Mengembalikan Jiwa Amerika
“Kamu pernah saya bayari …,” demikian kalimat Donald Trump langsung pada Ted Cruz. Trump menjawab Cruz yang menuduhnya pernah membayari politisi Demokrat.
“Dan yang di sebelah saya ini adalah seorang Robin Hood,” lanjut Trump kepada pendengar saat mencecar Cruz. Menurut Trump, Cruz bicara korupsi tetapi dia pun sama saja.
Kalimat-kalimat Trump ini muncul saat penyaringan calon presiden Amerika Serikat tingkat partai pada 2016. Keduanya, bersama para kandidat Republikan bersaing menuju capres dari Partai Republik. Hampir semua pesaing dilabrak termasuk Jeb Bush. Trump tidak berpikir soal “etika politik”.
Hal serupa terjadi saat Trump menjadi capres Republikan. “Crooked Hillary”, kurang lebih artinya Hillary yang bengkok menjadi julukan Hillary Clinton, capres dari Partai Demokrat.
Kini muncul julukan baru, “Sleepy Joe”. Ini sebutan Trump pada Joe Biden, Wakil Presiden AS di era Presiden Barack Obama (2008-2016). Kurang lebih artinya Joe Biden yang berwajah ngantuk. Ini muncul setelah Joe Biden pada 25 April lalu memproklamasikan diri untuk maju pada Pilpres 2020.
Baca juga: Gaya ”Gangster” Akan Menemui Kegagalan
Dan Trump begitu yakin, “Akan mudah mengalahkan Joe. Saya lebih muda, bergairah.” Trump mengingatkan Joe Biden agar cukup memiliki intelijensia dan energi, “Sebab ini akan menjadi pertarungan seru.”
Gaya meyakinkan, rasa percaya diri tinggi dan keberanian menyodok musuh tanpa sungkan meroketkan Trump. Sebagian warga AS terperangah dan Trump menang meski dibayang-bayangi dugaan kolusi dengan Rusia. Pemanfaatan media sosial secara tak etis diduga turut membuat Trump menang.
Hasil itu mengejutkan meski secara keseluruhan suara (suara populer), Hillary Clinton meraih 2,8 juta lebih banyak ketimbang suara untuk Trump. Hanya saja sistem pemilu proporsional AS tidak berpihak pada Hillary.
Kebijakan yang mengernyitkan dahi
Kemenangan Trump dirasakan pahit terutama oleh Hillary. Akan tetapi kemudian ada semacam kesepakatan agar Trump dibiarkan memimpin dengan tenang. Pertarungan hiruk-pikuk hingga mengarah perpecahan disepakati untuk diakhiri.
Dikira Trump benar-benar memberikan ketenangan, rupanya tidak. Kebijakan domestik maupun internasional tidak menunjukkan jati diri AS di bawah Trump. Ucapannya sering menyakitkan dan masih menyebut Obama sebagai “sebuah bencana”.
Hari demi hari sepak terjangnya semakin tak karuan. Dia membombardir perjanjian perdagangan AS dengan Kanada dan Meksiko dengan alasan perjanjian itu telah memindahkan lapangan pekerjaan dari AS ke dua negara itu. Ini bertentangan dengan tema kampanyenya, "America First”, termasuk pengutamaan investasi agar kembali ke AS lewat moto “Make America Great Again”.
Baca juga: China Akan Menetralkan Tekanan AS
Trump menembak China dengan tarif, demikian juga Eropa. Gary Cohn, penasihat ekonominya pun mundur karena melihat tiada alasan menyerang mitra dagang sebab AS unggul dalam sektor jasa. Trump lebih percaya pada Peter Navarro (penasihat dagang) dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, yang sampai sekarang terbukti tidak bisa menundukkan China.
Untuk kebijakan moneter Trump juga memojokkan Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell, yang menaikkan suku bunga dengan alasan normalisasi sektor moneter. Trump menyalahkan Menkeu AS Steve Mnuchin, yang menyarankan Powell sebagai Gubernur Bank Sentral.
Untuk kebijakan anggaran, Trump menurunkan pajak dan menaikkan utang 2 triliun dollar AS. Ini mendorong pertumbuhan tetapi lubang utang semakin menganga. Penasihat ekonomi Trump, Larry Kudlow, menyudutkan Presiden Barack Obama yang menambah utang 10 triliun. Padahal Obama melakukan itu karena mewarisi perekonomian yang terpukul resesi besar pada 2008 dari Presiden George W Bush (Republikan). Kebijakan ekonomi tanpa tanggung jawab tentang kesinambungannya ke depan mewarnai kebijakan Trump.
Staf Gedung Putih silih berganti dari waktu ke waktu. Entah bagaimana negara bisa dijalankan untuk tujuan jangka panjang dengan pola seperti itu.
Sederet langkah blunder bermunculan, termasuk serangannya terhadap Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Trump malah mendekati Kim Jong-un dan Presiden Rusia Vladimir Putin tetapi “memusuhi” Justin Trudeau (PM Kanada) dan menyerang Kanselir Jerman Angela Merkel.
Bagaimana ini bisa terjadi pada AS, sekutu demokrasi NATO di berbagai belahan bumi? Inilah yang juga mendorong John Mattis mengundurkan diri sebagai Menhan AS.
Meksiko terus menerus menjadi isu, mulai dari perjanjian perdagangan bebas, isu imigran ilegal, dan rencana penembokan perbatasan. Kasus-kasus rasisme di AS sendiri bermunculan, termasuk fenomena supremasi kulit putih. Kesan pengabaian pada kelompok minoritas mencuat di pemerintahan Trump. Isu Neo-Nazi pun bergema. Sarkasme Trump termasuk terhadap terhadap media yang dia sebut “fake news” tidak berhenti.
Genderang telah ditabuh
Cukup, cukup dan cukup. Inilah inti dari misi Biden. Penegakan demokrasi, hubungan dengan sekutu yang solid, serta perlakuan sama bagi semua warga menjadi tujuan Biden. Tema anti-Trump memang menjadi warna perjuangan Biden.
“Sebab jika kita membiarkan Trump empat tahun lagi, maka itu artinya akan membiarkan dia mengubah AS. Trump akan mengubah siapa itu AS secara fundamental. Trump akan mengubah karakter AS,” kata Biden. Demokrasi yang menegakkan AS, dan membuatnya berkibar di dunia, itulah warna AS dan harus dikembalikan.
Kampanye awal makin gencar. Di Pittsburgh, Selasa (30/4/2019), Biden berapi-api. “Trump bukan Presiden untuk semua, kita butuh presiden untuk semua. Kita harus memilih harapan ketimbang ketakutan, persatuan ketimbang perpecahan, dan lebih penting, kebenaran ketimbang kebohongan,” kata Biden.
Biden tampaknya melejit dan disambut. Siapkah Biden menghadapi pertarungan, yang oleh Trump dikatakan akan tidak menyenangkan (nasty). Siapkah Biden dengan potensi atribut brutal dari Trump? “Saya saudarinya. Saya tahu dia berjalan kukuh. Dia tentu memiliki kekurangan seperti kita tetapi dia apa orang yang pantas,” kata Biden Owens.
Bukan soal tujuan akhir, tetapi pesan moral telah disuarakan. “Mari membuat Amerika bermoral lagi,” kata Biden.
Hal yang ditakutkan bukan soal Trump yang akan garang dalam pertarungan. Ini adalah karakter Trump. Ketakutan bukan soal Biden yang ada “cacat” dan memang sudah mulai dicuatkan. Jangan lupa, Trump sarat cacat.
Hal paling urgen, pemilu AS 2020 sebuah taruhan besar, kata Biden, yakni mengembalikan Amerika ke jalurnya. Sebelum pertarungan tiba, akankah pendukung Demokrat mau meloloskan Biden sebagai kandidat Demokrat? Jajak pendapat mengunggulkan Biden dari para calon kandidat lain di Demokrat.
Lalu jika lolos, apakah pemilih Trump berubah dan berpaling ke Biden? Ini saja pertanyaannya. Hal yang jelas dunia masih menginginkan AS yang kuat, teladan dan penjaga demokrasi.
Soalnya Trump tidak kalah gencar. “Pemerintahan saya memiliki kinerja besar,” kata Trump. Dia pun selalu membanggakan diri sendiri. Trump menekankan tidak ada kolusi dengan Rusia soal pemenangan pemilu 2016. Tidak ada campur tangan Trump soal hukum, terkait penyelidikan atas kolusi Rusia dan lainnya, versi Trump. Tidak ada yang salah tentang Trump, kata Trump. (AP/AFP/REUTERS)