Kekerasan di Kongo, Milisi Bunuh Warga Hampir Tiap Hari
Militer Kongo melaporkan, sekelompok militan membunuh 16 orang saat menyerang satu desa terpencil di Kongo timur. PBB juga berulang kali telah memperingatkan, kekerasan etnis di Kongo adalah kejahatan perang.
Oleh
pascal s bin saju
·3 menit baca
KINSHASA, SELASA — Kekerasan bersenjata di Republik Demokratik Kongo di Afrika Tengah yang menyasar warga sipil berulang setiap pekan, bahkan nyaris setiap hari. Senin (10/8/2020) waktu setempat, 16 orang tewas akibat kekerasan. Menurut pihak militer, mereka menjadi korban serangan kelompok militan di sebuah desa terpencil di wilayah timur negara itu.
Sejak awal 2020, pembunuhan yang, antara lain, dipicu oleh konflik etnis itu telah menyebabkan setidaknya 1.300 orang tewas dan memaksa 400.000 orang lainnya mengungsi. Berulangnya kasus kekerasan yang menyebabkan korban jiwa—terbanyak dari kalangan sipil—menandai ketidakberdayaan aparat negara tersebut.
Sepanjang Maret hingga Juni, serangan oleh berbagai kelompok milisi dan kelompok bersenjata serta operasi militer balasan yang digelar militer Kongo (FARDC) menyebabkan ratusan ribu orang melarikan diri dari rumah mereka. Dalam kurun waktu yang sama, kekerasan itu menyebabkan hampir 300 nyawa melayang.
Bulan lalu, pemerintah telah menjebloskan beberapa mantan panglima perang, termasuk satu orang yang baru saja dibebaskan setelah lebih dari satu dekade dipenjara di Den Haag, Belanda, karena kejahatan perang. Langkah tegas itu diambil untuk memaksa agar sejumlah milisi, khususnya milisi yang menamakan dirinya Cooperative for the Development of the Congo (CODECO), menyerah.
Sejauh ini kelompok milisi tersebut belum menyerah. CODECO dilaporkan kembali beraksi dengan membunuh belasan tentara Kongo, pekan lalu. Juru bicara militer Jules Ngongo mengatakan, ”Tentara bertekad untuk terus memberantas milisi yang tidak mau menyerah ini.”
Para militan CODECO, sebagian besar berasal dari kelompok etnis Lendu, menyerang beberapa desa di timur laut kota Bunia, yang merupakan basis etnis Hema. Charite Banza, kepala kelompok hak-hak sipil setempat, mengatakan, CODECO telah membunuh 10 orang dengan senjata api, pekan lalu.
Kantor bersama badan PBB yang mengurusi persoalan HAM di Kongo (UNJHRO), pekan lalu, menyebutkan, lebih dari 1.300 warga negara Afrika Tengah itu tewas pada paruh pertama 2020. Jumlah itu tiga kali lebih besar dibandingkan dengan periode yang sama 2019. Saat itu tercatat 419 orang tewas dalam kekerasan di negara tersebut.
Laporan enam bulanan yang dikeluarkan UNJHRO, pekan lalu, menyebutkan, lebih dari 50 persen pembunuhan di Kongo dilakukan di luar hukum. Lebih dari 260 perempuan dan 165 anak menjadi korban pembunuhan milisi.
Selama hampir tiga dekade, wilayah Kongo timur selalu dalam situasi tidak aman. Warga menjadi korban lusinan kelompok milisi bersenjata yang terbentuk sebagai warisan dari dua perang besar di negara ini.
Pada akhir Juli lalu, seorang tentara Kongo menembak mati 13 orang, termasuk seorang anak balita perempuan berusia dua tahun dan tujuh perempuan di Sange, Uvira, Kivu Selatan, Kongo. Sebelumnya, 12 orang tewas dibantai dalam sehari di Provinsi Ituri, Kongo.
Ituri merupakan daerah yang kaya akan sumber daya alam, tetapi mengalami sejumlah pertempuran sengit antara 1999 dan 2007, setelah perebutan kekuasaan di antara pemberontak.
Salah satu konflik besar yang terjadi di Kongo adalah pertempuran di Kolwezi. Pertempuran itu terjadi pada 1978 antara Legiun Asing Perancis yang didukung pasukan Belgia melawan pemberontak yang dibantu oleh personel asing dari Kuba dan Jerman Timur. Tugas pasukan Perancis adalah membebaskan kota Kolwezi yang diduduki pemberontak, sementara pasukan Belgia dikirim untuk mengevakuasi warga, khususnya warga asing, dari kota itu.
Saat dikuasai pemberontak, terjadi sejumlah pembunuhan yang menyebabkan ratusan orang tewas. Selain itu, sekitar 3.000 orang Eropa disandera milisi yang menguasai daerah pertambangan tersebut. (AFP/REUTERS)