Menyelamatkan Ekonomi Dunia
Perlu kebijakan kolektif dan komprehensif berskala besar dalam aras multilateral. Tujuannya, agar ekonomi dunia pulih lagi dari guncangan besar yang ditimbulkan pandemi Covid-19 saat ini.
Festival Gudi Padwa di Mumbai, India, tahun ini tidak terlupakan bagi Purab Gathani. Warga setempat pemilik toko aneka perlengkapan sembahyang itu menelan pil pahit. Tidak ada warga yang datang dan membeli aneka perlengkapan menjelang perayaan salah satu festival musim semi itu. Wabah Covid-19 telah memaksa pemerintah negara berpenduduk 1,3 miliar jiwa itu menutup wilayah, tanpa terkecuali tempat-tempat ibadah.
”Saya tidak pernah membayangkan kami harus menutup toko pada malam festival,” kata Gathani, akhir Maret lalu. Sejak keluarganya menjual perlengkapan sembahyang umat Hindu selama tiga generasi, baru kali ini pengalaman memilukan itu terjadi. Dampak kebijakan penutupan wilayah itu juga membayangi bisnisnya dalam beberapa waktu ke depan.
Gathani adalah satu dari puluhan ribu warga India yang terlibat dalam aktivitas yang disebut sebagai perekonomian kuil India. Mereka adalah warga yang berada dalam kegiatan produksi, penyaluran, hingga jual-beli aneka rupa hal yang terkait dengan peribadatan di negara itu, mulai dari bunga, lampu minyak, hingga gambar dan patung dewa-dewa Hindu. Nilai ekonomi kegiatan-kegiatan itu mencapai 40 miliar dollar AS per tahun.
Baca Juga: Menyelamatkan Ekonomi yang Lumpuh karena Covid-19
Sebagian besar dari mereka yang terlibat dalam roda perekonomian seperti Gathani itu merupakan para pekerja informal. Sektor-sektor informal itu di India menyerap sekitar 90 persen dari total tenaga kerja. Para pekerja sektor informal itu tak dilindungi atau kurang terlindungi oleh undang-undang perburuhan. Mata pencarian mereka berisiko terkena kebijakan penutupan wilayah secara total selama tiga pekan yang diberlakukan Pemerintah India.
Ketika wabah Covid-19 menjalar ke seluruh dunia, pemerintah-pemerintah berjibaku dengan upaya penahanan dan penanggulangan wabah. Kebijakan jaga jarak sosial hingga penutupan wilayah diterbitkan. Namun, semua itu telah memutus aliran barang dan orang, menghambat ekonomi, menekan permintaan, dan diperkirakan bakal menghadirkan resesi.
”Pandemi” tekanan ekonomi sebagai akibat dari wabah Covid-19 dan kebijakan yang menyertainya menyebar secepat penyakit itu sendiri.
UN-DESA memperingatkan, kontraksi ekonomi itu dapat terjadi lebih jauh jika kebijakan pembatasan kegiatan ekonomi diperpanjang tanpa respons fiskal yang memadai.
Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN-DESA) dalam pernyataan tertulis, Rabu (1/4/2020), menyatakan, ekonomi global dapat menyusut hingga 1 persen pada 2020 karena pandemi Covid-19. Proyeksi itu membalikkan perkiraan positif sebelumnya, di mana pertumbuhan ekonomi tahun ini akan mencapai 2,5 persen.
UN-DESA memperingatkan, kontraksi ekonomi itu dapat terjadi lebih jauh jika kebijakan pembatasan kegiatan ekonomi diperpanjang tanpa respons fiskal yang memadai.
Pandemi Covid-19, ditegaskan UN-DESA, telah mengganggu rantai pasokan global dan perdagangan internasional. Dengan hampir 100 negara menutup perbatasan mereka selama bulan lalu, pergerakan orang dan arus pariwisata pun terhenti.
”Jutaan pekerja di negara-negara itu menghadapi prospek suram, yakni kehilangan pekerjaan mereka,” kata tim ekonomi UN-DESA.
Pemerintah-pemerintah di dunia tengah merencanakan atau sudah meluncurkan paket-paket stimulus besar. Stimulus-stimulus dan jaring pengaman sosial bertujuan mencegah penurunan tajam ekonomi mereka yang berpotensi dapat menjerumuskan ekonomi global ke dalam resesi yang dalam.
Sejauh ini kontraksi ekonomi global tahun 2020 diperkirakan sebesar 0,9 persen. Memang, dibandingkan dengan kontraksi pada krisis keuangan global 2008-2009 yang mencapai 1,7 persen, angka proyeksi kontraksi akibat pandemi Covid-19 masih lebih kecil. Namun, perlu diingat, angka kontraksi kali ini bisa lebih tinggi jika pemerintah gagal memberikan dukungan pendapatan dan membantu meningkatkan pengeluaran konsumen.
Tekanan di Asia
Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan pertumbuhan ekonomi regional di negara-negara berkembang di Asia akan tertekan cukup tajam tahun 2020 karena efek pandemi Covid-19. Ekonomi Asia diperkirakan akan pulih tahun 2021. Ekonomi Asia diperkirakan hanya akan tumbuh sekitar 2,2 persen tahun ini, direvisi 3,3 poin persentase dari perkiraan sebelumnya—naik hingga 5,5 persen—pada proyeksi September 2019.
Pertumbuhan diperkirakan akan meningkat menjadi 6,2 persen pada 2021 dengan asumsi bahwa wabah Covid-19 berakhir dan aktivitas kembali normal. Tanpa memasukkan ekonomi industri yang mencakup Hong Kong, China, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan, negara-negara berkembang di Asia diperkirakan akan tumbuh 2,4 persen tahun ini, dibandingkan dengan 5,7 persen pada proyeksi tahun 2019. Negara-negara berkembang di Asia diperkirakan akan mencatat pertumbuhan hingga 6,7 persen pada tahun depan.
Baca juga: Stimulus Ekonomi Menjadi Penopang Utama
”Evolusi pandemi global—dan dengan demikian prospek ekonomi global dan regional—sangat tidak pasti. Pertumbuhan bisa menjadi lebih rendah, dan pemulihannya lebih lambat dari yang kami perkirakan saat ini. Karena itu, diperlukan upaya kuat dan terkoordinasi untuk mengendalikan pandemi Covid-19 dan meminimalkan dampak ekonominya, terutama pada yang paling rentan,” kata Kepala Ekonom ADB Yasuyuki Sawada.
ADB menyatakan, kontraksi tajam dalam industri, layanan, penjualan ritel, dan investasi pada triwulan I-2020 karena wabah Covid-19 akan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi China hanya mencapai 2,3 persen tahun ini. Pertumbuhan China akan pulih ke level di atas normal 7,3 persen pada tahun 2021 sebelum kembali ke pertumbuhan normal.
Di India, langkah-langkah untuk menahan penyebaran virus korona tipe baru dan lingkungan global yang lebih lemah tahun ini akan menekan manfaat pemotongan pajak dan reformasi sektor keuangannya. Pertumbuhan ekonomi India diperkirakan melambat menjadi 4,0 persen pada 2020, sebelum menguat menjadi 6,2 persen pada tahun depan.
Diperlukan upaya kuat dan terkoordinasi untuk mengendalikan pandemi Covid-19 dan meminimalkan dampak ekonominya, terutama pada yang paling rentan.
Semua subregional Asia yang sedang berkembang, menurut ADB, akan mengalami pelemahan pertumbuhan tahun ini akibat melemahnya permintaan global, plus wabah yang terjadi secara langsung di negara-negara itu dan kebijakan penutupan wilayah. Pertumbuhan mandek atau menyusut di ekonomi industri utama Amerika Serikat, kawasan Euro, dan Jepang membuat permintaan anjlok.
Beberapa eksportir komoditas dan minyak, seperti yang ada di Asia Tengah, akan dilanda kejatuhan harga. Harga minyak Brent diperkirakan rata-rata 35 dollar AS per barel tahun ini, turun dari harga 64 dollar AS pada 2019.
Ekonom Philip Carlsson-Szlezak dalam makalahnya yang dimuat dalam Harvard Business Review menyatakan bahwa secara klasik, krisis keuangan melumpuhkan sisi penawaran ekonomi. Ada sejarah panjang krisis semacam itu, dan para pembuat kebijakan telah belajar banyak tentang cara menghadapinya.
Namun, lanjut Carlsson-Szlezak, Covid-19 telah memperluas masalah likuiditas dan modal ke ekonomi riil pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Saling terkaitnya risiko kembar dari guncangan finansial dan likuiditas riil yang tidak cukup bisa segera terjadi.
Guncangan Covid-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya telah menimbulkan tekanan di pasar modal, memicu respons yang kuat dari bank sentral. Masalah likuiditas dan ekonomi riil dapat menyebabkan permasalahan permodalan di sektor keuangan.
Ketika terjadi krisis keuangan, pembentukan modal akan sangat terpukul, mendorong kemerosotan yang berkepanjangan dapat merusak sektor tenaga kerja dan produktivitas. Krisis Covid-19 yang berkepanjangan dapat meningkatkan jumlah kebangkrutan ekonomi riil, yang makin sulit dikelola oleh sistem keuangan. Krisis keuangan juga akan menimbulkan aneka kredit macet.
Langkah multilateral
Tingkat keparahan dampak ekonomi Covid-19 akan sangat tergantung pada dua faktor. Pertama, durasi pembatasan pergerakan orang dan kegiatan ekonomi di negara-negara ekonomi utama dan; kedua, kemanjuran respons fiskal terhadap tekanan itu.
Menurut perkiraan UN-DESA, penutupan wilayah di Eropa dan Amerika Utara memukul sektor jasa dengan keras, terutama industri yang melibatkan interaksi fisik, seperti perdagangan ritel, rekreasi dan perhotelan, layanan rekreasi dan transportasi.
Secara kolektif, industri-industri semacam itu mencakup lebih dari seperempat dari semua pekerjaan di negara-negara itu. Saat bisnis kehilangan pendapatan, penganggur pun cenderung meningkat tajam, mengubah guncangan sisi penawaran menjadi guncangan sisi permintaan yang lebih luas bagi perekonomian.
”Diperlukan langkah-langkah kebijakan yang mendesak dan berani, tidak hanya untuk menahan pandemi dan menyelamatkan nyawa, tetapi juga untuk melindungi yang paling rentan dalam masyarakat kita dari kehancuran ekonomi dan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas keuangan,” Wakil Sekretaris Jenderal UN-DESA, Liu Zhenmin.
Kepala Ekonom dan Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk Pembangunan Ekonomi, Elliot Harris, mengatakan tujuan kolektif secara multilateral harus berupa pemulihan tangguh yang mengembalikan dunia ke jalur-jalur pembangunan yang berkelanjutan. Para pakar PBB mendorong sebuah respons multilateral berskala besar, terkoordinasi, komprehensif, yang berjumlah paling sedikit 10 persen dari produk domestik bruto global. (AP/REUTERS)