Migrasi Gajah ke Kampung Halaman Bawa Tekanan Baru
Ribuan gajah yang selama ini menjadi atraksi wisata di Thailand pulang kampung karena industri wisata jeblok akibat pandemi. Namun, daya dukung lingkungan di desa berubah.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
BANGKOK, KAMIS — Ribuan ekor gajah yang selama ini menjadi salah satu penopang industri pariwisata Thailand kembali ke kampung halamannya setelah jumlah kunjungan wisata jeblok hingga 80 persen karena pandemi Covid-19. Kembali ke desa tempat sebagian besar gajah itu berkembang menyelamatkan mereka.
Namun, kedatangan gajah itu kembali ke desa juga membuat tekanan baru terhadap kehidupan warga.
Menurut data Asosiasi Aliansi Gajah Thailand, jumlah gajah yang kembali ke ”kampung halamannya” berkisar 1.000-2.000 ekor. Sebagian terbesar kembali ke wilayah Thailand utara, tepatnya di Desa Huay Pakoot, tempat sebagian gajah-gajah wisata itu berasal.
”Mereka lelah tetapi agak bahagia,” kata Chaiyaporn, seorang mahout atau pawang gajah, setelah mereka tiba di Huay Pakoot. Seorang mahout lainnya menimpali. ”Mereka memiliki ingatan yang sangat baik. Tampaknya setelah bertahun-tahun mereka tidak pulang, mereka tetap tahu jalan menuju ke rumah,” katanya.
Theerapat Trungprakan, Presiden Asosiasi Aliansi Gajah Thailand, mengatakan, sejak rontoknya industri wisata Thailand selama dua bulan terakhir, seribuan gajah kembali ke kampung halamannya. Migrasi seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
Bagi pawang, perjalanan itu sangat melelahkan karena mereka harus menempuhnya dengan berjalan kaki, bersama gajah-gajah peliharaan mereka. Dengan kecepatan hanya 7,25 kilometer per jam, melewati jalan aspal dan tidak jarang harus menembus perbukitan untuk mencari makanan selama di perjalanan, mereka membutuhkan waktu berhari-hari untuk tiba di Huay Pakoot.
Mahout dan gajah-gajah itu berharap bisa bertahan hidup di kampung selama masa pandemi ini. Huay Pakoot selama ini dikenal sebagai salah satu daerah asal gajah-gajah yang tersebar di berbagai tempat wisata di ”Negeri Gajah Putih” itu. Di Huay Pakoot, gajah-gajah itu dianggap menjadi bagian dari keluarga mahout.
Namun, kepulangan bukan tanpa masalah. Desa yang terletak sekitar 180 kilometer sebelah timur kota Chiang Mai ini kelebihan beban. Semula, sebelum pandemi desa ini merawat sekitar 10 gajah, kini desa ini harus menampung 90-an gajah yang tinggal bersama sekitar 400 penduduk.
Pada saat yang sama, hutan yang ada di sekitar desa telah ditebangi untuk memberi ruang warga desa berkebun dan berladang. Kini tidak cukup ruang untuk mendukung kebutuhan kawanan besar itu.
”Seluruh desa tidak siap untuk menangani mereka,” kata Theerapat. Apalagi seekor gajah dewasa bisa menghabiskan puluhan bahkan ratusan kilogram rumput dalam sehari. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pawang.
Berkurangnya luasan area yang bisa dijelajahi kawanan gajah, termasuk untuk mencari makan, membuat tidak jarang kawanan gajah berkeliaran di sekitar lahan pertanian warga. Meski ditemani sang pawang, konflik antara gajah dan manusia pun kerap terjadi walau tidak ada yang terluka parah.
Jirayu Prateeppratarn, salah satu mahout yang baru berusia 19 tahun, mengatakan, membeli pakan bisa menjadi pilihan meski dirinya harus merogoh koceknya hingga 500 baht atau 15 dollar AS per hari. Namun, hal itu juga tidak bisa berlangsung lama karena dana yang dimilikinya juga menipis karena tidak ada pemasukan.
Mau tidak mau, gajah-gajah itu harus mencari makan sendiri. ”Lebih banyak rumput, pisang, dan tebu harus ditanam jika wabahnya berlangsung lebih lama,” katanya.
Theerapat sendiri memperingatkan adanya kemungkinan para mahout harus mengerjakan sesuatu yang ilegal, dalam hal ini pembalakan liar, agar bisa mendapatkan uang untuk membeli pakan gajah-gajah mereka. Hutan-hutan di wilayah perbatasan Thailand dan Myanmar bisa menjadi sasaran pembalakan bila kondisi ini terus berlangsung.
Beberapa orang berharap krisis tersebut membuat para pengambil kebijakan di sektor pariwisata, khususnya yang melibatkan gajah-gajah ini, berpikir ulang untuk melibatkan kembali mereka bila pandemi ini usai. Sifat hewan yang tidak bisa diatur dan seringkali brutal harus menjadi pertimbangan.
Meski menilai beban desa dan lingkungan semakin berat dengan kepulangan gajah-gajah itu, bagi seorang pawang lainnya, Sinchai Joroenbunpod, gajah-gajah itu memberikan kebahagiaan tersendiri bagi dirinya dan mungkin sebagian besar warga desa.
”Aku tumbuh bersama mereka. Mereka seperti kakak dan adikku,” katanya. (AFP/REUTERS)