Ketika Satu Barel Minyak Lebih Murah dari Sebotol Anggur
Banyak analis melihat gejolak harga minyak yang sempat menembus minus 40 dollar AS per barel adalah sifat khas kontrak harga minyak berjangka. Namun, kondisi itu mengisyaratkan tantangan industri minyak yang berat.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
NEW YORK, RABU — Harga satu barel minyak sekarang lebih murah daripada sebotol minuman anggur murah, tulis kantor berita Associated Press, Rabu (22/4/2020). Gejolak harga minyak diproyeksikan belum akan selesai dalam waktu dekat. Efek kelindan pandemi Covid-19 telah merontokkan permintaan energi secara global. Perang harga minyak pun tak terelakkan.
Informasi tentang harga minyak menjadi perbincangan publik global dalam beberapa pekan terakhir. Perbincangan itu memuncak setelah harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) menjadi minus pada Selasa (21/4/2020) WIB atau awal pekan di Amerika Serikat.
Harga minyak mentah patokan AS yang akan dikirim pada Mei itu turun hingga minus 40 dollar AS per barel pada hari Senin. Ini merupakan pertama kalinya harga kontrak berjangka untuk minyak menjadi negatif.
Sehari kemudian, harganya naik lagi. Minyak mentah AS naik sekitar 20 persen karena kontrak untuk pengiriman bulan Mei berakhir dan pelaku pasar pun bertransaksi untuk kontrak bulan Juni. Pada Selasa pagi WIB, harga minyak WTI naik 2,05 dollar AS per barel ke level 13,62 dollar AS per barel. Harga minyak mentah Brent, yang ditutup turun 24 persen pada sesi sebelumnya, berada di level 18,63 dollar AS per barel.
Banyak analis melihat gejolak harga minyak pekan ini merupakan sifat khas beberapa hal, khususnya terkait kontrak harga minyak berjangka. Ekstraksi minyak masih berjalan, dan hasilnya harus disalurkan serta disimpan di satu tempat. Ketika kontrak akan berakhir, sejumlah pelaku pasar rela membayar pembeli potensial untuk mengambil minyak dari tangan mereka. Jadilah harga minyak minus.
Tantangan serius
Anjloknya harga minyak itu, menurut sejumlah analis, mengandung hal lain yang lebih serius. Kondisi saat ini terutama mengisyaratkan bahwa industri minyak berada dalam tantangan yang tidak ringan. Jika kondisi itu berlanjut, bukan tidak mungkin efeknya bagi perekonomian global juga tidak ringan. Hal itu bisa dilihat dari turunnya permintaan atas energi selama pandemi Covid-19 berlangsung.
Anjloknya harga minyak, menurut sejumlah analis, mengisyaratkan tantangan industri minyak yang tidak ringan. Jika kondisi ini berlanjut, efek bagi perekonomian global juga tidak ringan.
Mayoritas negara di dunia membatasi pergerakan orang selama pandemi penyakit itu. Perjalanan udara telah sangat dibatasi dan jutaan orang bekerja dari rumah. Penggunaan kendaraan bermotor turun drastis. Akibatnya, permintaan terhadap bahan bakar pun turun. Konsumsi energi untuk kebutuhan industri pun turun karena pabrik-pabrik ditutup sementara.
Negara-negara penghasil minyak utama memangkas produksi dengan harapan meningkatkan harga minyak. Namun, langkah itu tetap tidak menyelesaikan masalah atas permintaan global yang sudah lemah. Perang harga berapa pun secara ekonomi tidak akan ada gunanya selama kondisi saat-saat ini belum beranjak menuju pemulihan.
Pada awal bulan ini, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan para mitranya—dengan tekanan politik dari Pemerintah AS—sepakat untuk mengendalikan produksi minyak. Arab Saudi mengatakan, Selasa, bahwa pengurangan akan mencapai hampir 12,5 juta barel per hari. Riyadh pun siap mengambil tindakan lebih lanjut bersama dengan OPEC dan produsen lainnya.
Namun, mungkin tekad itu tidak akan cukup untuk mengekang kelebihan pasokan besar. Menurut Badan Energi Internasional, permintaan global diperkirakan anjlok 29 juta barel per hari bulan ini.
Di Texas, yang memproduksi sekitar 40 persen dari minyak AS, regulator mempertimbangkan pengurangan produksi sebesar 20 persen atau sekitar 1 juta barel per hari mulai 1 Juni mendatang. Regulator pun siap membebaskan produsen yang lebih kecil dengan syarat negara bagian dan lainnya menyetujui tambahan 4 juta barel per hari pemotongan.
”Ini tidak akan menyeimbangkan pasar dengan sendirinya, tetapi para pendukung hal itu berpendapat langkah itu dapat memotivasi pemotongan OPEC-plus yang lebih dalam,” kata Direktur Pelaksana Clearview Energy Partners Kevin Book.
Tak ada yang untung
Dalam situasi pelik itu, plus harga minyak yang rendah, tidak ada yang diuntungkan. Situasi yang dihadapi produsen maupun konsumen sama. Dari sisi konsumen, toh sekalipun harga minyak turun, mereka tidak dapat menikmati hal itu karena aktivitas mereka tengah dibatasi akibat pandemi.
Dari sisi produsen, kerugian sudah jelas. Bahkan, perusahaan minyak pun sudah harus bersiap-siap memberhentikan ribuan karyawan. Dalam beberapa kasus, mereka menutup sumur-sumur yang ada, yang secara permanen dapat merusak ladang minyak.
Produsen minyak serpih AS bahkan sudah berjuang secara finansial sebelum pandemi melanda. Banyak lagi di antara mereka diperkirakan mengajukan klaim kebangkrutan jika harga terendah terus bertahan.
”Jika industri minyak turun, mungkin ratusan ribu orang diberhentikan. Lambat laun mungkin produksi itu kembali ada dan pekerjaan itu datang lagi. Namun, mereka mungkin tidak akan pernah kembali ke Texas dan AS,” kata Ryan Sitton, komisaris di Railroad Commission of Texas, yang mengatur industri minyak negara. (AP/REUTERS)