Massa Pro Demokrasi Beraksi Menentang Dominasi Militer Thailand
Aktivis pro demokrasi di Thailand menggelar unjuk rasa untuk mengingatkan kembali pilihan negara itu pada sejarah politik Thailand dan menjaga gerakan demokrasi.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
BANGKOK, RABU — Para aktivis politik dari beberapa kelompok di Thailand menggelar aksi damai di 12 provinsi di negara itu, Rabu (24/6/2020). Mereka menentang sistem politik yang didominasi militer dan peniadaan monumen-monumen bersejarah tentang kebangkitan demokrasi di Thailand.
Aksi itu digelar dalam rangka memperingati revolusi rakyat pada 88 tahun silam yang mengakhiri monarki absolut di Thailand. Menguatnya dominasi militer dan penghapusan jejak-jejak sejarah, seperti patung para tokoh revolusi, serta simbol kebangkitan demokrasi, dinilai sebagai isyarat kembalinya kekuasaan absolut.
Patung-patung bernilai bersejarah dilaporkan telah menghilang di sejumlah tempat di Thailand. Monumen tersebut bukan warisan kolonialisme seperti yang dirobohkan para pengunjuk rasa di Amerika Serikat belum lama ini.
Sebaliknya, monumen yang hilang di Thailand adalah patung-patung para pemimpin ”Revolusi Siam”, yang secara resmi dihormati sebagai pahlawan nasional dan simbol demokrasi. Reuters mengidentifikasi setidaknya enam monumen yang mengabadikan momen revolusi dirobohkan dalam setahun ini.
Pada 88 tahun silam terjadi Revolusi (Kudeta) Siam yang kemudian dilihat sebagai titik balik krusial sejarah Thailand pada abad ke-20. Saat itu, 24 Juni 1932, sekelompok tokoh sipil dan militer Partai Rakyat (Khana Ratsadon)—partai politik pertama Thailand—melakukan kudeta tak berdarah yang mengubah sistem pemerintahan dari monarki absolut ke monarki konstitusional.
Revolusi itu mengakhiri 150 tahun absolutisme di bawah Dinasti Chakri dan hampir 800 tahun kekuasaan mutlak seorang raja dalam sejarah Thailand. Peristiwa tumbangnya kekuasaan monarki absolut itu pada Rabu ini diperingati kembali oleh para kelompok pro demokrasi.
Thailand berada di bawah kekuasaan militer selama lima tahun sampai dengan pemilihan tahun lalu. Namun, pemilu itu membuat mantan pemimpin junta, Prayuth Chan-ocha, berkuasa kembali.
Partai-partai oposisi menuding Prayuth menang karena melakukan kecurangan dalam pemungutan suara. Prayuth dan Pengadilan Thailand menolak klaim adanya manipulasi pemilu.
Aksi protes
Di sekitar Monumen Demokrasi Bangkok, Rabu pagi, berkisar 30-40 aktivis memutar video layar lebar terkait pidato yang dibuat para pemimpin Partai Rakyat setelah mereka menggulingkan pemerintahan Raja Prajadhipok dan melahirkan konstitusi pertama Thailand pada 88 tahun silam.
”Hari ini, 88 tahun yang lalu, pada waktu pagi, Partai Rakyat merebut kekuasaan dan mengubah sistem pemerintahan menjadi demokrasi,” kata aktivis pro demokrasi Anon Nampa.
Massa yang lain bergerak ke gedung parlemen di Bangkok. Kelompok aktivis ini menuntut amendemen konstitusi yang telah disusun junta militer baru-baru ini.
”Kami ingin menggunakan ulang tahun pemberontakan untuk menyampaikan pendapat kami tentang sifat problematis dari konstitusi saat ini yang dirancang oleh militer,” kata Anusorn Unno dari Komite Kampanye bagi Konstitusi Rakyat.
Harian Bangkok Post melaporkan, di Khon Kaen, Thailand selatan, sekitar 10 mahasiswa Universitas Khon Kaen berkumpul untuk membersihkan area di sekitar Monumen Demokrasi setempat. Mereka membawa spanduk dengan pesan mengingatkan publik tentang perubahan yang terjadi 88 tahun yang lalu.
Sejumlah tentara, polisi, dan pejabat setempat mengenakan pakaian seragam dan sipil mengawasi mereka. Seorang peserta aksi mengatakan, kegiatan itu untuk memperingati secara simbolis kebangkitan demokrasi agar generasi muda Thailand selalu mengingatnya.
Polisi mengatakan, mereka sedang memantau protes di setidaknya 12 provinsi. Thailand telah melarang pertemuan publik besar-besaran selama masa darurat akibat pandemi Covid-19, tetapi otoritas Thailand tidak melarang demonstrasi.
Pejabat tinggi militer, pemerintah, dan istana menolak menjawab pertanyaan yang diajukan Reuters terkait penghilangan patung dan penggantian nama kamp militer. Beberapa sejarawan mengatakan, monumen atau patung yang hilang itu mencerminkan pertarungan ideologis atas sejarah Thailand.
Dalam sambutannya pada Selasa (23/6/2020), Prayuth tidak secara langsung mengomentari aksi protes yang diketahuinya akan digelar pada Rabu ini. Namun, ia mengatakan kepada warga Thailand untuk tidak menentang monarki dan tidak melanggar hukum.
Thailand secara resmi menganut sistem monarki konstitusional yang dipimpin Raja Maha Vajiralongkorn. Ia memiliki kekuasaan yang sangat besar. (REUTERS)