Warga Semakin Berani Terbuka Kritik Monarki dan Raja
Aktivis prodemokrasi mulai berani mengkritik secara terbuka terhadap monarki dan Raja Thailand. Raja didesak untuk lebih mengayomi rakyat dan tidak menutup mata atas kesewenang-wenangan pemerintah.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
BANGKOK, SELASA — Sebagian masyarakat Thailand kini mulai secara terbuka mengkritik monarki dan mendesak Raja Maha Vajiralongkorn untuk membatasi kekuasaan absolutnya. Raja dan keluarga istana yang memiliki kekuasaan besar juga dinilai berdiam diri dan tidak menindak pemerintah yang telah sewenang-wenang terhadap pendukung demokrasi di negara itu.
”Kritik terbuka terhadap raja Thailand oleh non-elite, warga biasa, di tempat umum di Thailand–dengan polisi hanya berdiri–adalah yang pertama dari jenisnya dalam sejarah Thailand,” kata Paul Chambers, pengajar Hubungan Internasional di Universitas Naresuan, Thailand, seperti dilaporkan Reuters, Selasa (4/8/2020).
Chambers berbicara untuk merujuk kritik tajam kepada raja dan keluarga istana oleh demonstran belakangan ini. Kritik seperti itu sebenarnya tabu dalam budaya politik Thailand. Monarki dilindungi Undang-Undang Lese Majeste. Pengkritik raja dan keluarganya diancam 15 tahun penjara.
UU Lese Majeste di bawah pemerintahan junta militer dan kekuasaan Vajiralongkorn telah memakan banyak korban. Tidak hanya bagi aktivis, tetapi juga media. Vajiralongkorn naik takhta pada 2016 menggantikan Bhumibol Adulyadej,
Berdasarkan pemberitaan Kompas, tahun 2015, dua mantan mahasiswa dihukum 2,5 tahun penjara karena diduga menghina keluarga kerajaan dalam sebuah pementasan drama yang mereka lakonkan pada tahun 2010.
Tahun 2014, penyanyi sekaligus aktivis Thanat Thanawatcharanont (59) dijatuhi hukuman penjara 11 tahun dengan menggunakan pasal-pasal dalam UU Lese Majeste setelah pidato politiknya tahun 2011.
Tahun 2018, seorang editor sebuah majalah urban, Pim Kemasingki, terancam hukuman 15 tahun penjara ketika majalah yang diasuhnya menampilkan gambar patung tiga raja mengenakan masker. Alih-alih mendukung gerakan antipolusi, pemuatan gambar itu dinilai melecehkan kerajaan.
Kritik terbuka terbaru dilontarkan oleh 200-an aktivis prodemokrasi yang berdemo di sekitar Monumen Demokrasi Bangkok, Senin (3/8/2020). Para aktivis, yang mayoritas mengenakan kostum menyerupai para tokoh film Harry Potter, mengkritik istana raja dan pemerintahan Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, mantan pemimpin junta militer.
Terkait dengan kritikan terhadap raja dan keluarga kerajaan itu, seorang polisi, Surapong Thammapitak, mengatakan, pihaknya belum bisa menentukan pelanggaran yang dilakukan demonstran. Namun, dia memastikan, setiap pelanggaran akan diproses oleh tim penyidik.
Aktivis prodemokrasi yang juga seorang pengacara, Anon Nampa, di dalam orasinya menuding bahwa istana dan kaum monarki tidak menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk memberi perlindungan terhadap kelompok prodemokrasi dari kesewenang-wenangan pemerintah, yang kini dipimpin seorang eks militer. Kondisi ini tidak sebanding dengan kekuasaan yang dimilikinya.
Tidak hanya itu, sejumlah aktivis prodemokrasi juga memprotes keras tindakan yang diduga dilakukan oleh pemerintah dan alat kelengkapannya terhadap rekan mereka.
Menurut para aktivis, sembilan tokoh oposisi dan aktivis prodemokrasi Thailand yang tinggal di luar negeri menghilang. Dua di antaranya ditemukan tewas. Kantor berita Reuters belum bisa mengonfirmasi apa yang terjadi dengan para aktivis tersebut.
Anon mengatakan, kritik terhadap raja dan keluarganya tidak bermaksud untuk menjatuhkan mereka. Namun, bersamaan dengan adanya demokrasi, keberadaan monarki di dalam masyarakat Thailand harus selaras dengan kehidupan demokrasi yang ada di negara ini.
”Memungkinkan monarki ada di tengah masyarakat Thailand dengan cara yang benar dan secara sah di bawah monarki yang demokratis dan konstitusional,” kata Anon.
Selain Anon, dua kelompok mahasiswa membacakan tuntutan untuk memperbaiki kualitas kehidupan demokrasi di ”Negeri Gajah Putih” itu. Tuntutannya dimulai dengan pembatalan dan reformasi undang-undang yang memperluas kekuasaan raja, yang dapat memengaruhi demokrasi di mana raja berkedudukan sebagai kepala negara.
Mahasiswa dari dua kampus yang ikut dalam aksi tersebut, yang berasal dari Universitas Mahanakorn dan Universitas Kaset, juga menuntut hal lainnya, termasuk reformasi UU Lese Majeste yang membuat kritik terhadap keluarga kerajaan menjadi hal yang tabu.
Pihak istana tidak mengeluarkan komentar apa pun terhadap tuntutan aktivis prodemokrasi itu. Sementara, juru bicara pemerintah, Ratchada Thanadirek, mengatakan, mereka menyerahkan urusan tentang kritik warga terhadap istana kepada polisi.
”Pemerintah ingin para demonstran yang masih belia ini untuk tetap mematuhi hukum dan perundang-undangan yang berlaku agar mereka tetap bisa menyuarakan hak-hak mereka. Pada saat yagn sama, negara tetap harus berada dalam suasana damai,” katanya.
PM Prayuth dalam sebuah pidato pada bulan Juni lalu menyatakan, atas permintaan raja, tidak ada penuntutan berdasarkan UU Lese Majeste. Namun, Prayuth memperingatkan agar warga tidak mengkritik monarki tersebut.
Beberapa hari sebelumnya, sekelompok pendukung kelompok konservatif dan pendukung kerajaan di lokasi yang sama berdemo dan menyatakan keprihatinannya terhadap gerakan prodemokrasi yang dinilai merongrong martabat keluarga kerajan. (AP/REUTERS)