Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan, pengangguran dan lambatnya pertumbuhan ekonomi memicu keresahan sosial dan protes di beberapa negara Arab.
Oleh
BENNY DWI KOESTANTO
·3 menit baca
Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan, pengangguran dan lambatnya pertumbuhan ekonomi memicu keresahan sosial dan protes di beberapa negara Arab.
DUBAI, SENIN — Laporan prospek regional IMF yang diterbitkan Senin (28/10/2019) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kawasan Timur Tengah, Afrika Utara, Afghanistan, dan Pakistan (MENAP) bakal tumbuh hanya 0,5 persen pada 2019. Pertumbuhan ini lebih rendah dari 1,6 persen pada tahun 2018.
Peningkatan aktivitas sektor minyak dan gas akan mendorong pertumbuhan menjadi lebih tinggi pada 2020, yakni sebesar 2,7 persen. Namun, angka pertumbuhan ini juga lebih rendah daripada proyeksi sebelumnya.
Hal yang membuat rentan wilayah MENAP, terutama Timur Tengah, adalah sanksi Amerika Serikat terhadap Iran dan serangan atas fasilitas pengolahan minyak terbesar dunia di Arab Saudi, bulan lalu. Serangan itu ikut menyebabkan lonjakan harga minyak dengan persentase terbesar sejak Perang Teluk 1991. IMF mengatakan, harga minyak bergerak pada level 55-75 dollar AS per barel sejak awal tahun.
Dipangkas
IMF memangkas prospek pertumbuhan untuk tiga kekuatan ekonomi terbesar di kawasan, yakni Arab Saudi, Iran, dan Uni Emirat Arab. Dalam proyeksi IMF, perekonomian di kawasan cenderung tertekan dan sangat bergantung pada faktor global. ”Tingkat pertumbuhan di kawasan di bawah apa yang dibutuhkan untuk mengatasi pengangguran,” kata Jihad Azour, Direktur IMF untuk Timur Tengah dan Asia Tengah.
Menurut Azour, tiga negara tersebut memiliki tingkat pengangguran pemuda yang melebihi 25-30 persen. Untuk menguranginya, diperlukan pertumbuhan ekonomi 1-2 persen.
Lebih lanjut, laporan IMF menyatakan, tingkat pengangguran yang tinggi memperburuk ketegangan sosial di negara-negara Arab itu. ”Pengangguran rata-rata 11 persen di seluruh wilayah versus 7 persen di pasar negara berkembang lainnya dan negara berkembang,” katanya.
”Perempuan dan pemuda kemungkinan besar akan kehilangan pekerjaan, dengan lebih dari 18 persen perempuan tanpa pekerjaan pada tahun 2018.”
Buruknya kinerja ekonomi telah memicu unjuk rasa di beberapa negara Arab sejak awal 2010 dan berubah menjadi perang saudara berdarah di Suriah, Yaman, dan Libya. Setahun terakhir, gelombang protes juga merebak di Aljazair, Sudan, Irak, dan Lebanon.
Rata-rata aksi massa itu berlatar belakang tuntutan reformasi di bidang ekonomi dan tindakan melawan korupsi.
Azour mengatakan, di Lebanon, tempat para pengunjuk rasa menuntut perombakan penuh sistem politik, ekonomi tumbuh pada kecepatan sangat lambat selama beberapa tahun terakhir.
”Pemerintah harus bertindak tegas dan cepat untuk mengatasi ketidakseimbangan itu, mengembalikan kepercayaan dengan mengatasi situasi fiskal, dan menurunkan pengeluaran,” katanya.
Dalam laporannya, IMF juga mengatakan, tingkat utang publik sangat tinggi di banyak negara Arab—rata-rata melebihi 85 persen dari produk domestik bruto (PDB)—dengan tingkat lebih dari 150 persen di Lebanon dan Sudan.
”Setelah bertahun-tahun membangun, biaya beban utang publik telah menjadi cukup besar sehingga menghalangi investasi penting bagi masa depan ekonomi jangka panjang kawasan itu,” katanya.
Resesi Iran
Dalam laporan itu IMF mengatakan, Iran telah memasuki resesi ekonomi. Negara itu diingatkan siap ”bertempur” melawan meningkatnya tekanan inflasi.
Ekonomi Iran diproyeksikan terkontraksi hingga 9,5 persen tahun ini, berlanjut dari kondisi pertumbuhan negatif 4,8 persen tahun lalu.
Iran hanya dapat mengekspor minyak seperempat dari kemampuan ekspor 2 juta barel per hari. IMF merekomendasikan Iran menyelaraskan nilai tukar dengan nilai pasar dan juga mereformasi sektor keuangan. Selain itu, Teheran juga harus mencoba mengatasi beberapa implikasi dari tingginya tingkat inflasi di Iran. (AP/AFP/REUTERS)