Demi Penghematan, Arab Saudi Naikkan Pajak dan Tunda Bantuan Uang Tunai
Arab Saudi mengumumkan defisit APBN 9 miliar dollar AS sepanjang kuartal pertama 2020. Hal ini setelah pendapatan migas dan nonmigas terpangkas menyusul penurunan harga minyak dan perlambatan ekonomi akibat Covid-19.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
RIYADH, SENIN — Arab Saudi menunda pencairan bantuan langsung tunai demi mengurangi belanja negara. Riyadh juga akan menaikkan pajak tiga kali lipat.
”Bantuan biaya hidup akan ditunda mulai 1 Juni 2020. Pajak pertambahan nilai akan naik 15 persen dari sebelumnya, 5 persen, mulai 1 Juli 2020,” kata Menteri Keuangan Arab Saudi Mohammed al-Jadaan, Senin (11/5/2020), di Riyadh, Arab Saudi.
”Kebijakan ini menyakitkan, tetapi dibutuhkan untuk menjaga stabilitas keuangan dan ekonomi dalam jangka pendek dan jangka panjang,” lanjut Jadaan.
Bantuan langsung tunai (BLT) senilai 1.000 riyal diberikan kepada setiap pegawai negeri sipil (PNS) sejak tahun 2018. Dari 33,7 juta warga Arab Saudi, sebanyak 1,5 juta orang menjadi PNS. Bersamaan dengan itu, Riyadh juga mulai menarik Pajak Pertambahan Nilai (PPn). Sebelumnya, Arab Saudi tidak menarik pajak dalam bentuk apa pun.
Penundaan BLT dan kenaikan PPn tersebut disampaikan setelah Kementerian Keuangan Arab Saudi mengumumkan defisit APBN sebesar 9 miliar dollar AS sepanjang kuartal pertama 2020. Defisit APBN itu terjadi setelah pendapatan migas dan nonmigas Arab Saudi terpangkas oleh penurunan harga minyak dan perlambatan ekonomi akibat Covid-19. Pendapatan migas Riyadh sepanjang kuartal pertama 2020 terpangkas 25 persen menjadi 34 miliar dollar AS.
Pendapatan migas Riyadh sepanjang kuartal pertama 2020 terpangkas 25 persen menjadi 34 miliar dollar AS.
”Semua tantangan ini memangkas pendapatan negara, menekan keuangan negara sampai tahap yang sangat sulit untuk mempertahankan kebijakan sekarang tanpa menimbulkan dampak jangka pendek dan jangka panjang. Dibutuhkan pemangkasan belanja dan langkah untuk mendukung stabilitas pendapatan nonmigas,” kata Jadaan.
Penghematan lain yang dilakukan Riyadh adalah menunda sejumlah belanja di berbagai lembaga negara. Bahkan, dana Visi 2030 yang digadang sebagai pengembangan ekonomi Arab Saudi selepas ketergantungan pada minyak pun ikut dipangkas. Pada Maret 2020, semua kementerian dan lembaga juga diminta memangkas anggaran hingga setidaknya 20 persen dari rencana awal.
Tidak ada kejelasan apakah proyek NEOM, proyek pengembangan kawasan wisata dan bisnis terpadu di tepi Laut Merah, ikut terdampak langkah penghematan. Proyek itu ditaksir membutuhkan 500 miliar dollar AS. Riyadh berusaha mencari pendanaan asing bagi proyek yang digagas Putra Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman itu.
”Pemerintah membatalkan dan menunda belanja sejumlah lembaga negara dan memangkas belanja proyek utama yang dikenalkan sebagai upaya meragamkan sumber pendapatan negara,” ujar Jadaan.
Riyadh telah membentuk tim untuk menimbang pilihan bantuan bagi PNS dan pegawai swasta selepas penghematan ditetapkan. Rekomendasi mengenai hal itu diharapkan akan diserahkan dalam 30 hari mendatang.
Bukan kali ini saja Riyadh mengumumkan penghematan. Pada 2015, kala harga minyak jatuh dari rata-rata 100 dollar AS per barel menjadi rata-rata 40 dollar AS per barel, Riyadh juga memulai penghematan dan memulai kajian mencari sumber pendapatan selain minyak. Sejak 2015, APBN Arab Saudi selalu defisit gara-gara harga minyak anjlok. Hingga 70 persen sumber pendapatan Arab Saudi berasal dari penjualan minyak.
Arab Saudi juga terus menambah utang untuk menutupi defisit APBN dan mendanai sejumlah proyeknya. Pada 2020, Riyadh mempertimbangkan tambahan utang hingga 60 miliar dollar AS untuk menutup defisit. (AFP/REUTERS)