Ghani-Abdullah Berbagi Jabatan, Janjikan Pemerintahan Inklusif di Afghanistan
Kedua kubu di pemerintahan Afghanistan itu sepakat untuk membagi kekuasaan dan posisi di kabinet sama rata. Kesepakatan ini melegakan banyak pihak di tengah kondisi keamanan di Afghanistan semakin mengkhawatirkan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
KABUL, SENIN — Presiden Afghanistan Ashraf Ghani dan rivalnya, Abdullah Abdullah, sepakat untuk mengakhiri konflik politik di antara mereka yang sudah berlangsung lebih kurang selama tiga bulan. Keduanya menandatangani kesepakatan politik dan menjanjikan pembentukan pemerintahan yang inklusif serta fokus pada keberlangsungan perdamaian di negara tersebut.
Salah satu poin penting kesepatakan itu adalah mendudukkan Ghani sebagai Presiden Afghanistan dan menempatkan Abdullah Abdullah sebagai Ketua Dewan Rekonsiliasi Nasional Afghanistan. Keduanya juga sepakat untuk membagi posisi di kabinet sama rata bagi para pendukungnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Ghani juga bisa mengeluarkan perintah eksekutif.
Penandatanganan kesepakatan itu dilaksanakan pada Minggu (17/5/2020) siang waktu setempat. Juru bicara kedua belah pihak, Sediq Sediqqi (jubir Ghani) dan Omed Maisam (jubir Abdullah) menyebutkan bahwa dewan memiliki kewenangan untuk menangani dan menyetujui semua urusan yang terkait dengan proses perdamaian di Afghanistan. Selain itu, anggota dewan ini juga akan diisi masing-masing oleh lima wakil dari kedua kubu.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo menyambut baik penandatanganan kesepakatan tersebut. Dia berharap rujuknya kedua pemimpin Afghanistan itu dibarengi dengan komitmen untuk mewujudkan perdamaian di Afghanistan.
Meski menyesalkan adanya waktu yang terbuang karena ketidaksepakatan kedua kubu, Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Morgan Ortagus mengatakan, kesepakatan ini menjadi pintu masuk bagi perundingan intra-Afghanistan yang lebih luas.
Kesepakatan kedua kubu ini melegakan banyak pihak mengingat kondisi keamanan di Afghanistan belakangan ini semakin mengkhawatirkan. Selama sepekan terakhir, lebih dari 50 orang warga sipil Afghanistan, termasuk dua di antaranya bayi yang baru lahir, tewas karena serangan kelompok bersenjata.
Kelompok Taliban hanya mengakui satu serangan dari sedikitnya tiga serangan yang terjadi sepanjang pekan lalu dan mengakibatkan puluhan warga sipil tidak berdosa tewas. Dua serangan lainnya diduga dilakukan kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), termasuk sebuah serangan ke sebuah rumah sakit bersalin di Ibu Kota Kabul.
Serangan tersebut mendapat kecaman dari dunia internasional. Masyarakat internasional mendesak agar pelaku serangan di rumah sakit bersalin itu diseret ke pengadilan. Serangan terhadap rumah sakit merupakan pelanggaran atas hukum humaniter internasional.
Serangan demi serangan terhadap warga sipil dan pihak keamanan Afghanistan menafikan seluruh isi kesepakatan damai yang telah ditandatangani Pemerintah Amerika Serikat dan kelompok Taliban di Doha, Qatar, 29 Februari lalu.
Konflik antara dua kubu, Ghani dan Abdullah, juga telah menunda dimulainya perundingan intra-Afghanistan yang seharusnya dimulai pada 10 Maret lalu. Kengototan kedua kubu membuat pemerintah AS memutuskan untuk memotong bantuan keuangan senilai 1 miliar dollar AS jika keduanya tidak dapat menyelesaikan perbedaan di antara mereka.
Kabinet inklusif
Seusai penandatanganan kesepakatan tersebut, Ghani tidak terlalu banyak berkomentar. Sebaliknya, Abdullah melalui akun Twitter-nya menyatakan bahwa dirinya dan Ghani berkeinginan untuk melindungi, melayani, dan menyejahterakan seluruh rakyat Afghanistan. Adapun Ghani menyatakan turut berempati atas hilangnya nyawa warga Afghanistan yang tidak berdosa akibat kekerasan bersenjata selama sepekan terakhir.
Abdullah juga mengatakan, dirinya dan Ghani memiliki komitmen bersama untuk membentuk pemerintahan yang inklusif, akuntabel, dan kompeten untuk melaksanakan tugas sebagai anggota kabinet dan tugas kenegaraan, khususnya menghadapi masalah-masalah kronis di negara tersebut, yaitu penghormatan terhadap hukum, penanggulangan pandemi Covid-19, korupsi-kolusi-nepotisme, serta ketidakadilan.
”Sekarang kita harus bersikap dan bekerja sama sebagai satu bangsa, mencari jalan keluar yang praktis untuk setiap persoalan,” kata Abdullah.
Pada saat yang sama, Abdullah juga menekankan bahwa tidak ada satu pun individu atau sekelompok orang yang bisa memaksakan kehendaknya dengan menggunakan kekerasan. ”Saya berjanji untuk bekerja sebaik mungkin dengan semua pihak,” ujarnya.
Salah satu poin penting pada kesepakatan setebal lima halaman itu adalah pemberian pangkat marsekal kepada Jenderal Abdul Rashid Dostum, seorang pendukung kuat Abdullah yang juga merupakan mantan wakil presiden. Dostum pernah mengasingkan diri ke Turki pada 2017 setelah Jaksa Agung Afghanistan meluncurkan penyelidikan terhadapnya dengan tuduhan kejahatan perang hingga pelecehan seksual. (AP)