Pemakaian BBM diupayakan dikurangi dengan pengembangan kendaraan listrik. Namun, harga minyak yang murah dan krisis ekonomi membuat target pengurangan emisi tahun 2050 jadi tanda tanya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Laporan beberapa media internasional menyebutkan terjadi penurunan polusi udara selama beberapa pekan terakhir ini di banyak kota di dunia, yang selama ini dikenal dengan tingkat polusi udara yang tinggi. Kota-kota besar di dunia dan selama ini menjadi pusat bisnis, perdagangan, hingga pemerintahan, seperti New Delhi dan Mumbai di India, Madrid di Spanyol, Milan dan Roma di Italia, New York di Amerika Serikat, Beijing di China, hingga Jakarta, Indonesia, dikabarkan mengalami penurunan polusi udara 30-50 persen. Langit berwarna biru cerah menjadi salah satu indikator penurunan polusi udara.
Kondisi itu bisa terjadi karena pada saat yang bersamaan, negara memberlakukan pembatasan pergerakan manusia untuk mencegah penyebarluasan virus SARS-CoV-2, yang telah menginfeksi lebih dari 2 juta manusia di seluruh permukaan bumi saat ini. Jumlah korban jiwa telah melewati angka 150.000 orang dan mungkin akan terus bertambah bila tidak ada upaya yang cepat dan tepat dalam menanggulanginya.
Pergerakan kendaraan umum dibatasi dan sebagian ada yang dihentikan sama sekali. Kendaraan pribadi masih bisa melintas walau jumlahnya terbatas. Di sebagian kota, yang pembatasan pergerakannya agak longgar, warga memilih menggunakan sepeda untuk bergerak dari satu titik ke titik lain.
Langit yang cerah dan polusi udara yang menurun adalah sesuatu yang patut disyukuri. Namun, tidak bersamaan waktunya dengan adanya pandemi global yang merenggut banyak korban jiwa, sebuah kejadian yang tidak pernah diharapkan.
Target 2050
Hampir dua dekade, pengembangan kendaraan listrik telah berjalan. Kesadaran untuk beralih dari kendaraan berbahan bakar minyak meninggi seiring dengan semakin panasnya suhu bumi. Tidak hanya itu, semakin menipisnya cadangan minyak di dalam bumi membuat perlombaan mencari sumber energi terbarukan juga semakin gencar.
Pengembangan mobil listrik, yang dimulai dari konsep yang sederhana, mulai dari hybrid atau hibrida (mesin bahan bakar minyak dan baterai menjadi tenaga penggerak) hingga battery electric vehicle(BEV) dengan bahan dasar baterai litium, semakin banyak. Penelitian dan pengembangan mobil berbahan bakar fuell-cell (hidrogen) pun sudah mulai gencar dilakukan dan bahkan akan mulai diproduksi massal mulai tahun 2022. Ini sebagai bagian dari upaya industri otomotif dunia mengurangi produksi kendaraan berbasis minyak bumi dan juga bagian dari upaya menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat celsius pada tahun 2050.
China dan Jepang bisa dikatakan menjadi motor produksi kendaraan listrik dan kemudian disusul oleh produsen otomotif Eropa. Di Amerika, selain Tesla yang sejak awal memang memproklamasikan diri sebaga produsen mobil listrik, pabrikan otomotif seperti General Motors hingga Ford yang sejak dulu dikenal lebih suka memilih memproduksi kendaraan dengan kapasitas mesin yang besar, mulai melirik kendaraan listrik berbasis baterai sebagai produksi alternatif masa depan. Berbagai produk kendaraan listrik terbaru dikenalkan pada berbagai pameran otomotif, seperti Frankfurt Motor Show, Geneva Motor Show, ataupun Tokyo Motor Show selama beberapa tahun terakhir, untuk menarik perhatian dan kantong calon konsumen.
Industri otomotif pun sadar bahwa penggunaan kendaraan berbasis tenaga baterai atau bahkanfuell-cell belum cukup kuat. Untuk meningkatkan jumlah pengguna, sejumlah negara memberikan insentif bagi calon konsumen untuk beralih dari kendaraan konvensional ke kendaraan berbasis tenaga listrik. Sejumlah negara, termasuk negara-negara Eropa, pun berancang-ancang untuk membatasi atau melarang sepenuhnya bahan bakar fosil.
Secara umum, produsen otomotif menjadikan waktu satu dekade ke depan, tahun 2030, sebagai transisi dari kendaraan konvensional ke kendaraan berbasis listrik. Setidaknya, 50 persen produksi otomotif dunia adalah kendaraan berbasis tenaga listrik (baterai). Tahun 2040, negara di dunia diharapkan melakukan pelarangan, baik sebagian maupun seluruhnya, penggunaan bahan bakar fosil. Dan, tahun 2050, seluruh kendaraan di dunia sudah berbasis kendaraan listrik tenaga baterai atau yang lebih maju lagi.
Namun, pandemi global Covid-19 yang kini tengah melanda dunia tampaknya membuat pelaku ekonomi gamang. Puluhan ribu pekerja dirumahkan. Pabrik-pabrik berhenti beroperasi dan beralih menjadi produsen alat kesehatan. Pada saat bersamaan, perang harga minyak antara Arab Saudi dan Rusia, serta melibatkan Amerika Serikat, membuat harga minyak jatuh ke titik terendah dalam satu dekade terakhir. Banyak pihak pun memberikan sinyal kemungkinan terjadinya resesi ekonomi dunia.
Peringatan yang disampaikan Direktur Eksekutif Internasional Energy Agency Fatih Birol soal semakin rendahnya harga minyak harus menjadi perhatian bersama. Birol menyatakan, harga minyak yang rendah membuat konsumen berpikir ulang untuk menggunakan energi terbarukan sebagai sumber energi alternatif yang mereka gunakan sehari-hari. Secara luas, ini akan menjadi ujian bagi pemerintah dan mungkin dunia internasional yang kini tengah berupaya untuk beralih dari bahan bakar fosil menuju pemanfaatan energi terbarukan.
Krisis ekonomi akibat pandemi pun melemahkan daya beli masyarakat dan pastinya berimbas pada proses transisi kendaraan konvensional ke listrik. Dengan daya beli yang pas-pasan, sumber energi yang murah akan lebih dilirik ketimbang energi terbarukan, yang harganya masih cukup mahal. Termasuk kendaraan listrik.
Stimulus ekonomi untuk menahan perekonomian dunia dari krisis sudah mulai dikucurkan. Namun, beberapa ekonom tidak melihat aliran dana stimulus diberikan kepada pelaku ekonomi pada yang menggawangi sektor energi terbarukan. Sebaliknya, dana stimulus itu diberikan kepada pelaku industri yang masih menggunakan bahan bakar fosil sebagai motor penggerak utama mesin ekonomi mereka.
Bila kebijakan seperti itu yang diambil oleh masing-masing pemerintahan, bisa jadi target pengurangan emisi dan menjaga agar kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat celsius pada tahun 2050 terganggu. Atau, bahkan mungkin mundur beberapa dekade lagi.