Kondisi ekonomi yang susah akibat pandemi Covid-19 membuat banyak orang kewalahan akibat kesulitan makanan. Di negara maju, bank makanan menjadi andalan mereka meski kini tetap dirasakan masih terbatas.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Untuk mencegah penyebaran penyakit Covid-19, berbagai negara mau tak mau memberlakukan kebijakan menjaga jarak dan karantina atau pembatasan sosial berskala besar – istilah yang dipakai Indonesia – per wilayah atau secara nasional. Kebijakan itu membuat banyak usaha tutup sementara atau bahkan permanen. Akibatnya, banyak orang kehilangan pekerjaan.
Banyaknya orang yang kehilangan pekerjaan membuat bank-bank makanan (food banks) kewalahan memenuhi tingginya permintaan terutama satu bulan terakhir. Hal itu antara lain terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Inggris yang sudah lama memiliki sistem bank makanan yang dikelola lembaga-lembaga nirlaba.
Harian The Guardian, 17 April 2020, menyebutkan, karena permintaan yang tinggi, banyak bank makanan sampai harus membeli bahan makanan, yang harganya semakin naik, untuk memenuhi kebutuhan warga. Biasanya, mereka membeli bahan makanan dari pasar swalayan (supermarket) dengan harga miring atau gratis. Mereka juga sering menerima sumbangan dari masyarakat.
Bank makanan di Pittsburgh, Pennsylvania, AS, misalnya, sampai harus mengeluarkan biaya tambahan 1 juta dollar AS atau setara Rp 15,5 miliar (kurs Rp 15.500) per minggu untuk membantu warga. Dengan kondisi ekonomi sulit seperti sekarang, jumlah sumbangan menyusut.
“Kalau sebulan ke depan, makanan masih cukup. Tidak tahu setelahnya. Ini belum pernah terjadi,” kata Presiden Bank Makanan di Pittsburgh, Lisa Scales.
Kondisi ekonomi yang susah gara-gara pandemi virus korona baru (SARS-CoV-2) penyebab penyakit Covid-19 membuat banyak orang yang sama sekali belum pernah datang ke bank makanan terpaksa datang meminta makanan. Ribuan orang mengantre panjang hingga berjam-jam di banyak kota di AS dan Inggris untuk mendapatkan sekotak bahan makanan seperti pasta, beras, telur, sayuran dalam kaleng, dan selai kacang.
Ambang kemiskinan
Direktur Hukum di Pusat Penelitian dan Makanan Tindakan AS, Ellen Vollinger, mengatakan, tidak heran melihat banyak “orang baru” datang ke bank makanan. Sebelum pandemi Covid-19 pun, jutaan pekerja AS sudah hidup di ambang kemiskinan dan setiap bulan kesulitan, harus memilih untuk membeli makanan, sewa rumah, atau membayar tagihan.
Organisasi nirlaba Feeding America mengatakan, pada 2019 ada sekitar 40 juta warga AS menerima bahan makanan atau makanan gratis melalui jaringan 200 bank makanan dan 60.000 kantin, sekolah, dan tempat penampungan. Mayoritas penerima adalah warga miskin, usia lanjut, dan berkebutuhan khusus.
Permintaan pada bank makanan naik terus dan stok cepat habis. Bahan makanan untuk setiap orang pun dijatah dan jumlahnya tak bisa banyak.
Menurut Indeks Keamanan Finansial Bankrate 2019, sebelum pandemi saja, separuh dari orang dewasa AS tidak memiliki simpanan uang darurat bahkan tidak cukup untuk hidup selama tiga bulan. Akibat pandemi, permintaan pada bank makanan naik terus dan stok cepat habis. Bahan makanan untuk setiap orang pun dijatah dan jumlahnya tak bisa banyak.
Situasi di Inggris sama saja. Kenny Duncan (57), warga Southall, Inggris barat, terpaksa berjalan selama dua jam dengan kursi roda mendatangi bank-bank makanan untuk meminta bahan makanan. Akhirnya untuk pertama kali ia mendapatkan sepaket kantong makanan dari bank makanan Fulham dan Hammersmith.
James Quale dari bank makanan North Paddington, kepada harian Daily Mail mengatakan, kini sulit memperkirakan stok bahan makanan karena jumlah donatur individu kian berkurang. Mereka yang dulu berdonasi kini justru membutuhkan bantuan bank makanan. Ia lalu meminta supermarket-supermarket besar menyisihkan stok mereka untuk diberikan ke bank makanan.
Harga bahan makanan pokok juga kian naik karena suplai tersendat akibat rantai distribusi terputus antara petani dan penjual. Suplai sebenarnya masih berlimpah di petani AS dan Inggris. Namun karena tak ada atau kekurangan pekerjanya, hasil panen tak ada menggarap. Akibatnya, antara lain, harga beras melambung tiga kali dan itu pun baru bisa diantar paling cepat pada Juni 2020.
“Buah dan sayur dalam kaleng sangat susah didapat. Apalagi beras dan pasta yang harganya melejit karena ada biaya tambahan untuk pekerja dan transportasi. Beras itu seperti emas,” kata Mike Fellinger, penyuplai bahan makanan ke 40 bank makanan di AS.
Ada dua elemen dalam ketahanan pangan yakni orang memiliki cukup uang untuk membeli makanan dan apakah orang memiliki akses ke makanan itu.
Kekurangan relawan
Kekurangan tenaga relawan juga menjadi persoalan lain bagi bank makanan. Relawan adalah tulang punggung bank makanan dan mayoritas mereka berusia lanjut yang berisiko terinfeksi Covid-19. Televisi CNN, 3 April 2020, menyebutkan, banyak relawan harus dirumahkan agar tak terinfeksi. Sedikitnya ada 2 juta relawan bank makanan di AS yang selama ini terlibat mengepak dan membagikan makanan.
Sekitar 55 dari 550 program makanan yang dikelola Second Harvest Food Bank of Central Florida terpaksa tutup karena kekurangan relawan. Padahal kata CEO Dave Krepcho, permintaan sedang sangat tinggi. Ia berharap pemerintah federal dan pusat segera memiliki solusi cepat untuk mengatasi hal ini selain memberikan bantuan dana.
Para pengelola bank makanan berharap pemerintah segera mengatasinya agar warga bisa bertahan hidup. Setiap orang, dalam situasi krisis atau pun tidak, seharusnya mempunyai cukup uang untuk membeli makanan. Ada dua elemen dalam ketahanan pangan yakni orang memiliki cukup uang untuk membeli makanan dan apakah orang memiliki akses ke makanan itu.
Berbeda dengan negara maju, seperti AS dan Inggris, negara miskin bisa jadi tidak memiliki dua elemen itu. Jika harga makanan naik, orang yang biasanya membelanjakan mayoritas pendapatannya untuk membeli makanan tentu tidak akan mampu lagi. Kalau harga gandum atau beras saja, yang kaya kalori dan penting buat ketahanan tubuh, naik maka itu saja sudah berdampak serius.
Di saat pandemi Covid-19 ini, negara maju yang sudah mempunyai sistem bank makanan yang terorganisir saja kesusahan. Apalagi di negara miskin yang jelas terkendala pada akses ekonomi dan fisik.