Pemerintah Sudan Dituding Sengsarakan Rakyat, Demo Loyalis Bashir Dibubarkan
Massa demonstran Khartoum, Sudan, menilai kondisi ekonomi pada masa pemerintahan transisi saat ini semakin buruk.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
KHARTOUM, JUMAT — Polisi Sudan menembakkan gas air mata kepada para pendukung mantan Presiden Omar Al Bashir yang berdemonstrasi di luar markas komando militer di Khartoum, ibu kota Sudan, Kamis (17/4/2020) waktu setempat. Bashir digulingkan karena kondisi ekonomi semakin memburuk.
Mereka mengecam kebijakan pemerintahan transisi pimpinan Perdana Menteri Abdalla Hamdok yang dinilai malah membuat rakyat semakin sengsara dengan berbagai kenaikan harga bahan pokok.
Dikutip dari kantor berita AFP, seorang saksi mata mengatakan, selain mengritik kenaikan harga dan penghematan pemerintahan PM Hamdok, pendemo juga mendesak pemerintahan transisi ini untuk mundur.
”Puluhan orang tiba di depan Komando Umum Angkatan Bersenjata dari arah timur, membawa rambu-rambu yang menyerukan kejatuhan pemerintah Hamdok,” kata seorang saksi mata.
Selain membawa poster yang bernada kritik kepada pemerintahan Hamdok, para pendemo juga meneriakkan yel-yel bernada antipemerintah. ”Katakan tidak kepada pemerintahan yang membuat rakyat kelaparan.”
Protes singkat dan skala kecil dengan cepat dibubarkan polisi. Militer sudah juga mengonfirmasi aksi demo ini dengan mengunggah beberapa foto kejadian di situs resmi mereka.
Demonstrasi skala kecil kemarin adalah yang pertama dan berhasil mendekat ke wilayah militer setelah Juni lalu, aksi diam di lokasi yang sama dibubarkan dengan paksa dan mengakibatkan sedikitnya 30 pendemo tewas.
Menurut media Inggris, The Guardian, aksi demonstrasi yang tenang itu dibalas dengan pembubaran paksa oleh militer menggunakan senjata api yang dilengkapi peluru tajam.
Pemerintah transisi Sudan telah menetapkan kebijakan lockdown selama tiga pekan di Khartoum dan Omdurman sejak Sabtu pekan lalu setelah temuan 32 kasus warga terpapar Covid-19.
Kebijakan itu sendiri dianggap semakin menyulitkan warga yang sudah kesulitan memperoleh bahan pokok di berbagai pasar tradisional dan pasar swalayan di Sudan meski sudah mengantre selama berjam-jam.
Pekan lalu, otoritas Sudan mengumumkan kenaikan harga roti. Warga yang semula dapat membeli roti berukuran 70 gram dengan harga hanya satu pound, kini hanya mendapat roti dengan ukuran 50 gram.
Kenaikan harga rotilah yang akhirnya membuat warga mendemo Bashir untuk pertama kalinya pada tahun 2018 setelah harga roti naik tiga kali lipat. Demo berlangsung berbulan-bulan sebelum akhirnya Bashir terguling pada April 2019.
Beberapa kali pemerintahan transisi Sudan menghadapi serangan bersenjata yang ditujukan kepada para pemimpinnya, terutama Hamdok. Pada Januari lalu, lima orang tewas termasuk dua anggota militer Sudan setelah loyalis Bashir yang bertugas di salah satu badan keamanan negara menolak rencana pensiun yang diajukan pemerintahan Hamdok.
Dua bulan berikutnya, Hamdok lolos upaya pembunuhan yang menargetkan konvoi kendaraannya saat melintas di salah satu jalan di ibu kota.
Tidak hanya itu, kekerasan komunal dan sporadis juga terjadi di beberapa wilayah, termasuk di Darfur, yang dikuasai kelompok pemberontak. Menurut juru bicara pemerintah, Faisal Saleh, pemerintahan transisi terus berupaya untuk melakukan perundingan damai dengan kelompok-kelompok tersebut.
”Masalah luar biasa itu tidak besar tetapi rumit,” kata Saleh.
Tidak membaik
Setahun pasca-penggulingan salah satu pemimpin terlama di Benua Afrika, Omar Al Bashir, terjadi, Sudan masih tertatih-tatih memperbaiki kondisi ekonominya. Bahkan, banyak pihak menilai, kondisi Sudan kini semakin memburuk
Magdi El-Gizouli, analis lembaga Rift Valley Institute, mengatakan, pemulihan tatanan kelembagaan politik di negeri itu belum berjalan dengan baik adalah masalah yang harus dihadapi oleh pemerintahan transisi.
Pada saat yang sama, pemerintahan yang baru juga menghadapi krisis ekonomi yang parah serta biaya yang besar untuk menjaga kondisi sosial masyarakat khususnya di akar rumput.
”Sejauh ini, tantangan utama yang dihadapi pemerintahan baru dalam masa transisi sekarang adalah konstelasi faktor-faktor yang sama yang membuat pemerintahan Al Bashir jatuh,” kata El Gizouli.
Hamdok, ekonom berpengalaman dan mendapat mandat untuk membawa Sudan melewati masa transisi ini, menghadapi tantangan yang tidak mudah. Inflasi yang tinggi, utang publik yang besar, serta masalah perdamaian dan keamanan adalah sebagian tantangan yang harus diselesaikan oleh Hamdok di internal.
Kondisi itu dipersulit oleh tekanan ekonomi yang terjadi akibat sanksi ekonomi dari Pemerintah AS yang masih memasukkan negara ini sebagai salah satu negara yang mendukung organisasi teroris Al Qaeda.
Upaya untuk melonggarkan sanksi itu sudah ada ketika Hamdok mengunjungi Washington pada Desember lalu, sekaligus meminta pencabutan sanksi terhadap 157 perusahaan Sudan untuk menarik dana asing masuk ke negara itu. Namun, sejauh ini hasilnya belum terlihat.
”Pemulihan ekonomi di Sudan akan menjadi jalan panjang dan akan membutuhkan dukungan yang bijaksana, berkelanjutan, dan terkoordinasi dari donor tradisional, seperti Uni Eropa, Inggris, Jepang, dan AS, serta negara-negara Teluk,” kata Jonas Horner dari International Crisis Group.
”Dukungan teknis dan keuangan eksternal jangka panjang diperlukan untuk menarik Sudan keluar dari lumpur ekonominya,” tambah Horner. (AFP/REUTERS)