Pemerintah dan Taliban Harus Bangun Rasa Saling Percaya demi Perdamaian
Kekerasan terus terjadi di Afghanistan. Warga sipil selalu menjadi korban, termasuk anak-anak dan bayi. Pemerintah Afghanistan dan Taliban harus membangun rasa saling percaya demi menciptakan perdamaian di negerinya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
AFGHANISTAN, KAMIS — Kekerasan bersenjata yang kembali terjadi hampir setiap hari dan membunuh banyak orang membuat proses perdamaian Afghanistan semakin tidak menentu. Kesepakatan damai yang diteken Amerika Serikat dan kelompok Taliban di Doha, Qatar, akhir Februari 2020, belum berhasil mengurangi konflik paling mematikan di dunia itu akibat tidak ada saling percaya dalam melaksanakan kesepakatan.
Perjanjian damai menjadi seremoni formal sebab, begitu para pihak meninggalkan Doha, kekerasan di lapangan kembali terjadi sejak awal Maret. Kekerasan terbaru terjadi di kota Gardez, Afghanistan timur, Kamis (14/5/2020) siang WIB. Sebuah bom truk meledak di dekat gedung pengadilan militer sehingga lima orang tewas dan belasan orang terluka.
Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Afghanistan, Tareq Arian, khawatir, jumlah korban tewas akibat ledakan itu kemungkinan bertambah. ”Kami mengkhawatirkan banyak warga sipil terluka atau bahkan tewas akibat kejadian itu,” kata Arian.
Menurut dia, kelompok militan Haqqia, yang masih memiliki hubungan dengan Taliban dan kelompok militan yang berbasis di Pakistan, Laskar e Taiba, bertanggung jawab atas serangan itu. Juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, menyatakan, pihaknya bertanggung jawab atas serangan itu.
Kekerasan di Gardez terjadi berselang sehari setelah dua kekerasan bersenjata beruntun mengguncang Kabul dan Nangarhar, Selasa (12/5). Serangan pertama menarget rumah sakit bersalin yang dikelola lembaga amal Dokter Tanpa Batas (MSF) di Kabul sehingga 24 orang tewas, termasuk dua bayi. Serangan kedua di Nangarhar, Afghanistan timur, membunuh 24 orang di acara pemakaman.
Zalmay Khalilzad, Utusan Khusus AS untuk Perdamaian Afghanistan, terkejut atas serangan terbaru serta mengecamnya sebagai perbuatan keji dan tidak berperikemanusiaan. Dia sedang berkeliling di Asia Selatan untuk mencari jalan baru agar proses perdamaian di negara asalnya berjalan lagi.
Presiden Afghanistan Ashraf Ghani mengecam kekerasan yang muncul dan memerintahkan militer Afghanistan mengubah sikap dari semula defensif menjadi ofensif. Namun, Ghani tidak detail menjelaskan sasaran serangan ofensif militer setelah itu. Taliban dan kelompok teroris Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) mesti dilawan.
Khalilzad mengajak Kabul dan Taliban berdamai. Ia berkicau di Twitter dengan mengatakan, pemerintah dan Taliban mesti bersatu melawan kelompok militan pelaku kejahatan kemanusiaan terhadap warga, termasuk anak-anak dan bayi.
Beberapa pakar menilai, eskalasi kekerasan terjadi sebagai upaya mementahkan perjanjian damai yang diteken di Doha. ”Saya tak melihat kemungkinan perdamaian terus berlangsung,” kata sumber di Kongres AS.
Perundingan intra-Afghanistan yang menjadi langkah lanjutan setelah kesepakatan Doha tidak berjalan karena Taliban dan Kabul tidak sepakat soal mekanisme pertukaran tawanan, yang merupakan salah satu butir kesepakatan Doha.
Ali Khail, analis pertahanan yang juga merupakan mantan anggota militer Afghanistan pada era 1980-an, menilai, tidak adanya rasa saling percaya imbal balik antara Taliban dan Pemerintah Afghanistan membuat perjalanan perdamaian menjadi tidak menentu.
Masalah ketidakpercayaan ini menjadi hal yang harus diselesaikan sebelum melangkah bersama memerangi ”kelompok militan” lainnya. Dia berkata, bangunlah rasa saling percaya itu. (AFP/REUTERS)