Pemerintah Filipina memutuskan untuk mengakhiri aliansi militer dengan Amerika Serikat. Militer Filipina mendukung keputusan tersebut dan sikap itu menjadi pukulan keras bagi AS.
Oleh
LUKI AULIA & BENNY KOESTANTO
·4 menit baca
MANILA, RABU -- Pihak militer Filipina mendukung sepenuhnya keputusan Presiden Rodrigo Duterte mengakhiri aliansi militer Filipina dengan Amerika Serikat atau VFA yang telah berlangsung dua dekade. Langkah itu memungkinkan Filipina memperkuat kemampuan pertahanan sekaligus mengembangkan aliansi dengan negara lain tanpa bantuan AS. Salah satunya adalah perluasan program modernisasi pertahanan dan keamanan serta penguatan aliansi Filipina dengan Australia dan Jepang, dua negara yang juga dekat dengan AS.
Panglima Angkatan Bersenjata Filipina Jenderal Felimon Santos menjelaskan, salah satu bentuk kemandirian Filipina dari AS adalah pembelian pesawat dan kapal. Filipina sedang memproses pembelian pesawat dan kapal dari negara lain, yakni Korea Selatan. Biasanya, Filipina akan membeli dari AS.
”Dengan cara ini, kita makin terpacu untuk mengembangkan kemampuan diri sendiri,” kata Santos, Rabu (12/2/2020).
Keputusan Duterte tidak mengejutkan mengingat sikap Duterte selama ini yang tak menganggap penting hubungan dekat dengan AS. Duterte justru bersemangat menjalin hubungan dengan China meski hubungan Filipina dan China tidak selalu rukun gara-gara militerisasi China di Laut China Selatan.
Juru bicara Duterte, Salvador Panelo, mengatakan, saatnya Filipina mandiri dari sisi militer. Panelo mengatakan, AS menolak keputusan Duterte itu karena kepentingan AS tercederai. ”Jika kita masih bergantung pada negara lain untuk urusan pertahanan keamanan, lama-lama kita akan lemah. Kita harus mandiri untuk melindungi kemerdekaan dan kedaulatan serta tidak lagi menjadi parasit bagi negara lain,” ujarnya.
Langkah Duterte menjadi pukulan bagi AS dan kepentingannya di Asia Tenggara. Menteri Pertahanan AS Mark Esper menyebut keputusan itu ”tidak menguntungkan” dan mengatakan itu akan menjadi langkah ke arah yang salah pada saat Washington dan sekutunya berusaha menekan China untuk mematuhi ”aturan ketertiban internasional” di Asia.
Ada sejumlah konsekuensi bagi Manila atas langkahnya menghentikan aliansi militer dengan AS. Keputusan itu akan membatasi akses Filipina untuk mengadopsi keahlian AS dalam menangani ekstremisme, bencana alam, dan ancaman keamanan laut.
Panelo mengatakan, keputusan Duterte merupakan konsekuensi dari tindakan legislatif dan eksekutif AS yang ”membatasi dengan menyerang kedaulatan Filipina dan tidak menghormati sistem peradilan Filipina”.
Mengingat pentingnya aliansi dengan Filipina dalam strategi AS yang lebih luas, Washington berharap keputusan itu akan dibatalkan atau ditunda sebelum memiliki efek hukum dalam 180 hari. Esper mengatakan hal itu kepada wartawan yang bepergian bersamanya ke Brussels, Belgia, untuk mengikuti sebuah pertemuan NATO.
Esper mengatakan, pihaknya menerima pemberitahuan tentang putusan itu pada Senin malam. ”Kita harus mencernanya. Kita harus bekerja melalui sudut kebijakan, sudut militer. Saya akan mendengar dari komandan-komandan saya. Namun, dalam pandangan saya, sangat disayangkan Filipina membuat langkah ini,” ujarnya.
Menurut Esper, dia tidak berpikir langkah Manila itu harus dikaitkan dengan China. Namun, ditegaskannya, langkah Duterte keliru. Sebab, AS bersama Filipina dan sekutu AS lain di Asia terus berupaya agar China mematuhi aturan hukum internasional di dalam sejumlah aspek dan perilakunya.
Fungsi aliansi
Keberadaan VFA penting bagi aliansi AS-Filipina secara keseluruhan dan menetapkan aturan bagi tentara AS untuk beroperasi di Filipina. Ini mendukung apa yang disebut Washington sebagai hubungan ”sangat ketat” meski ada keluhan Duterte tentang kemunafikan AS, perlakuan buruk, dan persoalan alat utama sistem persenjataan yang menua.
Duterte mengatakan, AS menggunakan pakta terkait hal itu untuk melakukan kegiatan bawah tanah, seperti memata-matai dan menimbun senjata nuklir, yang berisiko menempatkan Filipina jadi target agresi China.
Bagi AS berakhirnya VFA berdampak pada kepentingan Washington di masa depan. Salah satunya upaya mempertahankan kehadiran pasukan AS di Asia Pasifik. Hal itu terjadi di tengah gesekan atas kehadiran personel AS di Jepang dan Korea Selatan, serta kekhawatiran pada China dan Korea Utara di Semenanjung Korea.
Beberapa senator Filipina berusaha menghalangi langkah Duterte. Alasan yang mengemuka adalah keputusan itu diambil tanpa persetujuan senat. Duterte dinilai tidak memiliki hak secara sepihak membatalkan pakta internasional yang telah diratifikasi. ”Kita harus berbicara tentang masalah penting ini,” kata Senator Richard Gordon.
Beberapa anggota parlemen khawatir, tanpa VFA, dua pakta lain tidak akan relevan, yaitu Perjanjian Kerja Sama Pertahanan Tambahan tahun 2014 yang dibuat di era Barack Obama dan Perjanjian Pertahanan Bersama tahun 1951.