Ekonomi Jepang Terkontraksi 27,8 Persen, Kontraksi Beruntun dalam Tiga Kuartal
Ekonomi Jepang mencatat pertumbuhan minus pada kuartal ketiga secara beruntun, terpukul pandemi Covid-19 yang melemahkan konsumsi dan ekspor negara tersebut. Pengamat memperkirakan pemulihan terjadi pada Juli-September.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·3 menit baca
TOKYO, SENIN -- Ekonomi Jepang mengalami kontraksi secara tahunan 27,8 persen pada bulan April-Juni tahun ini. Data ini dirilis Pemerintah Jepang, Senin (17/8/2020), dan merupakan kontraksi terburuk sejak pencatatan data dilakukan. Kontraksi ini terjadi akibat pukulan pandemi Covid-19 terhadap konsumsi dan perdagangan negara tersebut.
Kantor Kabinet Pemerintah Jepang melaporkan, produk domestik bruto (PDB) awal--total nilai barang dan jasa yang dihasilkan--yang disusun secara kuartalan tercatat minus 7,8 persen. Media Jepang melaporkan, kontraksi ekonomi tersebut merupakan yang terburuk sejak Perang Dunia II.
Namun, Kantor Kabinet Jepang menyebutkan, pencatatan data yang bisa dijadikan pembanding baru dimulai April-Juni 1980. Kontraksi terburuk sebelumnya terjadi saat krisis keuangan global tahun 2008-2009. Kantor berita Kyodo, mengutip Kantor Kabinet, menyebutkan bahwa data terakhir yang dianggap sebagai kontraksi terburuk terjadi pada 1955.
Jepang, negara kekuatan ekonomi terbesar ketiga di dunia, sudah mulai terpukul pada akhir tahun lalu sebelum pandemi melanda. Tahun lalu, ekonomi negara itu sudah terpengaruh oleh perang dagang AS-China dan kenaikan pajak konsumsi. Pukulan akibat pandemi Covis-19 semakin memperburuk ekonomi negara itu, seiring dengan meningkatnya kasus-kasus Covid-19 dan diterapkannya pembatasan sosial guna mencegah penularan wabah.
Pada April 2020, Pemerintah Jepang menyatakan kondisi darurat akibat pandemi Covid-19. Melalui kebijakan kondisi daerurat itu, pemerintah-pemerintah daerah menginstruksikan warga untuk tetap tinggal di rumah dan menghentikan sementara kegiatan-kegiatan bisnis yang tidak terkait kebutuhan pokok. Kondisi darurat dikeluarkan pada 7 April di Tokyo dan enam wilayah prefektur lainnya. Penetapan status darurat di prefektur-prefektur lainnya diberlakukan menyusul. Penetapan kondisi darurat dicabut di seluruh perfektur pada akhir Mei lalu.
Tiga kali beruntun
Ekonomi Jepang mengalami kontraksi 0,6 persen pada periode Januari-Maret 2020. Sebelumnya, pada periode Oktober-November 2019 kontraksi itu mencapai 1,8 persen. Secara teknis Jepang sudah mengalami resesi pada kuartal pertama tahun ini. Resesi secara umum ditetapkan saat kontraksi terjadi selama dua kuartal secara berturut-turut. Kontraksi saat ini merupakan kontraksi pada tiga kuartal terakhir secara beruntun.
Terakhir kali Jepang mengalami kontraksi dalam tiga kuartal secara beruntun pada Oktober-Desember 2010 hingga April-Juni 2011. Saat itu, kontraksi dipengaruhi oleh melemahnya konsumsi rumah tangga serta gempa bumi dan tsunami besar yang meluluhlantakkan wilayah timur laut Jepang, Maret 2011.
Pada periode April-Juni 2020, ekspor Jepang anjlok tajam secara tahunan sebesar 56 persen. Adapun konsumsi rumah tangga--lebih dari dari setengah dari total ekonomi Jepang--merosot secara tahunan hampir 29 persen. Situasi ini terjadi ketika kegiatan bisnis di negara itu mulai dibuka, tetapi pandemi Covid-19 memburuk dalam sebulan terakhir di Jepang. Jumlah kasus positif Covid-19 di negara itu telah melampaui 56.000 kasus.
Seperti dilaporkan Kyodo, tingkat penurunan konsumsi pada kuartal ini merupakan yang terdalam, berdasarkan data yang tercatat, dengan melampaui penurunan 4,8 persen pada April-Juni 2014. Saat itu, penurunan tersebut terjadi menyusul adanya kenaikan pajak konsumsi dari 5 persen menjadi 8 persen pada 1 April pada tahun tersebut.
Pada kuartal ini ekspor barang dan jasa, termasuk belanja para turis asing, anjlok 18,5 persen. Permintaan global terhadap produk-produk, seperti mobil dan suku cadang kendaraan, menurun tajam di tengah pemberlakuan penutupan wilayah di banyak kota di negara-negara lain. Jumlah kunjungan juga menukik akibat pembatasan perjalanan internasional guna mencegah persebaran wabah Covid-19.
Pulih pada Juli-September
Sejumlah analis mengatakan, ekonomi diperkirakan bakal mulai pulih secara perlahan-lahan, ketika dampak pandemi bisa ditangani. Ekonomi Jepang, yang bergantung pada ekspor, terpengaruh sangat besar oleh pertumbuhan di China, negara tempat asal wabah saat ini muncul.
"Kemerosotan besar ini dapat dijelaskan oleh penurunan konsumsi dan ekspor," kata Takeshi Minami, Kepala Bidang Ekonomi pada Norinchukin Research Institute. "Saya perkirakan, pertumbuhan akan kembali positif pada kuartal Juli-September. Tetapi, secara global pembalikan (rebound) masih lemah di mana-mana, kecuali di China."
Menteri Ekonomi Jepang Yasutoshi Nishimura mengakui data PDB "cukup mengkhawatirkan". Meski demikian, ia memperlihatkan beberapa titik terang, seperti pada data terbaru konsumsi akhir-akhir ini.
"Kami berharap untuk berbuat secara maksimal mendorong ekonomi Jepang, yang sepertinya melemah pada April dan Mei, kembali menuju jalur pemulihan dengan menggerakkan permintaan domestik," kata Nishimura dalam konferensi pers di Tokyo, Senin.
Jepang telah menerapkan stimulus fiskal dan keuangan secara masif guna meredam dampak pandemi. Kantor Kabinet dijadwalkan akan merilis data revisi PDB kuartal kedua tahun 2020 pada 8 September mendatang.