Pemerintah negara bagian dan kota-kota di bawahnya, menerapkan kebijakan jam malam untuk mengurangi kemungkinan warga tetap turun ke jalan di malam hari.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
Wali Kota New York, Bill de Blasio, harus berpikir keras. Sebagai salah satu kota terparah terpapar Covid-19, New York harus menjaga agar setiap warganya tetap mematuhi protokol kesehatan. Memakai masker, menjaga jarak sosial dan sebisa mungkin tinggal di dalam rumah serta menghindari kerumunan dalam jumlah besar adalah protokol kesehatan yang harus dilakukan warga agar menghambat penyebaran Covid-19 di negara bagian itu.
Tapi, gelombang protes atas kematian George Floyd, seorang warga kulit hitam di Minnesota, Minneapolis, rasanya tidak mungkin untuk dihadang. Warga New York tumpah ruah ke jalan, seperti kota-kota besar lainnya di Amerika Serikat, meneriakkan desakan penyelidikan atas kematian Floyd. Tidak hanya itu, mereka juga mendesak reformasi kepolisian dan penghargaan atas hak-hak warga kulit hitam serta warga kulit berwarna di negara adidaya itu.
Warga dari berbagai lapisan sosial, dari seluruh penjuru kota, tumpah ruah ke jalan-jalan di kota kosmopolitan ini. Kawasan elite Manhattan juga dipenuhi pendemo. Ada yang benar-benar menyerukan dan meneriakkan tuntutan keadilan bagi Floyd dan warga kulit hitam atau kulit berwarna lainnya yang menjadi korban brutalitas polisi. Namun, ada juga yang memanfaatkan demo itu untuk menjarah, mengutil dan tindakan anarkisme lainnya.
De Blassio yang memiliki keluarga campuran, awalnya menolak gagasan pemberlakuan jam malam. Tapi, penjarahaan yang makin intens dan anarkisme membuatnya tidak memiliki pilihan lain.
Awalnya De Blassio masih memberikan toleransi agar warga masih bisa melaksanakan aktivitas hingga jelang tengah malam. Namun, mulai Rabu (3/6) dia memutuskan untuk menerapkan jam malam yang lebih ketat untuk membatasi kegiatan warganya. Jam malam dimulai pukul 20 dan baru berakhir pukul 5 pagi dan berlaku sepanjang pekan ini.
Penyeimbang
Kerusuhan rasial yang sudah berlangsung lebih dari sepekan dan mengguncang seluruh kota utama AS, mulai dari Atlanta, Philadelphia, Los Angeles, Chicago hingga ibu kota Washington DC, membuat pemerintah masing-masing kota menerapkan jam malam. Minnesota, kota yang menjadi awal kegiatan demonstrasi sebelum menyebar ke kota-kota lainnya bahkan hingga ke negara lain, menjadi kota pertama yang menerapkan jam malam.
Menyusul Washington DC di hari Minggu (31/5) dan kemudian New York pada Senin. De Blasio mengubah dan memperketat jam malam itu mulai Selasa (2/6). New York, sebelum kejadian ini, selama hampir 80 tahun, tidak pernah menerapkan jam malam. Keputusan de Blasio adalah yang pertama kalinya setelah kerusuhan rasial pada Agustus 1943 setelah seorang polisi berkulit putih menembak mati seorang tentara berkulit hitam, Robert Bandy, di Manhattan.
Dikutip dari laman CNN, yang mengutip The New York Times, Wali Kota New York saat itu, LaGuardia, memerintahkan penerapan jam malam mulai pukul 22.30 hingga pagi hari setelah terjadi kerusuhan rasial yang mengakibatkan lima orang tewas dan ratusan warga dari kedua pihak bertikai terluka. Jalan-jalan ditutup dan toko-toko minuman keras dilarang beroperasi untuk meredakan ketegangan.
Pihak berwenang mengatakan, jam malam tidak dimaksudkan untuk membatasi hak orang untuk melakukan protes – hak yang dilindungi Amandemen Pertama Konstitusi AS. Jam malam dimaksudkan untuk menindak para pelaku kekerasan dan penjarahan yang umumnya terjadi setelah matahari tenggelam
Dennis Kenney, ahli peradilan pidana di John Jay College of Criminal Justice – Universitas New York, mengatakan, jam malam adalah bagian dari tindakan penyeimbang. “Jam malam menjadi alat yang efektif untuk mencegat mereka yang akan melakukan kerusuhan dan segala jenis aktivitas yang, saya kira semua orang setuju, jelas-jelas kita lawan,” kata Kenney.
Kenney menjelaskan, pada dasarnya, ide pemberlakuan jam malam bukan untuk mengganggu atau menghalani orang untuk mengekspresikan diri dan pendapatnya, dalam bentuk protes. Polisi, menurut dia, juga tidak berharap kebijakan itu akan dihormati. “Tapi, jam malam adalah alat yang efektif untuk mencegah individu atau kelompok untuk menjarah,” kata dia.
Harus diakui pada titik tertentu warga merasa kebijakan itu menindas hak-hak mereka sebagai warga negara. Hal itulah yang membuat warga akhirnya resisten terhadap kebijakan seperti ini.
Jasmon Bailey, sosiolog di University of Maryland, percaya jam malam tidak bisa mencegah terjadinya kerusuhan. Sebaliknya, kebijakan itu memperparah masalah sesungguhnya yang berujung pada penangkapan sewenang-wenang oleh polisi. Sejauh ini lebih dari 6000 orang warga ditangkap polisi.
Dia mengatakan polisi dapat menggunakannya untuk secara selektif dan memusatkan perhatian pada pelaku penjaraan dibandingkan para peserta aksi damai atau warga yang melintas atau bahkan para jurnalis yang meliput aksi ini.
Mengenai keadilan dan efektivitas pemberlakuan jam malam, tampaknya itu subjektivitas masing-masing pihak. Namun, ada kesepakatan diantara para ahli bahwa kebijakan jam malam haruslah singkat. Pemberlakuan jam malam yang panjang, berhari-hari, bisa menjadi subyek hukum di pengadilan. (AFP)