Jadi Korban Terbaru Pembatasan Gerak, Ekonomi Australia Merosot
Pandemi global dan kebijakan pengendalian terkait pandemi telah memicu produk domestik bruto Australia turun 7 persen, penurunan paling buruk sejak PDB mulai dicatat pada 1959.
Australia kembali mengalami resesi setelah mulai dicatat pada 1959. Covid-19 dan perang dagang dengan China memperparah dampak ekonomi akibat kebakaran hutan dan kekeringan selama ini.
CANBERRA, RABU — Australia mengumumkan perekonomiannya anjlok selama dua kuartal berturut-turut setelah pembatasan gerak untuk pengendalian laju infeksi Covid-19. Terungkap, perekonomian Australia terperosok paling parah dalam 61 tahun terakhir. Kinerja perekonomian Australia juga menunjukkan bahwa negara itu belum di jalur pemulihan.
Biro Statistik Australia (ABS), Rabu (2/9/2020), mengumumkan, perekonomian negara itu pada triwulan II-2020 merosot 7 persen dibandingkan dengan triwulan I-2020. Padahal, perekonomian Australia sudah menurun 0,3 persen pada triwulan pertama. Secara teknis, Australia saat ini telah memasuki masa resesi karena perekonomiannya turun dalam dua kuartal berturut-turut.
”Pandemi global dan kebijakan pengendalian terkait telah memicu penurunan 7 persen pada produk domestik bruto (PDB) di kuartal April-Juni. Penurunan ini paling buruk sejak (PDB) mulai dicatat pada 1959,” kata Kepala Pendataan Nasional ABS Michael Smedes tanpa merinci.
Di sisi lain, terkait dengan indeks pengelolaan pembelian (PMI), yakni untuk mengukur kinerja dunia usaha dengan menilai angka pembelian oleh berbagai sektor usaha, Australia membaik pada Juni-Juli 2020. PMI manufaktur Australia melonjak dari 26,9 poin pada Mei menjadi 53,2 poin pada Juni dan 58,2 poin pada Juli.
Baca juga : China Memberi Australia Dua Pukulan Ekonomi
Sayangnya, situasi kembali memburuk seiring pemberlakuan ulang pembatasan gerak. Pada Agustus 2020, PMI manufaktur Australia merosot ke 48,1 poin. PMI di atas 50 menunjukkan aktivitas dunia usaha kembali berkembang. Sementara PMI di bawah 50 menunjukkan dunia usaha sedang menyusut.
Commonwealth Bank of Australia (CBA), salah satu bank terbesar di Australia dan Selandia Baru, mencatat perekonomian Australia kembali memburuk di triwulan III-2020. ”Penurunan ini sangat mengejutkan. Penurunan serapan tenaga kerja tidak terhindarkan,” kata Ekonom CBA, Gareth Aird.
Ia menyebut, subsidi untuk rumah tangga dan dunia usaha sangat penting dalam situasi sekarang. Subsidi itu untuk menjaga optimisme pasar.
ABS memang mencatat lonjakan penyaluran bantuan langsung tunai yang mencapai 41,6 persen. Canberra mengucurkan aneka stimulus dan subsidi bernilai lebih dari 55 miliar dollar Australia untuk menjaga konsumsi warga yang terpukul pandemi.
Baca juga : Asia Mulai Stabil dari Dampak Covid-19
Bukan hanya pandemi yang memukul perekonomian Australia. Kebakaran lahan dan hutan juga memaksa sebagian penduduk mengungsi dan aneka aktivitas di sejumlah daerah terhenti. Australia juga terpukul oleh perang dagang yang dilancarkan China. Pukulan ekonomi Beijing mengancam ekspor Australia ke China yang bernilai lebih dari 100 miliar dollar AS per tahun.
Lebih dalam
Realisasi penurunan PDB Australia triwulan II-2020 lebih dalam dari perkiraan sejumlah pihak yang menaksir 5,9 persen. Dibanding periode yang sama pada 2019, PDB triwulan II-2020 merosot 6,3 persen. Padahal, data ABS menunjukkan pertumbuhan PDB Australia pada 2019 di bawah 1 persen. Sejak triwulan II-2018, GDP Australia juga terus merosot dan paling dalam pada pada triwulan II-2020.
Baca juga : Stimulus Dorong Manufaktur Global
Penurunan PDB triwulan II-2020 juga paling buruk dalam 90 tahun terakhir. Pada 1930, perekonomian Australia merosot 10 persen di tengah Depresi Besar yang melanda sejumlah negara lain. Kali ini, sebagaimana dicatat ABS, penurunan antara lain dipicu kemerosotan konsumsi rumah tangga yang mencapai 12,7 persen.
Di antara konsumsi rumah tangga, anggaran yang paling terpangkas adalah untuk transportasi, hingga 85,9 persen. Sementara belanja rekreasi yang dihabiskan di penginapan dan kedai berkurang 56,1 persen.
Di tengah pandemi dan ketidakpastian perekonomian, konsumen lebih memilih menabung sehingga nisbah simpanan mencapai 19,8 persen. Rumah tangga menyimpan rata-rata 20 dollar Australia dari 100 dollar Australia yang didapat. Sebelumnya, rata-rata hanya 6 dollar Australia yang disimpan. Belum pernah Australia mencatat rasio setinggi itu dalam 50 tahun terakhir.
Bendahara Nasional Australia Josh Frydenberg tidak menampik dampak pandemi pada negaranya. ”Kami telah melakukan semua yang untuk mencegah dampak Covid-19 pada warga,” ujarnya.
Ia mengklaim, sedikitnya 700.000 warga akan kehilangan pekerjaan jika pemerintah tidak melakukan apa-apa. Kebijakan Canberra membuat pukulan yang dirasakan Australia relatif paling rendah dibandingkan negara-negara maju.
”Kami tidak mengikuti Swedia, yang hanya menerapkan sedikit pembatasan. Kami juga tidak mengikuti jejak Perancis yang menerapkan isolasi total dan mematikan sebagian besar perekonomian. Kami memilih cara sendiri dan mengucurkan miliaran dollar untuk membantu warga menghadapi krisis,” tuturnya.
Baca juga : Australia Minta China Berkomunikasi soal Perdagangan
Ekonom pada BIS Oxford Economics, Sarah Hunter, mengatakan bahwa resesi karena Covid-19 akan berlangsung lama. ”Pertumbuhan pada bulan September akan turun karena isolasi di Victoria dan, melebihi masalah kesehatan, pembatasan akan memberatkan perekonomian. Kami menduga perekonomian akan pulih ke aras sebelum pandemi (paling cepat) pada awal 2022,” ujarnya.
Ia mengapresiasi subsidi yang diberikan pemerintah kepada konsumen dan dunia usaha. Sayangnya, semua tersapu oleh ambruknya sektor swasta. Sebab, swasta kesulitan menanggung dampak isolasi berkepanjangan.
Dampak resesi, antara lain, akan membuat pengangguran terus bertambah. Seiring semakin banyak dunia usaha tutup atau membatasi kegiatan, semakin sulit bagi warga untuk mendapatkan pekerjaan. Tekanan terberat akan dirasakan kelompok usia muda seperti terjadi pada dekade 1990-an.
Australia bukan satu-satunya negara yang mencatat kemerosotan kinerja ekonomi setelah menerapkan isolasi untuk mengendalikan laju infeksi Covid-19. Sebelumnya, ada Singapura dengan penurunan PDB 42,9 persen pada triwulan II-2020.
Baca juga : Negara Bertengkar, Pelajar Telantar
Sementara Jepang turun 7,8 persen dan Amerika Serikat 32,9 persen. Canberra, Tokyo, Singapura, dan Washington juga mencatat penurunan PBD pada triwulan I-2020. Secara teknis, empat negara itu telah memasuki resesi karena perekonomiannya turun dalam dua periode berturut-turut.
Ironisnya, Singapura dan Australia tetap mencatat jumlah infeksi Covid-19 yang tinggi meskipun sudah menerapkan isolasi. Dengan penduduk tidak sampai 7 juta jiwa, Singapura mencatat 56.901 infeksi. Sementara Australia dengan 26 juta penduduk, mencatat 25.923 infeksi Covid-19.
Pembatasan gerak yang pernah dilonggarkan di Australia diberlakukan lagi karena ada lonjakan infeksi di sejumlah negara bagian. Akibatnya, perekonomian kembali gagal bergerak. (REUTERS/AFP)