Pejabat Filipina Kunjungi Pulau Sengketa di Laut China Selatan
Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana dan sejumlah pejabat militer negara itu mengunjungi sebuah pulau di Laut China Selatan. Kunjungan tersebut dapat memicu kritik dari Beijing.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
MANILA, RABU — Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana dan sejumlah pejabat militer negara itu, Selasa (9/6/2020), mengunjungi sebuah pulau di Laut China Selatan. Kunjungan tersebut diperkirakan dapat memicu kritik dari Beijing, mengingat status pulau itu disengketakan dan hanya berjarak beberapa mil laut dari sebuah pangkalan yang dibangun Pemerintah China.
Lorenzana dan rombongan berada di Pulau Thitu—nama pulau itu—untuk meresmikan pembangunan ruas jalan. Jalan menjadi bagian dari proyek pengadaan infrastruktur yang sangat dibutuhkan di pulau tersebut. Dari sisi Filipina, Pulau Thitu adalah pulau paling strategis di kawasan Laut China Selatan (LCS).
Jalan tersebut akan memungkinkan pengiriman aneka bahan bangunan dan alat berat ke pulau seluas 37 hektar itu. Pulau tersebut dihuni oleh warga sipil dalam jumlah kecil dan dijaga oleh sejumlah tentara Filipina. Keberadaan pulau dan warga yang tinggal di dalamnya ikut membantu menopang Filipina dalam upaya menuntut kedaulatan negara itu di LCS.
Lorenzana mengatakan, pemerintahnya mengalokasikan dana hingga 26 juta dollar AS di pulau itu. Dana tersebut masuk dalam program peningkatan kapasitas infrastruktur di pulau itu. Namun, dia menegaskan bahwa Pulau Thitu tidak akan menjadi tempat instalasi militer bagi Manila.
”Tujuan dari kegiatan ini adalah mengembangkan daerah ini menjadi komunitas yang layak,” ujar Lorenzana. Ia juga menyatakan keyakinannya bahwa Beijing tidak akan menganggap kunjungannya di pulau itu sebagai tindakan provokasi.
”Kami tidak akan melakukan militerisasi di sini. Saya menyebutnya militerisasi jika kami membawa senjata lain yang berat, seperti kanon atau rudal, semuanya. Kami tidak akan melakukan hal itu di sini,” tutur Lorenzana.
Kami tidak akan melakukan militerisasi di sini. Saya akan menyebutnya militerisasi jika kami membawa senjata lain yang berat, seperti kanon atau rudal.
Kedutaan Besar China di Manila tidak segera menanggapi permintaan komentar atas kunjungan tersebut. Thitu dikenal dengan nama Pulau Pagasa di Filipina. Pulau itu terletak 451 kilometer dari daratan. Pulau tersebut adalah pulau yang terbesar dari delapan kawasan gugusan pulau yang diklaim Beijing di Kepulauan Spratly.
Dalam pengembangan pulau di kawasan LCS, Filipina dilaporkan tengah mengatasi ketinggalannya dengan China dan Vietnam. Dua negara itu sibuk mengembangkan pulau-pulau yang mereka tempati atau membangun dari nol di atas pulau-pulau di kawasan LCS. Selain tiga negara itu, pihak pengklaim di LCS adalah Malaysia, Brunei Darussalam, dan Taiwan.
China mengklaim memiliki enam pulau buatan. Beberapa di antaranya dilengkapi dengan radar, landasan pacu, dan rudal darat-ke-udara. Hal itu termasuk Subi Reef yang hanya berjarak 24 kilometer dan terlihat dari Thitu.
Tanpa hambatan
Dalam kunjungan terakhir Lorenzana pada 2017, otoritas China memperingatkan pesawatnya untuk pergi. Namun, dalam kunjungannya pada Selasa, Lorenzana menyatakan tidak ada komentar dari pihak Beijing. Hal itu dinilainya sebagai tanda bahwa Beijing mengetahui niat damai Manila.
Masalah keamanan di kawasan LCS yang disengketakan dinilai turut membantu meyakinkan Filipina untuk menunda pengunduran diri dari pakta militer, utamanya dengan Amerika Serikat baru-baru ini. Hal itu dikatakan Duta Besar Filipina untuk AS Jose Manuel Romualdez pada tengah pekan lalu.
Diberitakan bahwa Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengumumkan Manila telah menangguhkan rencana untuk membatalkan Perjanjian Pasukan Kunjungan (VFA). Bagi AS, pakta aliansi itu penting bagi langkah Washington untuk melawan meningkatnya kekuatan regional Beijing. Adapun bagi Filipina, pakta itu juga berguna dalam menghadapi tekanan China.
Duterte sebelumnya menoleh ke China untuk membuka kerja sama perdagangan dan investasi. Langkah tersebut memicu kekhawatiran AS bahwa sekutu lama dan bekas koloninya itu akan berubah dan condong ke sisi Beijing. ”Karena masalah keamanan di LCS, kedua pemerintah (AS dan Filipina) telah melihat akan lebih bijaksana bagi kami untuk menunda penghentian (VFA),” kata Duta Besar Filipina untuk AS Jose Manuel Romualdez kepada media ANC.
Sejak mengambil alih kekuasaan pada 2016, Duterte sempat condong dan bergerak lebih dekat ke Beijing. Namun, dirinya menghadapi tekanan dari publik Filipina atas langkah itu. Militer Filipina juga mewaspadai ambisi teritorial Beijing di LCS yang disengketakan. (AFP/REUTERS)