Delhi, Kisah tentang Bertumbuhnya Sebuah Kota
Isu permukiman di perkotaan seperti New Delhi, India, menyingkapkan sejarah masa lalu yang memprihatinkan. Perlu perencanaan matang agar warga kota, termasuk warga miskin kota, sejahtera.
Kenangan masa kecil Paras Tyagi di kampung halamannya di Desa Budhela, Delhi, India, masih tersimpan rapi. Rumah yang ditinggali semasa kecil dan sekolahnya, yang juga sekolah ayah dan kakeknya, masih tegak berdiri. Begitu pula dengan rumah-rumah tetangga yang ia kenal baik semasa kecil.
Sayang, tanah kebun milik kakeknya sudah lama hilang. Kolam air yang dulu menjadi tempat minum ternak juga sudah diuruk dan disemen menjadi bangunan apartemen, perkantoran, dan stasiun kereta yang menjulang tinggi.
Baca juga: Sanjay, ”Matahari India” yang Sedang Terbit
Desa Budhela merupakan satu dari 135 permukiman di tengah kota yang tidak dimasukkan ke dalam perencanaan pembangunan kota. Dari hampir 1 juta penduduknya, mayoritas tidak memiliki sertifikat rumah yang mereka tinggali.
”Ini termasuk permukiman tertua di Delhi, tetapi sampai sekarang tidak punya sertifikat. Sudah begitu, kami kena polusi, kemacetan, dan gentrifikasi (imigrasi penduduk kelas ekonomi menengah ke kota yang kondisinya buruk atau baru saja diperbaiki),” kata Tyagi, Wakil Ketua Pusat Hukum dan Lingkungan Budaya Pemuda (CYCLE), lembaga kebijakan publik nonprofit.
Tyagi menjelaskan, permukiman kampung di perkotaan selama ini menjadi pilihan tempat tinggal bagi keluarga miskin dan pekerja migran. Perkampungan itu pun awalnya berasal dari ruang komersial untuk pabrik dan pasar modern. Sebelum dipatok-patok untuk itu, dulu sebagian besar wilayah Delhi adalah lahan pertanian.
Meski lahan itu sudah diakuisisi pemerintah, sebagian warga masih tetap tinggal di daerah yang berdekatan atau disebut lal dora atau garis pembatas merah. Sebagian tanah lal dora dirancang menjadi permukiman kampung di perkotaan yang dikelilingi mal dan bangunan lain. Jumlah lal dora itu bertambah dari yang dulunya 20 permukiman pada 1962 menjadi 135 permukiman.
Tanpa pengawasan
Ketiadaan sertifikat atau dokumen apa pun untuk properti di permukiman itu membuat banyak kampung perkotaan itu dikelola keluarga-keluarga kaya dan berpengaruh. Permukiman itu jarang, bahkan tidak pernah, diawasi pemerintah. Kini, perhatian mulai tertuju ke permukiman kampung perkotaan ini karena adanya rencana mengintegrasikan lahan lal dora ke dalam perencanaan perkotaan.
Baca juga: Nasib Tunawisma di New Delhi, Diancam Warga dan Petugas Keamanan
”Sebelum melakukannya, pemerintah harus memahami karakter unik dan sejarah permukiman kampung perkotaan itu,” kata peneliti di lembaga kajian Pusat Penelitian Kebijakan di Delhi, Kanchi Kohli.
Kohli menjelaskan, wilayah-wilayah lal dora tumbuh sangat cepat, tetapi tidak diikuti dengan fasilitas publik yang memadai. Untuk itu, lal dora harus masuk dalam bagian rencana perencanaan kota Delhi. Hanya saja, proses itu selama ini rumit. Jika lal dora mau diintegrasikan, warganya harus dilindungi supaya hak mereka atas tanah itu tidak dirampas.
Berdasarkan perkiraan PBB, hampir 70 persen populasi dunia akan hidup di wilayah perkotaan pada 2050. Di India, seperti negara-negara lain, proses urbanisasi yang cepat mendesak pemerintah membangun lebih banyak apartemen dan jaringan kereta api metro. Ini yang menyebabkan banyak bangunan dan kompleks tua yang diratakan dengan tanah.
Kalau ini dibiarkan, kota-kota bukan hanya akan kehilangan sejarah dan warisannya, melainkan juga nilai-nilai tradisional yang mengajarkan inklusivitas, keberlanjutan, dan ketahanan.
Daya tarik
Kota-kota besar, seperti Delhi dan Mumbai, setiap hari dipadati ribuan migran dari berbagai desa di India yang berusaha meraih kehidupan yang lebih baik. Namun, karena sulit mencari tempat tinggal yang memadai dan terjangkau, banyak yang terpaksa hidup di permukiman kumuh yang tidak memiliki layanan paling dasar, seperti air bersih dan toilet.
Di Delhi, uang sewa untuk rumah di permukiman kampung perkotaan lebih rendah ketimbang flat atau semacam rumah susun. Namun, fasilitasnya lebih baik ketimbang di permukiman kumuh. Oleh karena itu, rumah di permukiman kampung kota lebih banyak disewa pelajar, pekerja migran, dan para usahawan kecil.
Belakangan, permukiman kampung perkotaan, seperti Hauz Khas dan Shahpur Jat, yang kondisinya sudah diperbaiki kini mulai dilirik butik-butik perancang busana dan kafe serta bar. ”Ini merefleksikan cara pemanfaatan lahan di kampung kota selama bertahun-tahun dan sering kali ilegal,” kata Kohli.
Rencana perbaikan layanan publik di kampung kota sebenarnya sudah ada sejak tahun 1979. Idenya datang dari Otoritas Pembangunan Delhi lalu dialihkan ke Korporasi Kota. Kementerian Perumahan Federal India kemudian membentuk komite khusus untuk mengkaji integrasi wilayah lol dora dalam ”Master Plan Delhi Menuju 2021”.
Lihat juga: Duka dari Mumbai
Pada 2007, komite itu menilai kampung kota tidak dianggap sebagai perbaikan kualitas urbanisasi yang diharapkan. Komite itu merekomendasikan akomodasi modern dan layak bagi penghuni dengan fasilitas lengkap. Selain itu, juga harus dilindungi kebijakan pemanfaatan lahan yang liberal dan sertifikat properti yang diperbarui.
Perencanaan kota
Pakar perencanaan kota di Sekolah Perencanaan dan Arsitektur di Delhi, Ruchita Gupta, menilai Master Plan Delhi Menuju 2021 menekankan pembangunan kembali kampung kota penting, tetapi tidak ada perencanaan yang jelas. Kampung kota tidak bisa dibangun sama dengan apartemen atau bangunan bertingkat tinggi lainnya. ”Kampung kota punya karakter khas dan punya nilai budaya dan sejarahnya sendiri. Kita bisa membangun bangunan yang lebih baru dengan memasukkan nilai budaya dan karakter khas itu dengan melibatkan masyarakat di situ,” tuturnya.
Leenu Sehgal, komisaris perencanaan, mengatakan, pemerintah sedang menyusun aturan hukum baru untuk mengelola kampung kota. Sekarang sedang dikaji kembali semua aspek, mulai dari sanitasi sampai bentuk bangunan.
Di seluruh wilayah India, kota-kota kesulitan memenuhi kebutuhan warga yang tinggal di permukiman informal dan tak banyak yang memperbaiki kualitas bangunan dan menyediakan fasilitas dasar. Padahal, layanan dasar, seperti air bersih, itu penting, apalagi di saat pandemi Covid-19 seperti ini.
Tahun lalu, pemerintah federal akan melegalisasi sekitar 2.000 lahan permukiman tanpa izin di Delhi, memperbarui infrastruktur, dan memberikan lebih dari 4 juta warga yang berhak memiliki rumah yang mereka tempati.
Kampung Budhela yang dipadadi 350 rumah tangga berdempetan dan dihuni sekitar 4.500 warga juga dalam kondisi memprihatinkan. Gang-gang sempitnya selalu kebanjiran saat musim hujan. Got-got dibiarkan terbuka dan tidak ada satu pun ruang hijau. Warga juga frustrasi karena tidak bisa mengagunkan rumahnya untuk meminta pinjaman bank karena tidak ada sertifikat apa pun.
”Kami hanya minta fasilialtas dasar supaya bisa hidup bermartabat. Sayangnya, wilayah lal dora itu tanah tak bertuan. Tidak ada yang mau bertanggung jawab. Kami tidak tahu akan seperti apa jadinya nanti,” kata Tyagi. (REUTERS)