa sawit dan turunannya, mendapatkan akses semakin besar. Indonesia tidak bisa menerima apabila kelapa sawit dikecualikan dari perundingan,” ujarnya.
Saat ini nilai perdagangan Indonesia-UE terus meningkat, yakni 25,2 miliar dollar AS pada 2017 dan 31,2 miliar dollar AS pada 2018, dan Indonesia selalu mencatat surplus.
Dihubungi terpisah, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh selaku Wakil Tetap RI untuk PBB, dan WTO di Geneva, Swiss, Hasan Kleib, mengatakan, isu diskriminasi sawit telah berada di meja Komite Hambatan Teknis untuk Perdagangan (TBT) yang berada di bawah agenda Urusan Perdagangan Khusus (STC) karena belum menjadi perhatian UE.
”Kalau nanti sudah ditetapkan atau disahkan, bisa dibawa ke DSB di WTO dengan pembentukan panel untuk mengkaji bahwa kebijakan tersebut melanggar ketentuan-ketentuan WTO. Kita sudah beberapa kali angkat di bawah agenda STC dari komite TBT,” kata Hasan Kleib.
Dialog
Di sisi lain, isu lingkungan dan perbaikan tata kelola industri perkebunan sawit perlu diperhatikan secara serius. Kontroversi pasca-sikap UE mengeluarkan minyak nabati sawit dari sumber energi terbarukan harus menjadi momen para pihak bekerja sama membenahi citra minyak sawit.
Pada satu sisi, pemerintah dan kalangan industri melobi soal sawit dengan dalih diskriminasi minyak sawit dan pemiskinan. Sawit adalah komoditas penting Indonesia dari sisi devisa ataupun tenaga kerja. Di sisi lain, beberapa organisasi sipil pun melobi UE terkait perluasan kebun sawit yang mengakibatkan penggundulan hutan dan penggusuran masyarakat tradisional atau adat.
”Saatnya duduk bersama melihat sawit secara obyektif. Kalau konflik (kontroversi) di antara kita sendiri, yang tertawa pihak luar,” kata Sandrayati Moniaga, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, di Jakarta.
Deputi Advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Andi Muttaqien mengatakan itu bisa dilakukan. Bahkan, ia berharap Komnas HAM atau Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian bisa menjadi penengah yang dipercaya kedua pihak untuk mendudukkan isu sawit ini.
Terkait isu sawit di Eropa, ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, mendorong semua pihak di Indonesia mempertimbangkan kepentingan jangka panjang. ”Hindari pendekatan frontal seperti boikot atau menggugat,” ujarnya.
Dari Kairo, Mesir, dikabarkan, perusahaan pengolahan dan distribusi minyak sawit Mesir, Oleo Misr, menandatangani kontrak dengan PTPN III (Persero) dan PT Chita Agri Indonesia untuk impor minyak sawit dari Indonesia ke Mesir senilai 130 juta dollar AS selama periode 2019.