Manufaktur Jepang Menoleh ke ASEAN, Bagaimana Kesiapan Indonesia?
Gangguan rantai pasokan bagi perusahaan-perusahaan Jepang di China akibat Covid-19 mendorong Tokyo memindahkan produksi dari negara itu. ASEAN merupakan salah satu tujuan.
Oleh
BENNY D KOESTANTO & KRIS MADA
·4 menit baca
TOKYO, SENIN — Pemerintah Jepang dilaporkan bakal mengalokasikan dana 2,2 miliar dollar AS dalam paket stimulus ekonomi di tengah pandemi Covid-19. Sebagian dana ini akan menjadi insentif bagi korporasi Jepang agar merelokasi produksi dari China.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyebut negara-negara di ASEAN menjadi salah satu pilihan bagi perusahaan-perusahaan manufaktur Jepang. Langkah Jepang merelokasi korporasi manufaktur dari China, antara lain, dipicu dampak pandemi Covid-19.
Pada Februari 2020, ekspor China—mitra dagang terbesar Jepang—ke Jepang turun hampir 50 persen. Hal ini terjadi karena produksi di China berhenti sementara akibat penutupan wilayah sehubungan merebaknya Covid-19 di Wuhan, Hubei, China.
Gangguan pada mata rantai pasokan akibat Covid-19 itu menjadi pemikiran serius PM Abe. Jepang tidak ingin terlalu bergantung pada negara lain, khususnya China. Sebagaimana diwartakan media Jepang, Nikkei Asian Review, Kamis (16/4/2020), sinyal kebijakan baru Abe terlihat pada 5 Maret lalu. Tanggal itu adalah tanggal penundaan kunjungan Presiden China Xi Jinping ke Jepang akibat pandemi Covid-19.
Pada tanggal tersebut, Pemerintah Jepang menggelar pertemuan khusus bersama dewan investasi negara itu. Abe selaku ketua dewan tersebut menyatakan, ingin industri manufaktur yang menjadi basis produksi bernilai tinggi Jepang pulang kandang ke Jepang.
”Karena Covid-19, lebih sedikit produk yang datang dari China,” kata Abe seperti dikutip Nikkei. ”Orang- orang khawatir dengan rantai pasokan kami,” lanjutnya.
Abe mengatakan, sebagai negara yang sangat bergantung pada satu negara untuk manufaktur, Jepang harus mencoba memindahkan barang bernilai tambah tinggi agar kembali ke Jepang. ”Untuk (barang-barang) yang lain, kita harus lakukan diversifikasi ke negara-negara seperti di ASEAN,” ujar Abe.
Untuk (barang-barang) yang lain, kita harus lakukan diversifikasi ke negara-negara seperti di ASEAN.
Akibat gangguan yang menghantam pengadaan suku cadang mobil dan produk lain bagi Jepang sebagai akibat ketergantungan perusahaan-perusahaan Jepang pada China dari sisi rantai pasokan, Tokyo ingin sesuatu lebih baru dibandingkan dengan konsep tradisional ”China plus satu”.
Melalui konsep ini, perusahaan Jepang menambahkan lokasi di luar China untuk melakukan diversifikasi produksi mereka. Abe ingin menetapkan kebijakan baru: pergeseran dari China.
Kesiapan Indonesia
Pelaku bisnis dan pengamat ekonomi di Tanah Air menyatakan Indonesia harus mempercepat reformasi ekonomi nasional guna menarik para pengusaha Jepang yang bersiap memindahkan pabrik dari China. ”Kita harus segera menyelesaikan reformasi ekonomi nasional, khususnya perbaikan kebijakan dan penyederhanaan perizinan,” kata Shinta Kamdani, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kerja Sama Internasional, di Jakarta.
”Konsistensi dan transparansi birokasi harus dijalankan. Hal itu harus dijalankan untuk meningkatkan daya saing. Sebab, banyak negara mau menarik investasi Jepang tersebut,” tambah Shinta.
”Asia Tenggara, dan khususnya Indonesia, berpeluang masuk daftar karena punya keunggulan dan hubungan lama dengan Jepang,” kata Enny Sri Hartati, ekonom Indef.
Shinta dan Enny sama-sama mengingatkan bahwa banyak negara Asia Tenggara akan memperebutkan perusahaan Jepang yang akan pindah dari China. ”Kita perlu mempersiapkan fasilitas investasi yang disesuaikan dengan kebutuhan investor sehingga investor merasa disambut,” ujar Shinta.
Enny mengatakan, selama ini investor Jepang memang cenderung bertanya secara detail di awal. Hal itu bagian dari mendapatkan kepastian. ”Setelah jelas, mereka berkomitmen mewujudkan investasi. Selama ini, dibandingkan dengan negara lain, Jepang lebih berkomitmen dalam mewujudkan investasi,” katanya.
Indonesia, menurut Enny, berpeluang menarik industri untuk mengolah hasil perkebunan dan bahan alam. Adapun untuk industri otomotif, Indonesia bersaing dengan Thailand dan Vietnam. Mengenai industri yang mengandalkan upah murah, Indonesia bisa bersaing dengan Myanmar.
Indonesia berpeluang menarik industri untuk mengolah hasil perkebunan dan bahan alam. Adapun untuk industri otomotif, Indonesia bersaing dengan Thailand dan Vietnam.
Namun, lanjut Enny, sejauh ini sebenarnya investor Jepang tidak terlalu mempersoalkan soal upah. Perhatian pengusaha Jepang lebih ke soal prosedur pemberhentian pekerja yang rumit di Indonesia.
Masalah kebijakan
Konsistensi kebijakan menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Hal itu, antara lain, tecermin pada Batam, daerah industri yang terus diubah kebijakan pengelolaannya. Demikian pula soal aturan perpajakan.
”Perhatiannya bukan soal tarif (pajak), melainkan pada kepastian dan kemudahan administrasi serta birokrasi perpajakan,” ujar Enny.
Dalam jajak pendapat pada Februari 2020 oleh Tokyo Shoko Research terungkap, 37 persen dari 2.600 perusahaan sedang menambah sumber bahan baku selain China. Adapun Japan Research Institute mengungkapkan, sejumlah produsen asal Jepang mempertimbangkan keluar dari China.
”Akan ada perubahan,” kata ekonom Japan Research Institute, Shinichi Seki, sebagaimana dikutip media Hong Kong, South China Morning Post.
Perusahaan yang keluar terutama perusahaan yang memasarkan produk ke luar China. Perusahaan yang fokus ke pasar China diperkirakan akan terus bertahan di negara itu.
Kementerian Perdagangan China, Kamis, mengklaim belum melihat eksodus besar-besaran modal asing dari negara itu di tengah pandemi Covid-19. Dikatakan, banyak perusahaan Jepang telah menyatakan keinginan mereka untuk meningkatkan investasi di China.
Juru bicara Kementerian Perdagangan China, Gao Feng, menyatakan tidak akan ada perubahan tren globalisasi sekalipun mungkin saat-saat ini tengah diuji lewat kondisi seperti pandemi Covid-19.